
Petani Makin Tua, Apa yang Harus Dilakukan Presiden Terpilih?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
12 April 2019 10:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menegaskan pentingnya pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif di sektor pertanian. Tujuannya agar generasi muda atau kaum millenial mau kembali aktif 'bertani', khususnya di bidang teknologi pertanian.
Hal itu sangat mendesak untuk dilakukan mengingat sektor pertanian Indonesia saat ini diisi oleh sumber daya manusia (SDM) yang sudah menua dan menurun produktivitasnya, dengan rata-rata usia petani nasional saat ini adalah 45 tahun.
"Omong kosong kita mau jadi negara maju kalau food security kita tidak terpenuhi. Rata-rata umur petani kita saat ini 45 tahun. Perlu regenerasi di pelaku pertanian. Pemerintah perlu ciptakan iklim yang kondusif agar millenial mau kembali aktif terlibat di pertanian, khususnya agri tech," kata Bhima dalam Agrina Agribusiness Outlook 2019, Kamis (11/4/2019).
Menurutnya, salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah meningkatkan alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian ke sektor yang lebih tepat sasaran, yakni teknologi dan digitalisasi pertanian. Insentif permodalan yang mudah diakses tentu akan menarik minat millenial untuk kembali bertani.
"Ini penting, siapapun presidennya nanti harus berani mengunci alokasi KUR minimal 10% untuk start-up, teknologi dan digitalisasi pertanian. Kenapa KUR hanya diberikan pada UMKM yang sudah berkembang tapi tidak bisa dinikmati anak-anak muda kita yang mau mengembangkan pertanian?," jelasnya.
Bhima mengaku prihatin mengapa tidak ada satupun dari empat unicorn-start ups di Tanah Air yang bergerak di sektor pertanian. Menurutnya, kelemahan mendasar agro start-up yang sudah berjalan saat ini adalah infrastruktur digital yang masih harus dibenahi, khususnya di daerah pedesaaan (rural areas).
"Investasi di infrastruktur digital harus dibenahi. Jaringan internet di pedesaan masih jongkok, bagaimana petani bisa terbantu? Juga sudah ada aplikasi yang membantu kerja nelayan mencari ikan, tapi bagaimana nelayan bisa mengakses apps di tengah laut kalau jaringan internetnya sulit?" keluhnya.
Seperti diketahui, akar masalah utama sektor pertanian di negara ini, apapun komoditasnya, adalah minimnya produktivitas hasil pertanian dan rantai pasok yang terlalu panjang. Hal itu menyebabkan tingginya harga produk pertanian saat sampai ke tangan konsumen. Di sisi lain, petani juga tidak kunjung sejahtera.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani (NTP) terus mengalami penurunan dalam tiga bulan pertama tahun ini. Perinciannya Januari 2019 sebesar 103,33, Februari 2019 senilai 102,94, dan Maret 2019 sebesar 102,73.
Bahkan, sepanjang tahun lalu, NTP hanya naik sebesar 0,23%. Adapun NTP Desember 2018 dibandingkan Desember 2017 (year-on-year/yoy) kenaikannya juga hanya sebesar 0,1%.
Sebagai informasi, NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat. Turunnya NTP perlu diwaspadai karena akan berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat. Pasalnya, jumlah petani di Indonesia bisa dibilang cukup banyak.
Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus 2018 BPS, jumlah petani di Indonesia mencapai 33,4 juta jiwa, yang tersebar di berbagai provinsi. Paling besar di Jawa Timur, yang mana mencapai 6,29 juta jiwa.
Artinya, sekitar 12% dari penduduk Indonesia merupakan petani. Jumlah yang cukup besar untuk mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat secara signifikan.
Digitalisasi dapat menjadi cara ampuh untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memotong rantai pasok produk pertanian dari hulu ke hilir, sehingga nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun, akses permodalan yang mudah sudah barang tentu menjadi hal yang vital untuk dapat memancing generasi millenial yang melek teknologi untuk kembali bertani.
Simak video terkait nilai tukar petani di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Orang Indonesia Makin Ogah Jadi Petani Nih, Ada Solusi?
Hal itu sangat mendesak untuk dilakukan mengingat sektor pertanian Indonesia saat ini diisi oleh sumber daya manusia (SDM) yang sudah menua dan menurun produktivitasnya, dengan rata-rata usia petani nasional saat ini adalah 45 tahun.
"Omong kosong kita mau jadi negara maju kalau food security kita tidak terpenuhi. Rata-rata umur petani kita saat ini 45 tahun. Perlu regenerasi di pelaku pertanian. Pemerintah perlu ciptakan iklim yang kondusif agar millenial mau kembali aktif terlibat di pertanian, khususnya agri tech," kata Bhima dalam Agrina Agribusiness Outlook 2019, Kamis (11/4/2019).
Menurutnya, salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah meningkatkan alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian ke sektor yang lebih tepat sasaran, yakni teknologi dan digitalisasi pertanian. Insentif permodalan yang mudah diakses tentu akan menarik minat millenial untuk kembali bertani.
"Ini penting, siapapun presidennya nanti harus berani mengunci alokasi KUR minimal 10% untuk start-up, teknologi dan digitalisasi pertanian. Kenapa KUR hanya diberikan pada UMKM yang sudah berkembang tapi tidak bisa dinikmati anak-anak muda kita yang mau mengembangkan pertanian?," jelasnya.
Bhima mengaku prihatin mengapa tidak ada satupun dari empat unicorn-start ups di Tanah Air yang bergerak di sektor pertanian. Menurutnya, kelemahan mendasar agro start-up yang sudah berjalan saat ini adalah infrastruktur digital yang masih harus dibenahi, khususnya di daerah pedesaaan (rural areas).
"Investasi di infrastruktur digital harus dibenahi. Jaringan internet di pedesaan masih jongkok, bagaimana petani bisa terbantu? Juga sudah ada aplikasi yang membantu kerja nelayan mencari ikan, tapi bagaimana nelayan bisa mengakses apps di tengah laut kalau jaringan internetnya sulit?" keluhnya.
![]() |
Seperti diketahui, akar masalah utama sektor pertanian di negara ini, apapun komoditasnya, adalah minimnya produktivitas hasil pertanian dan rantai pasok yang terlalu panjang. Hal itu menyebabkan tingginya harga produk pertanian saat sampai ke tangan konsumen. Di sisi lain, petani juga tidak kunjung sejahtera.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani (NTP) terus mengalami penurunan dalam tiga bulan pertama tahun ini. Perinciannya Januari 2019 sebesar 103,33, Februari 2019 senilai 102,94, dan Maret 2019 sebesar 102,73.
Bahkan, sepanjang tahun lalu, NTP hanya naik sebesar 0,23%. Adapun NTP Desember 2018 dibandingkan Desember 2017 (year-on-year/yoy) kenaikannya juga hanya sebesar 0,1%.
Sebagai informasi, NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat. Turunnya NTP perlu diwaspadai karena akan berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat. Pasalnya, jumlah petani di Indonesia bisa dibilang cukup banyak.
Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus 2018 BPS, jumlah petani di Indonesia mencapai 33,4 juta jiwa, yang tersebar di berbagai provinsi. Paling besar di Jawa Timur, yang mana mencapai 6,29 juta jiwa.
Artinya, sekitar 12% dari penduduk Indonesia merupakan petani. Jumlah yang cukup besar untuk mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat secara signifikan.
Digitalisasi dapat menjadi cara ampuh untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memotong rantai pasok produk pertanian dari hulu ke hilir, sehingga nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun, akses permodalan yang mudah sudah barang tentu menjadi hal yang vital untuk dapat memancing generasi millenial yang melek teknologi untuk kembali bertani.
Simak video terkait nilai tukar petani di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Orang Indonesia Makin Ogah Jadi Petani Nih, Ada Solusi?
Most Popular