Tarif Tiket Pesawat

Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal Kartel

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 June 2019 07:17
Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal Kartel
Foto: Infografis/Jangan Salah, Maskapai Ini Terbang dari Terminal 2 Per 1 Mei/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini Kementerian Perhubungan mengumumkan bahwa jumlah penumpang pesawat selama mudik Lebaran turun antara 10%-15%, sedangkan penumpang moda transportasi lainnya naik rata-rata 5%.

Tingginya harga tiket maskapai pun menjadi sorotan, apalagi setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumumkan bahwa pihaknya sedang meneliti dugaan praktik kartel antara dua raksasa nasional, yakni Grup Garuda dan Grup Lion Air.


Tim Riset CNBC Indonesia
berusaha menelisik kondisi industri penerbangan Tanah Air, untuk mengecek apakah kenaikan tarif tiket adalah praktik alamiah yang beralasan, ataukah kebijakan mengada-ada tanpa dasar yang muncul dari ruang kasak-kusuk petinggi kedua grup aviasi tersebut.

Jika melihat dari sisi pertumbuhan industri, harus diakui bahwa ada gejala penurunan yang terbaca sejak tahun 2014. Penurunan terjadi setelah pemerintah memperketat maskapai berbiaya murah (low cost carrier/LCC) dengan menetapkan tarif batas bawah (floor price).

Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal KartelFoto: Sumber: Kemenhub
Lembaga Konsultan Aviasi Global CAPA menilai aturan batas bawah tiket pesawat LCC sangat kontraproduktif dengan pertumbuhan industri aviasi. Jika pada periode 2009-2014 industri aviasi nasional tumbuh hingga dua kali lipat, maka tren itu melambat sejak 2014 ketika aturan itu berlaku.

Celakanya, pelaku usaha sudah terlanjur berinvestasi besar-besaran dengan membeli pesawat (umumnya lewat mekanisme sewa guna usaha/leasing). Ini menjelaskan kenapa jumlah pesawat yang dioperasikan maskapai nasional terus tumbuh.

Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal KartelFoto: Sumber: BPS
"LCC umumnya beroperasi dengan harga tiket di rentang lebar, menawarkan tiket super murah bagi penumpang yang memesan jauh-jauh hari untuk jadwal di periode sepi ... high load factor pada gilirannya membantu maskapai menjual lebih banyak jasa lain," tulis CAPA dalam laporan yang dirilis pada awal 2015, merespons kebijakan tarif bawah LCC.


Dengan aturan baru yang dirilis Menteri Ignasius Jonan (kini Menteri ESDM), bisnis LCC mengetat sementara jumlah pesawat yang dioperasikan bertambah. Tiap pesawat tersebut akhirnya "menggendong beban" lebih sedikit, terlihat dari terus turunnya load factor, meski jumlah penumpang dan barang yang diangkut secara akumulatif naik terus dari 2013-2017.

Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal KartelFoto: Sumber: BPS
Dari data tersebut, terlihat bahwa faktor keterisian penumpang turun dari 83% (2013) menjadi hanya 77,6%. Di sisi lain, faktor keterisian kargo juga turun dari 68,5% menjadi 62,1% pada periode yang sama.

Di tengah situasi tersebut, tagihan sewa pesawat jalan terus sedangkan kinerja maskapai kian ngos-ngosan karena makin sulit menarik penumpang. Maka kita melihat kinerja maskapai mengalami tantangan berat dan cenderung memburuk.


NEXT

Di tengah kondisi itu, maskapai menghadapi dua tantangan besar tahun lalu, yakni kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur) dan depresiasi rupiah. Kenaikan harga Avtur berkontribusi besar meningkatkan beban biaya operasional karena menjadi kontributor utama pembentuk biaya operasional maskapai.

“Di sisi biaya, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan harga avtur yang naik signifikan pada 2018 memberikan tekanan besar tidak hanya pada AirAsia, tetapi juga seluruh operator maskapai di Indonesia,” tulis manajemen PT Airasia Indonesia Tbk (CMPP) dalam laporan tahunannya.


Anak usaha Airasia asal Malaysia ini mencatat harga avtur secara rata-rata naik 32,8% dari sekitar US$64/barel pada tahun 2017, menjadi US$85/barel pada tahun 2018—yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2014. Seberapa besar efeknya bagi kinerja operasional mereka?

“Kenaikan harga avtur setiap 1 sen dolar AS akan menambah beban maskapai sekitar US$4,7 juta sepanjang tahun,” tulis manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dalam laporan tahunannya.

Maklum saja, ongkos avtur menyumbang 30%-35% biaya operasional maskapai. Biaya sewa pesawat berada di posisi kedua sekitar 20%-25%, diikuti biaya perbaikan pesawat 10%-15% dan biaya tenaga kerja sebesar 10%.


Besarnya kenaikan biaya avtur dalam menelikung kinerja Garuda ini bisa dilihat dari analisis efisiensi yang dihitung dengan memperbandingkan biaya avtur dengan penumpang yang diangkut. Terlihat bahwa beban BBM cenderung ditekan, tetapi kapasitas untuk membawa penumpang (average seat per kilometer)/ ASK) tak cukup membuat rasio efisiensi kian mengecil tapi anteng di level 2 kali.



Efisiensi tersebut pun tidak cukup membantu perseroan beroleh laba. Apalagi, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), terdepresiasi rata-rata 6,05% sepanjang tahun 2018.

Hal ini memperberat beban operasional industri penerbangan karena pemasukan mereka dalam rupiah sementara biaya avtur dan perawatan pesawat dibayarkan dalam dolar AS.
Bertahan di industri penerbangan Indonesia terbukti bukan perkara mudah.


Ini bisa dilihat dalam rekam jejak kinerja mereka, terutama Garuda dan Airasia Indonesia yang mempublikasikan laporan keuangan. Lion Air tidak mempublikasikan neraca keuangannya karena tidak berstatus sebagai perusahaan terbuka.




Namun dalam satu kesempatan, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B. Pramesti mengakui kondisi keuangan beberapa maskapai seperti Lion Air dan AirAsia Indonesia sedang dalam tekanan.

"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau nggak salah ya [kerugiannya]."

Kini, ketika Garuda dan Lion, bersama dengan Airasia, berencana menaikkan tarif tiketnya, mengikuti tingginya harga avtur dan depresiasi rupiah pemerintah sekonyong-konyong menentangnya. Efek inflatoir dan anti-populisme dari “mahalnya tarif tiket pesawat” lebih diperhatikan ketimbang keberlanjutan industri.


Alih-alih menurunkan atau menyubsidi harga avtur nasional yang saat ini 30% lebih tinggi dari rerata harga avtur International Air Transport Association (IATA), pemerintah memilih mengenakan tarif batas atas untuk tiket pesawat, dan meluncurkan penyidikan atas dugaan kartel Garuda dan Lion Air.

“Indikasi itu sedang kami selidiki. Sejauh ini kami memang belum mendapatkan dua temuan untuk memberikan sanksi atas dugaan kartel ini,” tutur Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV baru-baru ini.

Sudah jatuh ditimpa regulasi LCC, tertimpa dugaan kartel pula. Sudah begitu, diancam dengan masuknya pemain asing juga. Malang nian nasib maskapai nasional kita..


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular