
Tarif Tiket Pesawat
Ironi Aviasi RI: Dicekik Regulasi, Diancam Pasal Kartel
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 June 2019 07:17

Di tengah kondisi itu, maskapai menghadapi dua tantangan besar tahun lalu, yakni kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur) dan depresiasi rupiah. Kenaikan harga Avtur berkontribusi besar meningkatkan beban biaya operasional karena menjadi kontributor utama pembentuk biaya operasional maskapai.
“Di sisi biaya, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan harga avtur yang naik signifikan pada 2018 memberikan tekanan besar tidak hanya pada AirAsia, tetapi juga seluruh operator maskapai di Indonesia,” tulis manajemen PT Airasia Indonesia Tbk (CMPP) dalam laporan tahunannya.
Anak usaha Airasia asal Malaysia ini mencatat harga avtur secara rata-rata naik 32,8% dari sekitar US$64/barel pada tahun 2017, menjadi US$85/barel pada tahun 2018—yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2014. Seberapa besar efeknya bagi kinerja operasional mereka?
“Kenaikan harga avtur setiap 1 sen dolar AS akan menambah beban maskapai sekitar US$4,7 juta sepanjang tahun,” tulis manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dalam laporan tahunannya.
Maklum saja, ongkos avtur menyumbang 30%-35% biaya operasional maskapai. Biaya sewa pesawat berada di posisi kedua sekitar 20%-25%, diikuti biaya perbaikan pesawat 10%-15% dan biaya tenaga kerja sebesar 10%.
Besarnya kenaikan biaya avtur dalam menelikung kinerja Garuda ini bisa dilihat dari analisis efisiensi yang dihitung dengan memperbandingkan biaya avtur dengan penumpang yang diangkut. Terlihat bahwa beban BBM cenderung ditekan, tetapi kapasitas untuk membawa penumpang (average seat per kilometer)/ ASK) tak cukup membuat rasio efisiensi kian mengecil tapi anteng di level 2 kali.
Efisiensi tersebut pun tidak cukup membantu perseroan beroleh laba. Apalagi, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), terdepresiasi rata-rata 6,05% sepanjang tahun 2018.
Hal ini memperberat beban operasional industri penerbangan karena pemasukan mereka dalam rupiah sementara biaya avtur dan perawatan pesawat dibayarkan dalam dolar AS. Bertahan di industri penerbangan Indonesia terbukti bukan perkara mudah.
Ini bisa dilihat dalam rekam jejak kinerja mereka, terutama Garuda dan Airasia Indonesia yang mempublikasikan laporan keuangan. Lion Air tidak mempublikasikan neraca keuangannya karena tidak berstatus sebagai perusahaan terbuka.
Namun dalam satu kesempatan, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B. Pramesti mengakui kondisi keuangan beberapa maskapai seperti Lion Air dan AirAsia Indonesia sedang dalam tekanan.
"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau nggak salah ya [kerugiannya]."
Kini, ketika Garuda dan Lion, bersama dengan Airasia, berencana menaikkan tarif tiketnya, mengikuti tingginya harga avtur dan depresiasi rupiah pemerintah sekonyong-konyong menentangnya. Efek inflatoir dan anti-populisme dari “mahalnya tarif tiket pesawat” lebih diperhatikan ketimbang keberlanjutan industri.
Alih-alih menurunkan atau menyubsidi harga avtur nasional yang saat ini 30% lebih tinggi dari rerata harga avtur International Air Transport Association (IATA), pemerintah memilih mengenakan tarif batas atas untuk tiket pesawat, dan meluncurkan penyidikan atas dugaan kartel Garuda dan Lion Air.
“Indikasi itu sedang kami selidiki. Sejauh ini kami memang belum mendapatkan dua temuan untuk memberikan sanksi atas dugaan kartel ini,” tutur Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV baru-baru ini.
Sudah jatuh ditimpa regulasi LCC, tertimpa dugaan kartel pula. Sudah begitu, diancam dengan masuknya pemain asing juga. Malang nian nasib maskapai nasional kita..
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
“Di sisi biaya, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan harga avtur yang naik signifikan pada 2018 memberikan tekanan besar tidak hanya pada AirAsia, tetapi juga seluruh operator maskapai di Indonesia,” tulis manajemen PT Airasia Indonesia Tbk (CMPP) dalam laporan tahunannya.
Anak usaha Airasia asal Malaysia ini mencatat harga avtur secara rata-rata naik 32,8% dari sekitar US$64/barel pada tahun 2017, menjadi US$85/barel pada tahun 2018—yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2014. Seberapa besar efeknya bagi kinerja operasional mereka?
Maklum saja, ongkos avtur menyumbang 30%-35% biaya operasional maskapai. Biaya sewa pesawat berada di posisi kedua sekitar 20%-25%, diikuti biaya perbaikan pesawat 10%-15% dan biaya tenaga kerja sebesar 10%.
Besarnya kenaikan biaya avtur dalam menelikung kinerja Garuda ini bisa dilihat dari analisis efisiensi yang dihitung dengan memperbandingkan biaya avtur dengan penumpang yang diangkut. Terlihat bahwa beban BBM cenderung ditekan, tetapi kapasitas untuk membawa penumpang (average seat per kilometer)/ ASK) tak cukup membuat rasio efisiensi kian mengecil tapi anteng di level 2 kali.
Efisiensi tersebut pun tidak cukup membantu perseroan beroleh laba. Apalagi, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), terdepresiasi rata-rata 6,05% sepanjang tahun 2018.
Hal ini memperberat beban operasional industri penerbangan karena pemasukan mereka dalam rupiah sementara biaya avtur dan perawatan pesawat dibayarkan dalam dolar AS. Bertahan di industri penerbangan Indonesia terbukti bukan perkara mudah.
Ini bisa dilihat dalam rekam jejak kinerja mereka, terutama Garuda dan Airasia Indonesia yang mempublikasikan laporan keuangan. Lion Air tidak mempublikasikan neraca keuangannya karena tidak berstatus sebagai perusahaan terbuka.
Namun dalam satu kesempatan, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B. Pramesti mengakui kondisi keuangan beberapa maskapai seperti Lion Air dan AirAsia Indonesia sedang dalam tekanan.
"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau nggak salah ya [kerugiannya]."
Kini, ketika Garuda dan Lion, bersama dengan Airasia, berencana menaikkan tarif tiketnya, mengikuti tingginya harga avtur dan depresiasi rupiah pemerintah sekonyong-konyong menentangnya. Efek inflatoir dan anti-populisme dari “mahalnya tarif tiket pesawat” lebih diperhatikan ketimbang keberlanjutan industri.
Alih-alih menurunkan atau menyubsidi harga avtur nasional yang saat ini 30% lebih tinggi dari rerata harga avtur International Air Transport Association (IATA), pemerintah memilih mengenakan tarif batas atas untuk tiket pesawat, dan meluncurkan penyidikan atas dugaan kartel Garuda dan Lion Air.
“Indikasi itu sedang kami selidiki. Sejauh ini kami memang belum mendapatkan dua temuan untuk memberikan sanksi atas dugaan kartel ini,” tutur Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV baru-baru ini.
Sudah jatuh ditimpa regulasi LCC, tertimpa dugaan kartel pula. Sudah begitu, diancam dengan masuknya pemain asing juga. Malang nian nasib maskapai nasional kita..
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
Pages
Most Popular