Ternyata, Tsunami Selat Sunda Sudah Diprediksi Sejak 2012
30 December 2018 18:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah studi yang dilakukan enam tahun lalu oleh Geological Society of London terkait Gunung Anak Krakatau mengungkap sebuah fakta yang mengejutkan.
Studi itu secara akurat memperkirakan kemungkinan bahaya besar yang akan muncul dari gunung berapi itu. Sejatinya, studi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah bencana alam terbaru di Indonesia yang telah menewaskan lebih dari 400 orang, yaitu tsunami Selat Sunda.
Studi pada tahun 2012 yang dilakukan T. Giachetti, R. Paris, K. Kelfoun, dan B. Ontowirjo dari Geological Society of London berjudul "Bahaya tsunami terkait dengan runtuhnya sisi tepi gunung berapi Anak Krakatau, Selat Sunda, Indonesia."
Studi tahun 2012 tersebut menyatakan tsunami dapat dipicu oleh runtuhnya bagian tepi Gunung Anak Krakatau. Sebab, sebagian dari gunung itu dibangun dinding kaldera akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Menggunakan model numerik, studi mensimulasikan tanah longsor Anak Krakatau dan kemungkinan tsunami, memerinci waktu tempuh tsunami, dan amplitudo gelombang ketika mengenai berbagai daerah pantaim termasuk Sumur, Carita, Labuan dan Anyer di Banten dan bagian dari provinsi Lampung.
Pada Sabtu, 22 Desember 2018, musibah itu terjadi. Wilayah-wilayah yang disebutkan dalam penelitian ini adalah wilayah yang memiliki tingkat kehancuran yang begitu parah.
Sebagian lereng gunung berapi ambruk setelah letusan 22 Desember dan jatuh ke lautan, membawa sejumlah besar air, menghasilkan gelombang setinggi 5 meter yang kemudian membanjiri garis pantai terdekat Jawa dan Sumatra.
Hingga Sabtu (29/12/2018), BNPB mencatat korban tsunami Selat Sunda antara lain 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi.
Kecamatan Sumur, yang terdiri dari tujuh desa pesisir, menjadi wilayah yang terpukul paling parah. Tim SAR masih mencari mayat-mayat korban di bawah puing-puing rumah dan pohon-pohon tumbang. Dibutuhkan lebih banyak ekskavator dalam menumpang operasi tersebut.
Gunung Anak Krakatau muncul sekitar tahun 1927 setelah "induknya", Gunung Krakatau, meletus 44 tahun sebelumnya, menewaskan lebih dari 36.000 orang.
Laporan studi juga menguraikan reruntuhan tepi gunung yang jatuh ke barat daya dapat memicu gelombang raksasa yang kemudian akan menyebar melintasi Selat Sunda dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam sampai 100 km/jam.
"Tsunami akan mencapai daerah-daerah di pantai barat Jawa, 35-45 menit setelah keruntuhan. Gelombang-gelombang ini menghadirkan risiko yang tidak dapat diabaikan," laporan itu memperingatkan, dilansir dari The Straits Times, Ahad (30/12/18).
Laporan itu juga membuat rekomendasi yang jelas, "Deteksi cepat runtuhan oleh observatorium gunung berapi, bersama dengan sistem peringatan yang efisien di pantai, mungkin akan mencegah hipotetis ini menjadi peristiwa mematikan."
[Gambas:Video CNBC]
Tsunami terjadi pada malam hari tanpa peringatan. Pihak berwenang Indonesia mengatakan, sistem peringatan dini hanya dapat diaktifkan jika tsunami didahului oleh gempa bumi.
Laporan itu juga menyajikan tabel yang perinci, antara lain, bahwa Carita dapat terkena gelombang setinggi 2,9 m, Labuan 3,4 m, dan Sumur 1,2 m. Waktu perjalanan tsunami ke tempat-tempat ini, masing-masing, bisa dalam 37 menit, 40 menit dan 36 menit.
Ini dihitung sebagian berdasarkan jarak dan kedalaman air di berbagai bagian Selat Sunda. Semakin dangkal, maka semakin cepat kecepatannya.
Ketika ditanya oleh The Straits Times pada Jumat, tentang bahaya tsunami Selat Sunda, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo mengatakan bahwa Badan Geologi akan kewalahan jika terus melacak semua studi yang telah dilakukan.
"Ada banyak dari mereka," kata Pak Antonius. "Seribu penelitian, dan salah satunya benar. Bagaimana kita bisa melakukan ini?," ujarnya.
(miq/miq)
Studi itu secara akurat memperkirakan kemungkinan bahaya besar yang akan muncul dari gunung berapi itu. Sejatinya, studi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah bencana alam terbaru di Indonesia yang telah menewaskan lebih dari 400 orang, yaitu tsunami Selat Sunda.
Studi pada tahun 2012 yang dilakukan T. Giachetti, R. Paris, K. Kelfoun, dan B. Ontowirjo dari Geological Society of London berjudul "Bahaya tsunami terkait dengan runtuhnya sisi tepi gunung berapi Anak Krakatau, Selat Sunda, Indonesia."
Studi tahun 2012 tersebut menyatakan tsunami dapat dipicu oleh runtuhnya bagian tepi Gunung Anak Krakatau. Sebab, sebagian dari gunung itu dibangun dinding kaldera akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Menggunakan model numerik, studi mensimulasikan tanah longsor Anak Krakatau dan kemungkinan tsunami, memerinci waktu tempuh tsunami, dan amplitudo gelombang ketika mengenai berbagai daerah pantaim termasuk Sumur, Carita, Labuan dan Anyer di Banten dan bagian dari provinsi Lampung.
![]() |
Pada Sabtu, 22 Desember 2018, musibah itu terjadi. Wilayah-wilayah yang disebutkan dalam penelitian ini adalah wilayah yang memiliki tingkat kehancuran yang begitu parah.
Sebagian lereng gunung berapi ambruk setelah letusan 22 Desember dan jatuh ke lautan, membawa sejumlah besar air, menghasilkan gelombang setinggi 5 meter yang kemudian membanjiri garis pantai terdekat Jawa dan Sumatra.
Hingga Sabtu (29/12/2018), BNPB mencatat korban tsunami Selat Sunda antara lain 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi.
Kecamatan Sumur, yang terdiri dari tujuh desa pesisir, menjadi wilayah yang terpukul paling parah. Tim SAR masih mencari mayat-mayat korban di bawah puing-puing rumah dan pohon-pohon tumbang. Dibutuhkan lebih banyak ekskavator dalam menumpang operasi tersebut.
Gunung Anak Krakatau muncul sekitar tahun 1927 setelah "induknya", Gunung Krakatau, meletus 44 tahun sebelumnya, menewaskan lebih dari 36.000 orang.
Laporan studi juga menguraikan reruntuhan tepi gunung yang jatuh ke barat daya dapat memicu gelombang raksasa yang kemudian akan menyebar melintasi Selat Sunda dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam sampai 100 km/jam.
"Tsunami akan mencapai daerah-daerah di pantai barat Jawa, 35-45 menit setelah keruntuhan. Gelombang-gelombang ini menghadirkan risiko yang tidak dapat diabaikan," laporan itu memperingatkan, dilansir dari The Straits Times, Ahad (30/12/18).
Laporan itu juga membuat rekomendasi yang jelas, "Deteksi cepat runtuhan oleh observatorium gunung berapi, bersama dengan sistem peringatan yang efisien di pantai, mungkin akan mencegah hipotetis ini menjadi peristiwa mematikan."
[Gambas:Video CNBC]
Tsunami terjadi pada malam hari tanpa peringatan. Pihak berwenang Indonesia mengatakan, sistem peringatan dini hanya dapat diaktifkan jika tsunami didahului oleh gempa bumi.
Laporan itu juga menyajikan tabel yang perinci, antara lain, bahwa Carita dapat terkena gelombang setinggi 2,9 m, Labuan 3,4 m, dan Sumur 1,2 m. Waktu perjalanan tsunami ke tempat-tempat ini, masing-masing, bisa dalam 37 menit, 40 menit dan 36 menit.
Ini dihitung sebagian berdasarkan jarak dan kedalaman air di berbagai bagian Selat Sunda. Semakin dangkal, maka semakin cepat kecepatannya.
Ketika ditanya oleh The Straits Times pada Jumat, tentang bahaya tsunami Selat Sunda, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo mengatakan bahwa Badan Geologi akan kewalahan jika terus melacak semua studi yang telah dilakukan.
"Ada banyak dari mereka," kata Pak Antonius. "Seribu penelitian, dan salah satunya benar. Bagaimana kita bisa melakukan ini?," ujarnya.
![]() |
Artikel Selanjutnya
Dampak Tsunami Capai 250 KM, Banyak Hotel Rusak Berat
(miq/miq)