Terbangi Langit RI di Tahun Politik: Murah tapi Merugi?

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
16 January 2019 08:42
Maskapai penerbangan sedang hadapi masalah keuangan karena tingginya beban operasional.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) mendesak pemerintah memproteksi maskapai nasional. Ketua Umum INACA, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, mengaku, hampir semua maskapai nasional dalam kondisi tertekan.

"Pemerintah harus memproteksi maskapai nasional. Jangan terlalu gampang memberikan slot kepada maskapai asing untuk airport kita dan juga jangan menambah pemain di maskapai nasional, karena ini sudah 11 maskapai nasional sudah megap-megap semua, jangan ditambah lagi," ujar Ari Askhara, sapaan akrabnya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (16/1/2019).

Apalagi, maskapai yang tergabung dalam INACA telah sepakat menurunkan harga tiket sejak beberapa hari lalu. Dia tidak ingin pengurangan tarif kian membuat keuangan maskapai nasional berdarah-darah.

Karena itu, dia juga telah menyampaikan keluhan tingginya biaya operasional kepada stakeholder terkait. Dalam hal ini, Ari telah berkomunikasi dengan Angkasa Pura (AP), Airnav, dan Pertamina untuk membantu mengurangi variabel pembiayaan operasional.

"Kami hanya meminta, kalau meminta enggak harus memaksa. Kalau yang AP I dan II serta Airnav kita meminta [penurunan] sekitar 30%, Pertamina kita minta 10%," papar pria yang juga menjabat Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia itu.

Selain itu dia juga meminta tiap maskapai melakukan efisiensi dan pandai-pandai berinovasi. Garuda Indonesia sendiri, tidak menutup kemungkinan bakal menaikkan lagi tarif penerbangan domestik.

Terbangi Langit RI di Tahun Politik: Murah tapi Merugi?Foto: Pengunjung melihat model pesawat Boeing di Aviation Expo China 2015, di Beijing, Cina, 16 September 2015. REUTERS/Jason Lee/File Photo

"Saya akan naikkan bertahap lah ya. Kita kan di jam-jam tertentu memang kita sudah punya tarif tetap, tidak akan diturunkan. Nah di jam-jam yang kurang favorit, kalau demandnya tiba-tiba naik kayak Imlek besok ya kita naikkan. Kan itu demand-supply saja. Kalau kita pasang 30 seat, dan itu habis, berarti itu demand-nya naik. Nah kita naikkan sedikit harganya," bebernya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, dalam kesempatan yang sama mengingatkan agar maskapai tetap memperhatikan konsumen dalam hal penentuan tarif. Dia pun menilai, kenaikan tarif secara serentak di akhir 2018 hingga awal 2019 lalu, cukup membuat masyarakat shock.

"Masyarakat shock, di sisi lain maskapai tanda kutip gagal memahami psikologi konsumen. Harga itu tidak semata-mata melanggar atau tidak melanggar regulasi tarif. Saya kira masyarakat sudah terbiasa dengan tarif murah, ketika diskon diambil, akan sakit," katanya.

Shock yang terjadi, menurutnya dipicu oleh pencabutan diskon yang terlalu tinggi, membuat kenaikan tarif bisa mencapai 80 sampai ratusan persen. Selain itu, sejumlah LCC juga mulai mencabut layanan bagasi gratis.

Menurut YLKI, publik menganggap bagasi berbayar sebagai kenaikan tarif secara terselubung. Sejalan dengan itu, dia khawatir kenaikan tarif akan berdampak negatif pada maskapai itu sendiri.

"Pada batas tertentu kalau ini dibiarkan, akan jadi boomerang bagi maskapai sendiri. Jangan sampai maskapai RI ambruk, kemudian diisi asing. Kita tidak ingin langit Indonesia diterbangi maskapai asing," cetusnya.

Di sisi lain, Dirut Citilink, Juliandra Nurtjahjo, membeberkan betapa tertekannya bisnis angkutan penerbangan RI. Dia mengutarakan biaya operasional Citilink berdarah-darah hingga membengkak sebesar US$ 102 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun (kurs 14.093) pada 2018.

Faktor utama pembengkakan ini adalah naiknya harga avtur dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dikatakan, pada 2017 harga avtur rata-rata berkisar US$ 55,1 per liter. Angka itu melonjak pada 2018, yakni US$ 65,4 per liter.

"Kenaikan US$ 1 per liter akan menambah cost sebesar US$ 4,7 juta per tahun," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Dalam hal ini, Citilink membeli avtur menggunakan dolar, sedangkan pemasaran jasa Citilink di RI kebanyakan menggunakan rupiah. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar juga berpengaruh signifikan. 

"Penurunan Rp 100 karena kurs rupiah melemah, mengurangi revenue kita US$ 5,3 juta per tahun. Sehingga di 2018 kita menghitung ternyata tambahan biaya, ditambah biaya bandar udara, menambah hingga 13,5 % atau US$ 102 juta," keluhnya.

Kondisi yang demikian mayoritas juga dialami semua maskapai penerbangan nasional. Karena itu, menurutnya semua airline, terutama LCC, harus memiliki strategi tepat dan berinovasi tinggi.
 
"Di 3 bulan terakhir 2018 kita berusaha agar survive, kita kurangi alokasi harga yang di bawah [mendekati tarif batas bawah]. Bukan menaikkan harga, tapi mengurangi diskon, bahasa halusnya kan gitu," imbuhnya 

Selain itu, Citilink juga gencar menyewakan space di dalam kabin bagasi pesawat sebagai sarana advertising. Sejumlah space di luar pesawat juga dimanfaatkan untuk advertising.

Dengan cara itu Citilink mampu mendapatkan tambahan revenue. "Inovasi jual makanan juga perlu, harga kita naikkan tapi service experience pelanggan tetap harus naik. Kita improve setiap 6 bulan ganti tema makanan, sangat Indonesia sekali," paparnya.

Kondisi demikian diperparah dengan alternatif lain moda transportasi. Keberadaan Tol Trans Jawa, misalnya, ternyata berdampak pada okupansi jasa angkutan penerbangan. Anggota Ombudsman Alvin Lie mengatakan, kondisi ini membuat airline harus memutar otak untuk menjalankan roda bisnis.

"Diresmikannya tol Trans Jawa sangat berpengaruh mengubah peta Transportasi. Penerbangan lintas kota di Jawa mendapatkan persaingan luar biasa," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Di luar hantu kemacetan pada ruas Jakarta-Cikampek, jarak tempuh antar kota di Jawa melalui jalur darat nyaris di bawah 6 jam. Kondisi tersebut membuat masyarakat yang tadinya lebih suka menggunakan pesawat, beralih ke jalur darat.

"Cirebon-Semarang cuma 2 jam. Yang tadinya Semarang-Surabaya tiketnya [pesawat] hampir Rp 1 juta sekarang sepi karena naik mobil paling lama 3,5 jam," lanjut Alvin Lie.

Sejalan dengan itu, dia menyebut data penerbangan selama Desember 2019 cenderung mengalami tren menurun. 

"Khusus 6 bandara besar, turunnya bahkan sampai 13,4 %. Ini sangat signifikan. Demikian juga pergerakan pesawat, jumlah yang berangkat dan mendarat turun. Berarti airline juga mengurangi jumlah penerbangan. Ini mengindikasikan bahwa kondisi airline sedang sangat kritis dari aspek keuangan," bebernya.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan mencatat penumpang pesawat rute domestik selama lima hari libur natal dan tahun baru (Nataru), hingga 30 Desember 2018, turun 16,26% menjadi 2,74 juta penumpang dibandingkan waktu yang sama pada tahun sebelumnya. Total jumlah penumpang berangkat domestik dan internasional tercatat sebanyak 3,28 juta orang. Angka ini menunjukan penurunan sebesar 13% dibandingkan tahun sebelumnya.

[Gambas:Video CNBC]



(roy/roy) Next Article Bukti Kejamnya VOC Zaman Now: Hancurkan Bisnis Penerbangan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular