Tak Cuma Lion Air, Malaysia Airlines Juga Berdarah-darah
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 June 2019 13:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelangsungan hidup maskapai Malaysia Airlines (MAS) telah menjadi sorotan beberapa waktu terakhir karena pemegang saham induknya, Khazanah Nasional Berhad, mengalami kerugian RM 6,3 miliar (Rp 21,6 triliun) tahun lalu untuk pertama kalinya sejak 2005.
Sangat jelas bahwa rencana restrukturisasi perusahaan milik negara itu untuk Malaysia Airlines yang diumumkan pada 2014 tidak berhasil. Khazanah telah menyuntikkan RM 6 miliar untuk mengubah nasib maskapai tetapi tampaknya upaya itu sia-sia padahal maskapai itu telah memecat 3.000 pekerjanya.
Rencana restrukturisasi Khazanah termasuk mengembalikan perusahaan ke bursa saham untuk listing pada 2018. Namun hal itu tetap menjadi mimpi yang belum tercapai.
Mengutip Daily Express, Khazanah menghabiskan RM 1,38 miliar untuk memprivatisasi MAS, RM 1,62 miliar untuk transisi "MAS Lama" menjadi "MAS Baru", dan RM 3 miliar untuk modal kerja.
Ini berarti dana kekayaan pemerintah telah diinvestasikan sebanyak RM 7 miliar sejak restrukturisasi pertama Malaysia Airlines pada tahun 2001.
Malaysia Airlines disebut telah salah kelola di masa lalu dan pemerintah membeli kembali saham perusahaan dari pemiliknya, Tajuddin Ramli, yang adalah CEO-nya dari 1994 hingga 2001 dengan harga RM 8 per saham. Harga sahamnya sebelum delisting pada 2014 adalah 25 sen.
Kepala Riset di Brokerage Inter-Pacific Securities Sdn Bhd, Pong Teng Siew mengatakan kepada FMT bahwa tidak ada alasan kuat bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan maskapai itu.
"Ada maskapai lain yang dapat menyediakan layanan yang disediakannya, mengapa pemerintah perlu terus membiayai Malaysia Airlines?" kata Pong.
Maskapai penerbangan nasional itu telah terpukul akibat harga bahan bakar yang tinggi dan kenaikan biaya. Bahkan ketika maskapai lain bisa mendapatkan keuntungan saat harga minyak rendah pada 2015 dan 2016, maskapai nasional ini malah kesulitan untung.
Banyak fund manager enggan berinvestasi di saham penerbangan karena ada terlalu banyak faktor di luar kendali yang memengaruhi industri, seperti tragedi kembar MH370 dan MH17.
Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengatakan pemerintah mempertimbangkan pilihan apakah akan menutup maskapai, menjualnya, atau membiayai kembali utangnya.
Namun, karena terbatasnya anggaran pemerintah, ia hanya memiliki ruang terbatas untuk bermanuver.
Hal serupa terjadi pada beberapa maskapai di Indonesia.
PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) atau AirAsia mengalami kerugian mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi yang sempat menuai polemik.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengakui memang saat ini laporan keuangan Lion Air menunjukkan hal yang tidak begitu baik. Bahkan Lion Air masih terus dimonitor oleh Kemenhub.
"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
Saksikan video mengenai nasib Malaysia Airlines berikut ini.
[Gambas:Video CNBC]
(prm) Next Article Dilema Mahathir Mohamad: Tutup atau Jual Malaysia Airlines
Sangat jelas bahwa rencana restrukturisasi perusahaan milik negara itu untuk Malaysia Airlines yang diumumkan pada 2014 tidak berhasil. Khazanah telah menyuntikkan RM 6 miliar untuk mengubah nasib maskapai tetapi tampaknya upaya itu sia-sia padahal maskapai itu telah memecat 3.000 pekerjanya.
Rencana restrukturisasi Khazanah termasuk mengembalikan perusahaan ke bursa saham untuk listing pada 2018. Namun hal itu tetap menjadi mimpi yang belum tercapai.
Ini berarti dana kekayaan pemerintah telah diinvestasikan sebanyak RM 7 miliar sejak restrukturisasi pertama Malaysia Airlines pada tahun 2001.
Malaysia Airlines disebut telah salah kelola di masa lalu dan pemerintah membeli kembali saham perusahaan dari pemiliknya, Tajuddin Ramli, yang adalah CEO-nya dari 1994 hingga 2001 dengan harga RM 8 per saham. Harga sahamnya sebelum delisting pada 2014 adalah 25 sen.
![]() |
Kepala Riset di Brokerage Inter-Pacific Securities Sdn Bhd, Pong Teng Siew mengatakan kepada FMT bahwa tidak ada alasan kuat bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan maskapai itu.
"Ada maskapai lain yang dapat menyediakan layanan yang disediakannya, mengapa pemerintah perlu terus membiayai Malaysia Airlines?" kata Pong.
Maskapai penerbangan nasional itu telah terpukul akibat harga bahan bakar yang tinggi dan kenaikan biaya. Bahkan ketika maskapai lain bisa mendapatkan keuntungan saat harga minyak rendah pada 2015 dan 2016, maskapai nasional ini malah kesulitan untung.
Banyak fund manager enggan berinvestasi di saham penerbangan karena ada terlalu banyak faktor di luar kendali yang memengaruhi industri, seperti tragedi kembar MH370 dan MH17.
Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengatakan pemerintah mempertimbangkan pilihan apakah akan menutup maskapai, menjualnya, atau membiayai kembali utangnya.
Namun, karena terbatasnya anggaran pemerintah, ia hanya memiliki ruang terbatas untuk bermanuver.
![]() |
Hal serupa terjadi pada beberapa maskapai di Indonesia.
PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) atau AirAsia mengalami kerugian mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi yang sempat menuai polemik.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengakui memang saat ini laporan keuangan Lion Air menunjukkan hal yang tidak begitu baik. Bahkan Lion Air masih terus dimonitor oleh Kemenhub.
"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
Saksikan video mengenai nasib Malaysia Airlines berikut ini.
[Gambas:Video CNBC]
(prm) Next Article Dilema Mahathir Mohamad: Tutup atau Jual Malaysia Airlines
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular