
Fraser Institute: Investasi Migas RI Terhambat Regulasi
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 January 2019 21:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Fraser Institute, sebuah lembaga penelitian independen yang berpusat di Kanada merilis hasil penelitiannya yang berjudul Global Petroleum Survey 2018.
Penelitian tersebut memaparkan hasil survei yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan migas di dunia. Survei dilakukan untuk mendapatkan nilai Policy Perception Indeks (PPI) yang menyatakan tingkat ketertarikan untuk berinvestasi pada sektor eksplorasi dan produksi migas (minyak dan gas) di suatu daerah yang memiliki cadangan minyak.
Responden yang dikumpulkan, sejumlah 265 orang, dikatakan memiliki cukup kapabilitas dan data yang memadai untuk mengevaluasi 80 wilayah di dunia yang memiliki 53% cadangan, serta berkontribusi sebesar 68% produksi minyak dan gas dunia.
Sebagian besar responden (34,29%) merupakan kategori pemimpin perusahaan (ketua, CEO, presiden, atau direltur), disusul oleh kelompok konsultan profesional industri migas (25,31%).
Latar belakang responden yang dipakai oleh Fraser Institute cukup bisa diterima, mengingat posisi-posisi tersebut memang besar keterlibatannya dalam penentuan arah kebijakan perusahaan.
Perusahaan yang dipilih dalam penelitian ini juga selaras dengan tema penelitian, dimana sekitar 57% diantaranya terlibat aktif dalam kegiatan eksplorasi dan pengembangan minyak, sementara 41% aktif melakukan kegiatan eksporasi dan pengembangan gas alam.
Dalam penelitian terebtut Indonesia termasuk dalam golongan wilayah yang memiliki cadangan migas terbesar, yaitu sebesar 21,92 bboe (setara miliar barel minyak).
Namun, sayangnya, Indonesia berada pada urutan ke 71 (10 dari bawah) dengan nilai PPI 47,16. Sementara 5 wilayah terbaik adalah Texas, Oklahoma, Kansas, Wyoming, dan North Dakota, yang mana semuanya ada di Amerika Serikat. Juga masih kalah dari Malaysia yang bertengger di posisi 49 dengan nilai 64,52.
Nilai PPI bervariasi dari 0 hingga 100, dimana semakin besar, menunjukkan ketertarikan yang tinggi responden untuk berinvestasi.
Artinya Indonesia dipandang kurang menarik untuk menanamkan investasi di sektor eksplorasi dan produksi migas dibanding sebagian besar wilayah-wilayah lain di dunia.
Menurut penelitian ini, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas dalam negeri yang cenderung berubah-ubah.
"Indonesia secara cenderung plin-plan mengenai peraturan pemerintah dan kementerian terkait industri migas, yang mana menurunkan keputusan investasi"
"Sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa"
"Proses regulasi yang tidak pasti dan bias"
Seperti yang ditulis di dalam penelitannya.
Kementerian ESDM pada 2018 silam memang mulai mencanangkan perubahan sistem kontrak, dari yang semula menggunakan sistem cost-recovery, berubah menjadi sistem gross split.
Cost revovery merupakan skema investasi dimana biaya eksplorasi dan produksi awal ditanggung oleh Kontrator Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang nantinya pemerintah akan membayar uang pengganti dalam bentuk bagi hasil produksi migas.
Sedangkan pada skema gross split, seluruh beban operasional ditanggung oleh KKKS, yang nantinya pemerintah hanya akan mendapatkan bagi hasil yang pasti.
Namun memang, skema baru ini baru dicanangkan tahun lalu, sedangkan pada saat yang sama, sudah banyak KKKS yang tengah beroperasi di Indonesia.
Memang, skema gross split tidak langsung diterapkan pada KKKS yang sudah beroperasi, namun tetap saja, perubahan peraturan artinya perusahaan harus mengatur ulang skema operasi hingga aliran dana.
Sebab pada saat awal investasi, perencanaan untung-rugi mempengaruhi cara kerja perusahaan. Apalagi kalau perubahan peraturan terjadi di saat sudah banyak aset-aset yang dibangun, bisa-bisa perhitungan pada awal investasi keliru semua.
Apalagi, di Indonesia, aturan kontrak karya hanya diatur oleh peraturan menteri ESDM. Artinya, bila menterinya berubah, peraturan juga bisa cepat berubah.
Memang penelitian ini tidak langsung serta merta menyatakan bahwa Indonesia sama sekali tidak diminati investor. Namun tetap saja, bila ingin iklim investasi diminati, regulasi pemerintah adalah prioritas utama yang harus dibenahi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article ESDM: Tanpa Disrupsi Gross Split, Industri Migas RI Punah
Penelitian tersebut memaparkan hasil survei yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan migas di dunia. Survei dilakukan untuk mendapatkan nilai Policy Perception Indeks (PPI) yang menyatakan tingkat ketertarikan untuk berinvestasi pada sektor eksplorasi dan produksi migas (minyak dan gas) di suatu daerah yang memiliki cadangan minyak.
Responden yang dikumpulkan, sejumlah 265 orang, dikatakan memiliki cukup kapabilitas dan data yang memadai untuk mengevaluasi 80 wilayah di dunia yang memiliki 53% cadangan, serta berkontribusi sebesar 68% produksi minyak dan gas dunia.
Latar belakang responden yang dipakai oleh Fraser Institute cukup bisa diterima, mengingat posisi-posisi tersebut memang besar keterlibatannya dalam penentuan arah kebijakan perusahaan.
Perusahaan yang dipilih dalam penelitian ini juga selaras dengan tema penelitian, dimana sekitar 57% diantaranya terlibat aktif dalam kegiatan eksplorasi dan pengembangan minyak, sementara 41% aktif melakukan kegiatan eksporasi dan pengembangan gas alam.
Dalam penelitian terebtut Indonesia termasuk dalam golongan wilayah yang memiliki cadangan migas terbesar, yaitu sebesar 21,92 bboe (setara miliar barel minyak).
Namun, sayangnya, Indonesia berada pada urutan ke 71 (10 dari bawah) dengan nilai PPI 47,16. Sementara 5 wilayah terbaik adalah Texas, Oklahoma, Kansas, Wyoming, dan North Dakota, yang mana semuanya ada di Amerika Serikat. Juga masih kalah dari Malaysia yang bertengger di posisi 49 dengan nilai 64,52.
Nilai PPI bervariasi dari 0 hingga 100, dimana semakin besar, menunjukkan ketertarikan yang tinggi responden untuk berinvestasi.
Artinya Indonesia dipandang kurang menarik untuk menanamkan investasi di sektor eksplorasi dan produksi migas dibanding sebagian besar wilayah-wilayah lain di dunia.
Menurut penelitian ini, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas dalam negeri yang cenderung berubah-ubah.
"Indonesia secara cenderung plin-plan mengenai peraturan pemerintah dan kementerian terkait industri migas, yang mana menurunkan keputusan investasi"
"Sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa"
"Proses regulasi yang tidak pasti dan bias"
Seperti yang ditulis di dalam penelitannya.
Kementerian ESDM pada 2018 silam memang mulai mencanangkan perubahan sistem kontrak, dari yang semula menggunakan sistem cost-recovery, berubah menjadi sistem gross split.
Cost revovery merupakan skema investasi dimana biaya eksplorasi dan produksi awal ditanggung oleh Kontrator Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang nantinya pemerintah akan membayar uang pengganti dalam bentuk bagi hasil produksi migas.
Sedangkan pada skema gross split, seluruh beban operasional ditanggung oleh KKKS, yang nantinya pemerintah hanya akan mendapatkan bagi hasil yang pasti.
Namun memang, skema baru ini baru dicanangkan tahun lalu, sedangkan pada saat yang sama, sudah banyak KKKS yang tengah beroperasi di Indonesia.
Memang, skema gross split tidak langsung diterapkan pada KKKS yang sudah beroperasi, namun tetap saja, perubahan peraturan artinya perusahaan harus mengatur ulang skema operasi hingga aliran dana.
Sebab pada saat awal investasi, perencanaan untung-rugi mempengaruhi cara kerja perusahaan. Apalagi kalau perubahan peraturan terjadi di saat sudah banyak aset-aset yang dibangun, bisa-bisa perhitungan pada awal investasi keliru semua.
Apalagi, di Indonesia, aturan kontrak karya hanya diatur oleh peraturan menteri ESDM. Artinya, bila menterinya berubah, peraturan juga bisa cepat berubah.
Memang penelitian ini tidak langsung serta merta menyatakan bahwa Indonesia sama sekali tidak diminati investor. Namun tetap saja, bila ingin iklim investasi diminati, regulasi pemerintah adalah prioritas utama yang harus dibenahi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article ESDM: Tanpa Disrupsi Gross Split, Industri Migas RI Punah
Most Popular