KPK & BUMN Bikin Revisi PP Batu Bara Buntu, 7 PKP2B Digantung
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
21 June 2019 13:29

Jakarta, CNBC Indonesia- Revisi PP 23 Tahun 2010 yang bergulir sejak 9 bulan lalu kini buntu. Presiden Joko Widodo diketahui belum mau meneken revisi beleid tersebut, dan masih berada di tangan Kementerian Sekretariat Negara.
Info yang diterima CNBC Indonesia dari pejabat di Kemensetneg, revisi yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara ini sementara tak berjalan sejak ada surat dan masukan yang dikirim oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, beberapa waktu lalu.
"Deadlock, ada masukan dari BUMN," ujar si pejabat yang tak mau disebut namanya, Jumat (21/6/2019).
Sebenarnya bukan itu saja, belakangan diketahui terdapat juga surat dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo yang intinya meminta revisi PP batu bara ini harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009. Surat ini sebenarnya sejalan dengan masukan dari Kementerian BUMN.
Surat KPK ini diungkap oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di hadapan Komisi VII DPR RI, semalam. Bahkan imbasnya adalah pembatalan perpanjangan kontrak dan perubahan ke IUPK yang diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari lalu terpaksa harus dibatalkan.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, (perpanjangan kontrak) PKP2B atas nama PT Tanito Harum itu tidak ada. Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permintaan KPK, karena amandemennya belum ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Lebih lanjut, Jonan mengungkapkan, revisi PP 23/2010 ini sejatinya sudah diajukan sekitar 8-9 bulan lalu, namun sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari Presiden.
"Yang penting kalau PP 23/2010 ini dilakukan adendum, itu wajib ikuti UU Minerba nomor 4/2009. Intinya, kalau ini dilakukan tentunya banyak hal yang harus dilakukan, misalnya ditawarkan ke BUMN atau BUMD," tambah Jonan.
Akibatnya, tarik ulur revisi pun semakin kencang. BUMN berkeras bahwa tambang-tambang batu bara yang akan terminasi, yang kebetulan dimiliki oleh para taipan, tetap harus ditawarkan kepada BUMN terlebih dulu sebelum diberi perpanjangan.
Ini tertuang di surat Rini pada Praktikno 1 Maret 2019 lalu. "Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air. Apalagi 7 tambang yang akan terminasi bisa dibilang tambang batu bara raksasa.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat. Tanito Harum menjadi yang pertama.
Ketujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama itu adalah:
1. PT Tanito Harum yang habis di Januari 2019
2. PT Arutmin Indonesia pada 2020
3. PT Adaro Energy pada 2022
4. PT KPC pada 2021
5. PT Multi Harapan Utama pada 2022
6. PT Kideco Jaya Agung pada 2022
7. PT Berau Coal pada 2025.
Tanggapan PKP2B
Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Jokowi Tahan Revisi PP Batu Bara, BUMN Menang Lawan Swasta?
Info yang diterima CNBC Indonesia dari pejabat di Kemensetneg, revisi yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara ini sementara tak berjalan sejak ada surat dan masukan yang dikirim oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, beberapa waktu lalu.
"Deadlock, ada masukan dari BUMN," ujar si pejabat yang tak mau disebut namanya, Jumat (21/6/2019).
Sebenarnya bukan itu saja, belakangan diketahui terdapat juga surat dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo yang intinya meminta revisi PP batu bara ini harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009. Surat ini sebenarnya sejalan dengan masukan dari Kementerian BUMN.
Surat KPK ini diungkap oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di hadapan Komisi VII DPR RI, semalam. Bahkan imbasnya adalah pembatalan perpanjangan kontrak dan perubahan ke IUPK yang diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari lalu terpaksa harus dibatalkan.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, (perpanjangan kontrak) PKP2B atas nama PT Tanito Harum itu tidak ada. Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permintaan KPK, karena amandemennya belum ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Lebih lanjut, Jonan mengungkapkan, revisi PP 23/2010 ini sejatinya sudah diajukan sekitar 8-9 bulan lalu, namun sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari Presiden.
"Yang penting kalau PP 23/2010 ini dilakukan adendum, itu wajib ikuti UU Minerba nomor 4/2009. Intinya, kalau ini dilakukan tentunya banyak hal yang harus dilakukan, misalnya ditawarkan ke BUMN atau BUMD," tambah Jonan.
Akibatnya, tarik ulur revisi pun semakin kencang. BUMN berkeras bahwa tambang-tambang batu bara yang akan terminasi, yang kebetulan dimiliki oleh para taipan, tetap harus ditawarkan kepada BUMN terlebih dulu sebelum diberi perpanjangan.
Ini tertuang di surat Rini pada Praktikno 1 Maret 2019 lalu. "Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air. Apalagi 7 tambang yang akan terminasi bisa dibilang tambang batu bara raksasa.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat. Tanito Harum menjadi yang pertama.
Ketujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama itu adalah:
1. PT Tanito Harum yang habis di Januari 2019
2. PT Arutmin Indonesia pada 2020
3. PT Adaro Energy pada 2022
4. PT KPC pada 2021
5. PT Multi Harapan Utama pada 2022
6. PT Kideco Jaya Agung pada 2022
7. PT Berau Coal pada 2025.
Tanggapan PKP2B
Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Jokowi Tahan Revisi PP Batu Bara, BUMN Menang Lawan Swasta?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular