
Ekonomi RI Lemah-Letih-Lesu, Mana Kebijakan 'Gila' Jokowi?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 June 2019 07:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Lemah, letih, dan lesu, rasanya itu tiga kata yang pas menggambarkan laju perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia saat ini tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Gelaran pemilihan umum (Pemilu) terbesar sepanjang sejarah Indonesia pada April 2019 terbukti tak cukup kuat dalam mendongkrak laju perekonomian.
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% tersebut tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga banyak yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Perekonomian China misalnya, tumbuh hingga 6,4% secara tahunan pada kuartal-I 2019. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
Akibatnya jelas, pengangguran jadi sulit diberantas. Di sini kita berbicara masalah kemakmuran masyarakat Indonesia. Ternyata, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua.
BERLANJUT HALAMAN BERIKUTNYA
Kini, masyarakat Indonesia berharap pada kebijakan ‘gila’ yang akan diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ya, selepas memenangkan gelaran pemilihan presiden (Pilpres) pada bulan April kemarin, Jokowi beberapa kali menjanjikan gebrakan dengan meluncurkan kebijakan ‘gila’.
Belum lama ini, Jokowi menyempatkan diri untuk berkumpul bersama para aktivis '98. Di hadapan para aktivis, Jokowi menegaskan dirinya tidak segan untuk mengambil keputusan 'gila' jika itu untuk kepentingan negara.
"Sudah kurang lebih 21 tahun gerakan reformasi yang dikomandani oleh aktivis-aktivis '98 berjalan. Kita semuanya harus berani mengevaluasi apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah, baik yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil," kata Jokowi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019), dilansir dari detikcom.
"Saya dalam 5 tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya.
Pengusaha pun sejatinya sudah ‘berteriak’. Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Rosan Roeslani mengatakan dirinya dan para pengusaha berharap ada perbaikan-perbaikan dari kebijakan pemerintah untuk dunia usaha.
Rosan menegaskan pengusaha menginginkan adanya reformasi di segala bidang, baik dari segi perpajakan maupun birokrasi. Hal itu dirasa perlu dilakukan karena perekonomian global tengah mengalami pelemahan dan hal itu berdampak bagi Indonesia.
Dalam hal reformasi perpajakan, para pengusaha ingin adanya pemotongan tingkat Pajak Penghasilan (PPh) korporasi , beserta juga transparansi dan accountability dari sistem perpajakan.
"Sangat ditunggu oleh dunia usaha mengenai tax reform terutama kelanjutan dari pemotongan PPh, kemudian transparansi dan juga accountability dari perpajakan," katanya.
Selain itu, pengusaha juga ingin pemerintah memangkas prosedur birokrasi dan memangkas hambatan-hambatan di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan itu, menurut Rosan, harus lebih terbuka dan transparan. Menurutnya, hal tersebut bisa tercapai dengan penggunaan teknologi.
"Jadi memang pemangkasan birokrasi, penyempurnaan itu saya rasa adalah hal yang perlu dilakukan, dan tentunya adalah bagaimana kita menarik investasi masuk," ucap Rosan.
Maklum jika pengusaha ‘berteriak’. Iklim investasi di tanah air saat ini sedang begitu loyo. Hal ini terlihat dari angka realisasi investasi yang begitu mengecewakan. Pada tahun 2018, Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) tercatat anjlok sebesar 8,8% menjadi Rp 392,7 triliun, dari yang sebelumnya Rp 430,6 triliun pada tahun 2017.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Kini, sudah waktunya bagi Jokowi untuk segera mengarahkan anak buahnya guna meluncurkan kebijakan ‘gila’ yang sudah digembar-gemborkan. Sebelum membahas kebijakan ‘gila’ yang harus diambil sang presiden, mari sedikit membahas mengenai hasil pertemuan Bank Indonesia (BI) pada bulan ini.
Pada bulan ini, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini.
Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas dalam waktu dekat.
Tak hanya pelaku pasar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun juga sebelumnya sudah ‘menyindir’ BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.
Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Baru-baru ini, ‘sindiran’ kembali dilontarkan oleh Sri Mulyani. Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang guna memacu pertumbuhan ekonomi, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, ya jagalah hot money yang masuk supaya tak mudah dibawa kabur.
Caranya: kombinasikan kebijakan moneter dengan fiskal. Kini, kita berbicara mengenai kebijakan ‘gila’ yang harus diambil Jokowi. Kebijakan yang harus diambil presiden adalah memangkas tingkat PPh korporasi.
Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah. Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.
Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.
"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.
Nah, kebijakan ini harus segera dieksekusi. Kalau tidak, Perry Warjiyo dan kolega bisa berpikir berkali-kali sebebelum memangkas tingkat suku bunga acuan. Pasalnya seperti yang sudah disebutkan tadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan tanpa diimbangi kebijakan fiskal akan membuat hot money yang masuk ke tanah air hanya akan bertahan sebentar. Ujung-ujungnya, rupiah loyo lagi dan dampaknya ke sektor riil tidak ada.
Pemangkasan tarif PPh korporasi sangatlah mendesak. Pasalnya, insentif fiskal lain yang ditawarkan pemerintah berupa tax allowance dan tax holiday benar-benar ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Jadi, daripada sekedar ‘berteriak’ meminta pemangkasan tingkat suku bunga acuan kepada Perry dan kolega, ada baiknya Sri Mulyani ikut berkontribusi dalam membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Harus diakui memang, memangkas tingkat PPh korporasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan dulu secara matang. Tengok saja AS. Pada akhir 2017, pemerintahan Presiden Donald Trump memberikan pemotongan tingkat pajak korporasi secara besar-besaran.
Tapi, efek sampingnya defisit anggaran menjadi membengkak karena penerimaan pajak menjadi tak maksimal. Padahal, Trump berulang kali mengatakan bahwa defisit anggaran akan terjaga lantaran aktivitas ekonomi yang lebih bergeliat (dampak dari pemangkasan pajak korporasi) akan mendongkrak penerimaan pajak itu sendiri.
Nyatanya, defisit anggaran AS jelas membengkak. Pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump menjabat, defisit anggaran tercatat sebesar 3,5% dari PDB. Maju ke tahun 2018, defisit melebar menjadi 3,8% PDB, menandai defisit anggaran terdalam sejak tahun 2013 (4,1% PDB).
Namun, Jokowi beserta Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal itu terjadi juga di Indonesia. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, suatu hal yang sering disebutkan Menteri Keuangan terbaik di dunia tersebut adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih aman.
Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.
Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.
Tak bisa dipungkiri, ada pertimbangan politis kala ingin mengambil kebijakan ‘gila’ macam ini. Tapi kalau dari kacamata ekonomi, sudah waktunya pemerintah bergerak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Ribetnya Perizinan Hingga Pajak Buat RI Tak Dilirik Investor
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Gelaran pemilihan umum (Pemilu) terbesar sepanjang sejarah Indonesia pada April 2019 terbukti tak cukup kuat dalam mendongkrak laju perekonomian.
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% tersebut tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga banyak yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Perekonomian China misalnya, tumbuh hingga 6,4% secara tahunan pada kuartal-I 2019. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
Akibatnya jelas, pengangguran jadi sulit diberantas. Di sini kita berbicara masalah kemakmuran masyarakat Indonesia. Ternyata, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua.
BERLANJUT HALAMAN BERIKUTNYA
Kini, masyarakat Indonesia berharap pada kebijakan ‘gila’ yang akan diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ya, selepas memenangkan gelaran pemilihan presiden (Pilpres) pada bulan April kemarin, Jokowi beberapa kali menjanjikan gebrakan dengan meluncurkan kebijakan ‘gila’.
Belum lama ini, Jokowi menyempatkan diri untuk berkumpul bersama para aktivis '98. Di hadapan para aktivis, Jokowi menegaskan dirinya tidak segan untuk mengambil keputusan 'gila' jika itu untuk kepentingan negara.
"Sudah kurang lebih 21 tahun gerakan reformasi yang dikomandani oleh aktivis-aktivis '98 berjalan. Kita semuanya harus berani mengevaluasi apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah, baik yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil," kata Jokowi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019), dilansir dari detikcom.
"Saya dalam 5 tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya.
Pengusaha pun sejatinya sudah ‘berteriak’. Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Rosan Roeslani mengatakan dirinya dan para pengusaha berharap ada perbaikan-perbaikan dari kebijakan pemerintah untuk dunia usaha.
Rosan menegaskan pengusaha menginginkan adanya reformasi di segala bidang, baik dari segi perpajakan maupun birokrasi. Hal itu dirasa perlu dilakukan karena perekonomian global tengah mengalami pelemahan dan hal itu berdampak bagi Indonesia.
Dalam hal reformasi perpajakan, para pengusaha ingin adanya pemotongan tingkat Pajak Penghasilan (PPh) korporasi , beserta juga transparansi dan accountability dari sistem perpajakan.
"Sangat ditunggu oleh dunia usaha mengenai tax reform terutama kelanjutan dari pemotongan PPh, kemudian transparansi dan juga accountability dari perpajakan," katanya.
Selain itu, pengusaha juga ingin pemerintah memangkas prosedur birokrasi dan memangkas hambatan-hambatan di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan itu, menurut Rosan, harus lebih terbuka dan transparan. Menurutnya, hal tersebut bisa tercapai dengan penggunaan teknologi.
"Jadi memang pemangkasan birokrasi, penyempurnaan itu saya rasa adalah hal yang perlu dilakukan, dan tentunya adalah bagaimana kita menarik investasi masuk," ucap Rosan.
Maklum jika pengusaha ‘berteriak’. Iklim investasi di tanah air saat ini sedang begitu loyo. Hal ini terlihat dari angka realisasi investasi yang begitu mengecewakan. Pada tahun 2018, Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) tercatat anjlok sebesar 8,8% menjadi Rp 392,7 triliun, dari yang sebelumnya Rp 430,6 triliun pada tahun 2017.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Kini, sudah waktunya bagi Jokowi untuk segera mengarahkan anak buahnya guna meluncurkan kebijakan ‘gila’ yang sudah digembar-gemborkan. Sebelum membahas kebijakan ‘gila’ yang harus diambil sang presiden, mari sedikit membahas mengenai hasil pertemuan Bank Indonesia (BI) pada bulan ini.
Pada bulan ini, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini.
Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas dalam waktu dekat.
Tak hanya pelaku pasar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun juga sebelumnya sudah ‘menyindir’ BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.
Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Baru-baru ini, ‘sindiran’ kembali dilontarkan oleh Sri Mulyani. Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang guna memacu pertumbuhan ekonomi, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, ya jagalah hot money yang masuk supaya tak mudah dibawa kabur.
Caranya: kombinasikan kebijakan moneter dengan fiskal. Kini, kita berbicara mengenai kebijakan ‘gila’ yang harus diambil Jokowi. Kebijakan yang harus diambil presiden adalah memangkas tingkat PPh korporasi.
Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah. Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.
Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.
"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.
Nah, kebijakan ini harus segera dieksekusi. Kalau tidak, Perry Warjiyo dan kolega bisa berpikir berkali-kali sebebelum memangkas tingkat suku bunga acuan. Pasalnya seperti yang sudah disebutkan tadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan tanpa diimbangi kebijakan fiskal akan membuat hot money yang masuk ke tanah air hanya akan bertahan sebentar. Ujung-ujungnya, rupiah loyo lagi dan dampaknya ke sektor riil tidak ada.
Pemangkasan tarif PPh korporasi sangatlah mendesak. Pasalnya, insentif fiskal lain yang ditawarkan pemerintah berupa tax allowance dan tax holiday benar-benar ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Jadi, daripada sekedar ‘berteriak’ meminta pemangkasan tingkat suku bunga acuan kepada Perry dan kolega, ada baiknya Sri Mulyani ikut berkontribusi dalam membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Harus diakui memang, memangkas tingkat PPh korporasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan dulu secara matang. Tengok saja AS. Pada akhir 2017, pemerintahan Presiden Donald Trump memberikan pemotongan tingkat pajak korporasi secara besar-besaran.
Tapi, efek sampingnya defisit anggaran menjadi membengkak karena penerimaan pajak menjadi tak maksimal. Padahal, Trump berulang kali mengatakan bahwa defisit anggaran akan terjaga lantaran aktivitas ekonomi yang lebih bergeliat (dampak dari pemangkasan pajak korporasi) akan mendongkrak penerimaan pajak itu sendiri.
Nyatanya, defisit anggaran AS jelas membengkak. Pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump menjabat, defisit anggaran tercatat sebesar 3,5% dari PDB. Maju ke tahun 2018, defisit melebar menjadi 3,8% PDB, menandai defisit anggaran terdalam sejak tahun 2013 (4,1% PDB).
Namun, Jokowi beserta Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal itu terjadi juga di Indonesia. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, suatu hal yang sering disebutkan Menteri Keuangan terbaik di dunia tersebut adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih aman.
Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.
Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.
Tak bisa dipungkiri, ada pertimbangan politis kala ingin mengambil kebijakan ‘gila’ macam ini. Tapi kalau dari kacamata ekonomi, sudah waktunya pemerintah bergerak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Ribetnya Perizinan Hingga Pajak Buat RI Tak Dilirik Investor
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular