Manis-Getir Pemerintahan Jokowi Jilid I
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 July 2019 10:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Oktober nanti, Joko Widodo (Jokowi) sudah lima tahun menjadi presiden Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan suara Pilpres 2019, eks gubernur DKI Jakarta tersebut akan kembali ke Istana Negara untuk periode lima tahun ke depan.
Mari kita kilas balik sebentar mengenai masa pemerintahan Jokowi selama 2014-2019. Ada momen-momen manis, tetapi ada pula yang pahit-pahit getir.
Jokowi menjadi presiden pada 2014 setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah selama 10 tahun. Pada awal-awal masa jabatannya, Jokowi melakukan kebijakan 'gila' yaitu mereformasi anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pada akhir 2014, pemerintah akhirnya mencabut subsidi BBM jenis premium. Sementara BBM solar atau minyak diesel diberi subsidi harga Rp 1.000/liter.
Langkah ini bisa dibilang revolusioner, karena pada puncaknya hampir 30% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tersedot untuk subsidi BBM. Dengan reformasi subsidi pada 2014, pemerintah mengklaim penghematan anggaran subsidi dalam APBN 2015 mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
Dari situ lah kemudian ambisi Jokowi dibiayai. Pembangunan infrastruktur. Ya, Jokowi boleh dibilang terobsesi dengan yang satu ini. Dalam setiap kesempatan, kalau bisa Jokowi selalu menyebut mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur.
Menurut Jokowi, keterbatasan infrastruktur membuat biaya logistik di Indonesia menjadi mahal. Akibatnya harga barang dan jasa yang harus dibayar konsumen membumbung karena inefisiensi. Ibarat kata, harga barang jadi mahal karena tua di jalan.
Pada 2014, Indonesia menempati peringkat 53 di Logistics Performance Index keluaran Bank Dunia. Melompat ke 2018, peringkat Indonesia membaik jadi 46.
Suka tidak suka, obsesi Jokowi membangun infrastruktur tentu ada mempengaruhi perbaikan peringkat tersebut. Dalam kurun waktu 2014-2018, pemerintah membangun 3.432 km jalan, 947 km jalan tol, 39,8 km jembatan, 134 unit jembatan gantung, 754,59 km jalur kereta api (KA), 10 bandara, 19 pelabuhan, dan sebagainya.
Perbaikan infrastruktur dan logistik berujung pada peningkatan peringkat Indonesia di kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) yang juga keluaran Bank Dunia. Peringkat Indonesia di EoDB 2019 adalah 73 dari 190 negara. Jauh membaik dibandingkan 2014 yang berada di peringkat 120.
Baca:
Layakkah Jokowi Disebut Bapak Infrastruktur?
Akan tetapi, nafsu membangun infrastruktur ini memakan 'tumbal'. Industri dalam negeri belum mampu menyediakan peningkatan permintaan bahan baku dan barang modal untuk pembangunan infrastruktur, sehingga mau tidak mau harus impor.
Pada 2014, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 2,21 miliar. Jumlahnya membengkak pada 2018 menjadi minus US$ 8,7 miliar.
Akibatnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia sulit untuk bangkit. Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa, yang menjadi fondasi penting bagi nilai tukar mata uang.
Sejak 2011, Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan. Dengan tingginya impor karena kebutuhan pembangunan infrastruktur, tekanan di transaksi berjalan semakin berat.
Baca:
Wahai Para Menteri, Ini Ultimatum Terakhir Jokowi soal CAD!
Dengan transaksi berjalan yang defisit, maka rupiah sepenuhnya menggantungkan nasib kepada aliran modal di sektor keuangan alias hot money. Apesnya, periode pemerintahan Jokowi diwarnai dengan ketidakpastian yang tinggi di pasar keuangan global.
Setelah hampir dua tahun tarik-ulur, akhirnya Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves/The Fed menaikkan suku bunga acuan pada akhir 2015. Selepas itu, kenaikan Federal Funds Rate seakan tanpa rem. Bahkan pada 2018, suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik sampai empat kali.
Ini menyebabkan likuiditas yang mengalir deras ke negara-negara berkembang pada masa quantitative easing kembali ke rumahnya, AS. Dolar AS semakin kuat, dan mata uang dunia bergerak ke arah sebaliknya termasuk rupiah.
Lima tahun lalu, kurs rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp 11.000-12.000/US$. Hari ini, rupiah di kisaran Rp 14.000/US$ adalah pemandangan biasa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mari kita kilas balik sebentar mengenai masa pemerintahan Jokowi selama 2014-2019. Ada momen-momen manis, tetapi ada pula yang pahit-pahit getir.
Jokowi menjadi presiden pada 2014 setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah selama 10 tahun. Pada awal-awal masa jabatannya, Jokowi melakukan kebijakan 'gila' yaitu mereformasi anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Langkah ini bisa dibilang revolusioner, karena pada puncaknya hampir 30% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tersedot untuk subsidi BBM. Dengan reformasi subsidi pada 2014, pemerintah mengklaim penghematan anggaran subsidi dalam APBN 2015 mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
Dari situ lah kemudian ambisi Jokowi dibiayai. Pembangunan infrastruktur. Ya, Jokowi boleh dibilang terobsesi dengan yang satu ini. Dalam setiap kesempatan, kalau bisa Jokowi selalu menyebut mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur.
Menurut Jokowi, keterbatasan infrastruktur membuat biaya logistik di Indonesia menjadi mahal. Akibatnya harga barang dan jasa yang harus dibayar konsumen membumbung karena inefisiensi. Ibarat kata, harga barang jadi mahal karena tua di jalan.
Pada 2014, Indonesia menempati peringkat 53 di Logistics Performance Index keluaran Bank Dunia. Melompat ke 2018, peringkat Indonesia membaik jadi 46.
Suka tidak suka, obsesi Jokowi membangun infrastruktur tentu ada mempengaruhi perbaikan peringkat tersebut. Dalam kurun waktu 2014-2018, pemerintah membangun 3.432 km jalan, 947 km jalan tol, 39,8 km jembatan, 134 unit jembatan gantung, 754,59 km jalur kereta api (KA), 10 bandara, 19 pelabuhan, dan sebagainya.
Perbaikan infrastruktur dan logistik berujung pada peningkatan peringkat Indonesia di kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) yang juga keluaran Bank Dunia. Peringkat Indonesia di EoDB 2019 adalah 73 dari 190 negara. Jauh membaik dibandingkan 2014 yang berada di peringkat 120.
Baca:
Layakkah Jokowi Disebut Bapak Infrastruktur?
Akan tetapi, nafsu membangun infrastruktur ini memakan 'tumbal'. Industri dalam negeri belum mampu menyediakan peningkatan permintaan bahan baku dan barang modal untuk pembangunan infrastruktur, sehingga mau tidak mau harus impor.
Pada 2014, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 2,21 miliar. Jumlahnya membengkak pada 2018 menjadi minus US$ 8,7 miliar.
Akibatnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia sulit untuk bangkit. Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa, yang menjadi fondasi penting bagi nilai tukar mata uang.
Sejak 2011, Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan. Dengan tingginya impor karena kebutuhan pembangunan infrastruktur, tekanan di transaksi berjalan semakin berat.
Baca:
Wahai Para Menteri, Ini Ultimatum Terakhir Jokowi soal CAD!
Dengan transaksi berjalan yang defisit, maka rupiah sepenuhnya menggantungkan nasib kepada aliran modal di sektor keuangan alias hot money. Apesnya, periode pemerintahan Jokowi diwarnai dengan ketidakpastian yang tinggi di pasar keuangan global.
Setelah hampir dua tahun tarik-ulur, akhirnya Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves/The Fed menaikkan suku bunga acuan pada akhir 2015. Selepas itu, kenaikan Federal Funds Rate seakan tanpa rem. Bahkan pada 2018, suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik sampai empat kali.
Ini menyebabkan likuiditas yang mengalir deras ke negara-negara berkembang pada masa quantitative easing kembali ke rumahnya, AS. Dolar AS semakin kuat, dan mata uang dunia bergerak ke arah sebaliknya termasuk rupiah.
Lima tahun lalu, kurs rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp 11.000-12.000/US$. Hari ini, rupiah di kisaran Rp 14.000/US$ adalah pemandangan biasa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular