
70% Lahan Sawit Tak Bersertifikasi, Mungkinkah Wajib ISPO?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
22 December 2018 17:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sedang mendorong agar sertifikasi industri kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil / ISPO) dapat diterapkan secara wajib pada seluruh perkebunan sawit terintegrasi di Tanah Air, baik itu milik negara, swasta, maupun rakyat.
Hal ini coba dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Pembangunan Kelapa Sawit berkelanjutan (ISPO) yang ditargetkan dapat selesai di semester I-2019.
Aturan ini akan memperkuat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 11/2015 saat ini yang baru mewajibkan ISPO bagi perkebunan milik negara/perusahaan swasta.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, pemerintah berkepentingan agar perkebunan rakyat juga memenuhi standar keberlanjutan.
"Tujuannya supaya komoditas sawit kita tidak menjadi bulan-bulanan di Eropa. Pekebun rakyat mungkin kesulitan mengurusnya, tapi kita akan bantu," ujar Darmin usai rapat di kantornya, Jumat (21/12/2018).
Seperti diketahui, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap penggunaan biofuel berbasis tanaman, termasuk kelapa sawit hingga 2030 karena dianggap beresiko tinggi terhadap alih fungsi lahan hutan (indirect land use change/ ILUC).
Eropa sendiri merupakan pasar ekspor nomor dua bagi komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) RI dan produk turunannya setelah India. Itulah mengapa pemerintah berupaya keras memenuhi tuntutan keberlanjutan dari konsumen di Benua Biru.
Seperti kata Menko Darmin, memperoleh sertifikasi ISPO bukanlah hal yang mudah dan murah bagi pekebun rakyat (swadaya). Pertama-tama, pekebun rakyat harus memiliki legalitas lahan dalam bentuk sertifikat tanah (Sertifikat Hak Milik/SHM). Di sini lah masalah utama muncul.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengklaim lebih dari 70% lahan perkebunan rakyat saat ini belum memiliki sertifikat. Jika menilik Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian 2018, artinya lebih dari 4 juta hektar dari total 5,8 juta hektar lahan sawit rakyat di Tanah Air belum punya legalitas.
"Tidak hanya satu petani, tapi hampir semua petani swadaya tidak punya sertifikat lahan. Biaya mengurusnya yang mahal menjadi kendala, sekitar Rp 3,5 juta per hektar. Bagi petani, ngapain mereka urus sertifikat tanah? Lebih bagus mereka beli pupuk," ujar Ketua Umum SPKS, Mansuetus Darto kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Untuk menjawab permasalahan ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengharapkan dana pungutan ekspor dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dapat dialokasikan untuk membantu pekebun rakyat memproses sertifikat lahan hingga mengurus ISPO itu sendiri.
"Kita harus dukung program keberlanjutan. Supaya rakyat ikut berpartisipasi dan mereka mau ikut ISPO ya harus dibantu dana [pungutan] sawit," kata Sofyan.
Ketua Dewan Pengawas BPDP-KS Rusman Heriawan sependapat dengan Sofyan. Menurutnya, misi BPDP sebenarnya mencakup dukungan finansial bagi sertifikasi lahan pekebun rakyat.
"Bahkan dalam program replanting kita, di luar dana Rp 25 juta per hektar, ada dana yang bisa kita tempelkan untuk selesaikan sertifikasi lahan. Bukan berarti untuk danai ISPO-nya, tapi misalnya permohonan replanting disetujui, dia sudah dekat dengan ISPO," kata Rusman beberapa waktu lalu.
Dia menegaskan, segala dukungan dana dari BPDP bagi legalitas lahan tentunya mengarah pada percepatan ISPO.
Data Ditjen Perkebunan Kementan per 12 Desember 2018 mencatat, luas area perkebunan sawit yang telah mengantongi sertifikasi ISPO mencapai 3,1 juta hektar atau 21,66% dari total area perkebunan sawit nasional. Adapun jumlah sertifikat yang telah diterbitkan mencapai 457 sertifikat.
Pemerintah sendiri menargetkan 70% dari total lahan perkebunan sawit nasional harus memiliki sertifikat ISPO di 2020.
[Gambas:Video CNBC]
(roy) Next Article 35% Lahan Kantongi Sertifikat Sawit Berkelanjutan ala RI
Hal ini coba dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Pembangunan Kelapa Sawit berkelanjutan (ISPO) yang ditargetkan dapat selesai di semester I-2019.
Aturan ini akan memperkuat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 11/2015 saat ini yang baru mewajibkan ISPO bagi perkebunan milik negara/perusahaan swasta.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, pemerintah berkepentingan agar perkebunan rakyat juga memenuhi standar keberlanjutan.
![]() |
"Tujuannya supaya komoditas sawit kita tidak menjadi bulan-bulanan di Eropa. Pekebun rakyat mungkin kesulitan mengurusnya, tapi kita akan bantu," ujar Darmin usai rapat di kantornya, Jumat (21/12/2018).
Seperti diketahui, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap penggunaan biofuel berbasis tanaman, termasuk kelapa sawit hingga 2030 karena dianggap beresiko tinggi terhadap alih fungsi lahan hutan (indirect land use change/ ILUC).
Eropa sendiri merupakan pasar ekspor nomor dua bagi komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) RI dan produk turunannya setelah India. Itulah mengapa pemerintah berupaya keras memenuhi tuntutan keberlanjutan dari konsumen di Benua Biru.
Seperti kata Menko Darmin, memperoleh sertifikasi ISPO bukanlah hal yang mudah dan murah bagi pekebun rakyat (swadaya). Pertama-tama, pekebun rakyat harus memiliki legalitas lahan dalam bentuk sertifikat tanah (Sertifikat Hak Milik/SHM). Di sini lah masalah utama muncul.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengklaim lebih dari 70% lahan perkebunan rakyat saat ini belum memiliki sertifikat. Jika menilik Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian 2018, artinya lebih dari 4 juta hektar dari total 5,8 juta hektar lahan sawit rakyat di Tanah Air belum punya legalitas.
![]() |
"Tidak hanya satu petani, tapi hampir semua petani swadaya tidak punya sertifikat lahan. Biaya mengurusnya yang mahal menjadi kendala, sekitar Rp 3,5 juta per hektar. Bagi petani, ngapain mereka urus sertifikat tanah? Lebih bagus mereka beli pupuk," ujar Ketua Umum SPKS, Mansuetus Darto kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Untuk menjawab permasalahan ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengharapkan dana pungutan ekspor dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dapat dialokasikan untuk membantu pekebun rakyat memproses sertifikat lahan hingga mengurus ISPO itu sendiri.
"Kita harus dukung program keberlanjutan. Supaya rakyat ikut berpartisipasi dan mereka mau ikut ISPO ya harus dibantu dana [pungutan] sawit," kata Sofyan.
Ketua Dewan Pengawas BPDP-KS Rusman Heriawan sependapat dengan Sofyan. Menurutnya, misi BPDP sebenarnya mencakup dukungan finansial bagi sertifikasi lahan pekebun rakyat.
Dia menegaskan, segala dukungan dana dari BPDP bagi legalitas lahan tentunya mengarah pada percepatan ISPO.
Data Ditjen Perkebunan Kementan per 12 Desember 2018 mencatat, luas area perkebunan sawit yang telah mengantongi sertifikasi ISPO mencapai 3,1 juta hektar atau 21,66% dari total area perkebunan sawit nasional. Adapun jumlah sertifikat yang telah diterbitkan mencapai 457 sertifikat.
Pemerintah sendiri menargetkan 70% dari total lahan perkebunan sawit nasional harus memiliki sertifikat ISPO di 2020.
[Gambas:Video CNBC]
(roy) Next Article 35% Lahan Kantongi Sertifikat Sawit Berkelanjutan ala RI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular