Jokowi Periode Kedua, Akankah Harga BBM & Tarif Listrik Naik?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
02 July 2019 09:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut akan melakukan kebijakan 'gila' di periode kedua ia menjabat nanti. Mungkinkah terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik?
Kabar ini memang masih didiskusikan, namun sampai saat ini terdapat dua indikasi kuat yang menunjukkan tanda bahwa hal ini tidak bisa ditunda lagi.
1. Kompensasi yang Akan Dipangkas
Indikasi kenaikan tarif terbaca dari sinyal yang diberikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada pekan lalu saat rapat bersama DPR RI. Pada Selasa (25/6/2019), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menyebutkan, Kemenkeu berencana untuk mengurangi atau bahkan menyetop pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN (Persero).
Kompensasi ini diberikan oleh pemerintah kepada PLN, karena perusahaan listrik itu tidak melakukan penyesuaian tarif listrik, di saat biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini sudah dilakukan sejak 2017 lalu, sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlahnya Rp 23,17 triliun.
Nah, apabila pemberian kompensasi ini dikurangi atau bahkan dihentikan, Plt Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, maka mau tidak mau konsekuensinya adalah dilakukan penyesuaian tarif listrik agar PLN tetap bisa menjamin keandalan pasokan listrik. Atau, dengan kata lain, tarif listrik untuk golongan tertentu bisa mengalami kenaikan.
"Ya iya, mau tidak mau PLN lakukan penyesuaian tarif, kalau tidak nanti mati listriknya," ujar Djoko saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Kendati demikian, Djoko kembali menegaskan, penentuan tarif listrik merupakan kebijakan pemerintah. "Semua diputuskan di pemerintah, bukan di kami. Kalau kami hanya berusaha supaya harga itu bisa murah," imbuhnya.
2. Keuangan PLN Makin Ngos-Ngosan
Tanpa adanya kompensasi tadi, bisa jadi yang tercetak di laporan keuangan PLN adalah kerugian, bukan keuntungan.
Sepanjang 2018, PLN berhasil mengantongi keuntungan hingga Rp 11,57 triliun atau naik 162,31% secara tahunan dibandingkan capaian laba bersih di 2017 yang tercatat sebesar Rp 4,41 triliun.
Uniknya, laba bersih meroket kala pendapatan perusahaan tumbuh relatif stagnan dengan hanya mencatatkan kenaikan 6,89% year-on-year (YoY) menjadi Rp 272,9 triliun dari sebelumnya Rp 255,3 triliun.
Jika ditilik lebih detil dari laporan keuangan, laba bersih perusahaan ini berhasil meroket karena tahun lalu PLN menerima tambahan pemasukan yang tercatat di pos pendapatan kompensasi dan pos penghasilan lainnya.
Nah, andai saja tidak ada pembayaran kompensasi dan pembayaran piutang pemerintah, alih-alih mencatatkan keuntungan, PLN justru akan tekor dan membukukan kerugian sebelum pajak hingga Rp 10,73 triliun.
Hal ini disebabkan, sepanjang tahun lalu biaya bahan bakar terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas alam naik signifikan.
Biaya BBM melonjak 36,12% secara tahunan, dari Rp 23,32 triliun menjadi Rp 31,74 triliun. Sedangkan biaya gas alam naik 16,46% menjadi Rp 55,44 triliun dari sebelumnya senilai Rp 47,6 triliun.
Harga BBM juga dinaikkan?
Selain tarif listrik, kenaikan harga BBM pun tak luput disebut sebagai salah satu kebijakan 'gila' Jokowi di periode kedua nanti.
Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.
"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Denni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.
Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), pada 2014 lalu. Tidak sampai dua bulan setelah dilantik, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat.
Menanggapi hal ini, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menuturkan, pada dasarnya, perusahaan mendukung kebijakan pemerintah, karena pastinya, kebijakan tersebut sudah memikirkan kepentingan masyarakat.
"Intinya, Pertamina akan terus konsisten melakukan perannya untuk menjaga ketahanan energi, itu yang utama. Kebijakan pemerintah kami dukung, karena pastinya sudah memikirkan kepentingan masyarakat," ujar Fajriyah saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Adapun, dihubungi di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, dampaknya terhadap Pertamina akan cukup signifikan, karena hal itu akan membuat pendapatan perusahaan dari sektor hilir akan mengalami kenaikan dan disparitas harga antar produk tidak terlalu jauh.
"Secara bisnis ini akan jauh lebih baik dan menguntungkan bagi Pertamina. Pastinya, karena ini yang mereka inginkan selama ini. BBM sesuai dengan harga keekonomian," pungkas Mamit.
Bagaimana dampaknya jika tarif listrik dan harga BBM naik?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, memang situasinya simalakama. Ia menjabarkan, tahun ini rasio pajak diperkirakan menurun, defisit anggaran melebar akibat kenaikan belanja dan perkembangan realisasi asumsi makro.
"Sehingga, memang perlu ada penyesuaian belanja pemerintah," ujar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, tekanan dari sisi defisit migas yang melebar juga jadi alasan pemerintah untuk mengurangi subsidi, meski belum tentu efektif kurangi defisit migas jika kenaikan harga BBM tidak signifikan.
Dengan begitu, imbuhnya, apabila keputusan pemerintah akan menaikkan harga BBM dan tarif listrik, konsekuensinya lebih berat lagi. Harga BBM subsidi maupun penugasan yang naik akan memicu terjadinya inflasi.
Bhima menyebutkan, kenaikan harga jual premium atau pertalite Rp 500-1000 per liter akan mendorong inflasi hingga dua kali lipat. Tahun 2008, BBM jenis premium naik harganya dari Rp 4.500 ke Rp 5.500 atau Rp 1.000 per liter. Inflasi di 2008 meningkat menjadi 11,06% dari 6,59% di 2007.
"Jika inflasi naik sementara pendapatan tidak tumbuh signifikan, efeknya daya beli khususnya masyarakat miskin yang akan terpukul. Kenaikan harga BBM juga merembet pada kenaikan harga pangan lainnya. Sehingga, saya pikir pemerintah harus mengkaji secara matang karena implikasi ke ekonomi cukup besar," tandasnya.
(tas) Next Article Panggil PLN & Pertamina, DPR: Evaluasi Tarif Listrik & BBM
Kabar ini memang masih didiskusikan, namun sampai saat ini terdapat dua indikasi kuat yang menunjukkan tanda bahwa hal ini tidak bisa ditunda lagi.
1. Kompensasi yang Akan Dipangkas
Indikasi kenaikan tarif terbaca dari sinyal yang diberikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada pekan lalu saat rapat bersama DPR RI. Pada Selasa (25/6/2019), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menyebutkan, Kemenkeu berencana untuk mengurangi atau bahkan menyetop pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN (Persero).
Kompensasi ini diberikan oleh pemerintah kepada PLN, karena perusahaan listrik itu tidak melakukan penyesuaian tarif listrik, di saat biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini sudah dilakukan sejak 2017 lalu, sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlahnya Rp 23,17 triliun.
Nah, apabila pemberian kompensasi ini dikurangi atau bahkan dihentikan, Plt Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, maka mau tidak mau konsekuensinya adalah dilakukan penyesuaian tarif listrik agar PLN tetap bisa menjamin keandalan pasokan listrik. Atau, dengan kata lain, tarif listrik untuk golongan tertentu bisa mengalami kenaikan.
"Ya iya, mau tidak mau PLN lakukan penyesuaian tarif, kalau tidak nanti mati listriknya," ujar Djoko saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Kendati demikian, Djoko kembali menegaskan, penentuan tarif listrik merupakan kebijakan pemerintah. "Semua diputuskan di pemerintah, bukan di kami. Kalau kami hanya berusaha supaya harga itu bisa murah," imbuhnya.
2. Keuangan PLN Makin Ngos-Ngosan
Tanpa adanya kompensasi tadi, bisa jadi yang tercetak di laporan keuangan PLN adalah kerugian, bukan keuntungan.
Sepanjang 2018, PLN berhasil mengantongi keuntungan hingga Rp 11,57 triliun atau naik 162,31% secara tahunan dibandingkan capaian laba bersih di 2017 yang tercatat sebesar Rp 4,41 triliun.
Uniknya, laba bersih meroket kala pendapatan perusahaan tumbuh relatif stagnan dengan hanya mencatatkan kenaikan 6,89% year-on-year (YoY) menjadi Rp 272,9 triliun dari sebelumnya Rp 255,3 triliun.
Jika ditilik lebih detil dari laporan keuangan, laba bersih perusahaan ini berhasil meroket karena tahun lalu PLN menerima tambahan pemasukan yang tercatat di pos pendapatan kompensasi dan pos penghasilan lainnya.
Nah, andai saja tidak ada pembayaran kompensasi dan pembayaran piutang pemerintah, alih-alih mencatatkan keuntungan, PLN justru akan tekor dan membukukan kerugian sebelum pajak hingga Rp 10,73 triliun.
Hal ini disebabkan, sepanjang tahun lalu biaya bahan bakar terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas alam naik signifikan.
Biaya BBM melonjak 36,12% secara tahunan, dari Rp 23,32 triliun menjadi Rp 31,74 triliun. Sedangkan biaya gas alam naik 16,46% menjadi Rp 55,44 triliun dari sebelumnya senilai Rp 47,6 triliun.
Harga BBM juga dinaikkan?
Selain tarif listrik, kenaikan harga BBM pun tak luput disebut sebagai salah satu kebijakan 'gila' Jokowi di periode kedua nanti.
Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.
"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Denni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.
Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), pada 2014 lalu. Tidak sampai dua bulan setelah dilantik, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
![]() |
Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat.
Menanggapi hal ini, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menuturkan, pada dasarnya, perusahaan mendukung kebijakan pemerintah, karena pastinya, kebijakan tersebut sudah memikirkan kepentingan masyarakat.
"Intinya, Pertamina akan terus konsisten melakukan perannya untuk menjaga ketahanan energi, itu yang utama. Kebijakan pemerintah kami dukung, karena pastinya sudah memikirkan kepentingan masyarakat," ujar Fajriyah saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Adapun, dihubungi di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, dampaknya terhadap Pertamina akan cukup signifikan, karena hal itu akan membuat pendapatan perusahaan dari sektor hilir akan mengalami kenaikan dan disparitas harga antar produk tidak terlalu jauh.
"Secara bisnis ini akan jauh lebih baik dan menguntungkan bagi Pertamina. Pastinya, karena ini yang mereka inginkan selama ini. BBM sesuai dengan harga keekonomian," pungkas Mamit.
Bagaimana dampaknya jika tarif listrik dan harga BBM naik?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, memang situasinya simalakama. Ia menjabarkan, tahun ini rasio pajak diperkirakan menurun, defisit anggaran melebar akibat kenaikan belanja dan perkembangan realisasi asumsi makro.
"Sehingga, memang perlu ada penyesuaian belanja pemerintah," ujar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, tekanan dari sisi defisit migas yang melebar juga jadi alasan pemerintah untuk mengurangi subsidi, meski belum tentu efektif kurangi defisit migas jika kenaikan harga BBM tidak signifikan.
Dengan begitu, imbuhnya, apabila keputusan pemerintah akan menaikkan harga BBM dan tarif listrik, konsekuensinya lebih berat lagi. Harga BBM subsidi maupun penugasan yang naik akan memicu terjadinya inflasi.
Bhima menyebutkan, kenaikan harga jual premium atau pertalite Rp 500-1000 per liter akan mendorong inflasi hingga dua kali lipat. Tahun 2008, BBM jenis premium naik harganya dari Rp 4.500 ke Rp 5.500 atau Rp 1.000 per liter. Inflasi di 2008 meningkat menjadi 11,06% dari 6,59% di 2007.
"Jika inflasi naik sementara pendapatan tidak tumbuh signifikan, efeknya daya beli khususnya masyarakat miskin yang akan terpukul. Kenaikan harga BBM juga merembet pada kenaikan harga pangan lainnya. Sehingga, saya pikir pemerintah harus mengkaji secara matang karena implikasi ke ekonomi cukup besar," tandasnya.
![]() |
(tas) Next Article Panggil PLN & Pertamina, DPR: Evaluasi Tarif Listrik & BBM
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular