Lesu di Kurs Tengah BI, Rupiah Sakit di Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 May 2019 10:34
Lesu di Kurs Tengah BI, Rupiah Sakit di Pasar Spot
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Di pasar spot, nasib rupiah pun tidak kalah merana. 

Pada Kamis (9/5/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spor Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.338. Rupiah melemah 0,23% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menyentuh titik terlemah sejak 4 Januari. 

 

Bagaimana dengan di perdagangan pasar spot? Tidak kalah nelangsa. 

Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.340. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, derita rupiah agak berkurang. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.330 di mana rupiah melemah 0,28%. Tetap saja rupiah menyentuh titik terlemah sejak 4 Januari. 


Kala pembukaan pasar, rupiah hanya melemah tipis dan dolar AS masih di bawah Rp 14.300. Namun perlahan depresiasi rupiah semakin dalam. 

Sebenarnya rupiah tidak sendiri, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang , dolar Taiwan, dan dolar Hong Kong yang masih bisa menguat. 

Hanya saja, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam kedua di Benua Kuning. Rupiah (dan yuan China) hanya unggul dari won Korea Selatan.

Berikut perkembangan  nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:10 WIB: 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sentimen negatif memang tengah menerpa pasar keuangan Asia. Tidak hanya di pasar valas, bursa saham pun didominasi warna merah. 

Pada pukul 10:11 WIB, indeks Nikkei 225 anjlok 1,24%, Hang Seng melorot 1,54%, Shanghai Composite amblas 1,1%, Kospi ambrol 1,22%, dan Straits Times minus 0,52%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melemah, tetapi 'hanya' 0,42%. 

Apa yang terjadi? Mengapa investor enggan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia?

Jawabannya adalah perang dagang AS-China. Hubungan Washington-Beijing yang sempat mesra setelah beberapa kali dialog kembali panas.  

Gara-garanya, AS sudah siap menerapkan kenaikan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Kebijakan tersebut berlaku mulai 10 Mei. Produk-produk yang bakal terkena kenaikan bea masuk antara lain modem dan router internet, papan sirkuit, pengisap debu, sampai furnitur. 


Menurut AS, China telah melanggar kesepakatan dengan menolak sejumlah komitmen yang dijanjikan. Dalam kawat diplomatik dari Beijing yang diterima Washington, terungkap bahwa China menghapus beberapa komitmen dalam draf kesepakatan dagang. Mengutip Reuters, China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs. 

"Mereka (China) melanggar kesepakatan. Mereka tidak bisa melakukan itu, jadi mereka harus membayarnya. Saya sudah mengumumkan akan ada kenaikan tarif (bea masuk) dan tidak akan berhenti sampai China berhenti berlaku curang," tegas Presiden AS Donald Trump dalam pidato di Florida, mengutip Reuters. 

Menanggapi tantangan AS, China tidak gentar. Beijing menegaskan akan melakukan counter attack saat AS menaikkan bea masuk. 

"China sangat menyesalkan jika kebijakan bea masuk AS jadi diterapkan. China akan melakukan kebijakan balasan," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters. 


Panas, bung. Api perang dagang kembali berkobar, dan mungkin benar-benar terjadi mulai pekan depan. Harapan damai dagang AS-China semakin jauh dari jangkauan. 

Ini membuat pelaku pasar memilih bermain aman, ogah mengambil risiko. Akibatnya aset-aset keuangan di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual sehingga melemahkan mata uang Benua Kuning.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular