
Analisis
Membedah Kinerja Inalum Pasca Akuisisi Freeport
Irvin Avriano A. & Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
17 December 2018 18:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam hitungan hari, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) secara resmi akan mengambil alih PT Freeport Indonesia (PTFI), tambang emas terbesar dunia yang selama 51 tahun dikuasai oleh asing.
Inalum yang merupakan holding dari perusahaan BUMN tambang segera menyelesaikan pembayaran untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9,36% menjadi 51,23%.
Biaya akuisisi PTFI mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (pada kurs Rp 14.500) dan merupakan akuisisi terbesar yang pernah dilakukan perusahaan pelat negara selama Indonesia berdiri dan merupakan akusisi terbesar ke-6 di Asia Tenggara dalam 10 tahun terakhir.
Untuk membiayai akuisisi ini, Inalum pun telah menerbitkan obligasi valuta asing (global bond) senilai US$ 4 miliar. Ini bukan hanya obligasi valas pertama Inalum, tetapi juga yang terbesar yang pernah diterbitkan oleh BUMN.
Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 5 tahun dan paling panjang 30 tahun. Kupon obligasi ini ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991%. Kesuksesan ini membuat pembiayaan akuisisi PTFI bukan menjadi isu lagi.
Namun, pertanyaan baru muncul di pelaku pasar. Mampukah Inalum membayar kupon untuk obligasi tersebut? Bagaimana kondisi keuangan Inalum setelah adanya obligasi tersebut?
Untuk itu mari kita bedah kondisi keuangan Inalum saat ini.
Berdasarkan data Inalum, beban keuangan yang harus dikeluarkan untuk pembayaran kupon global bond tersebut rata-rata adalah Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.
Sementara itu, pendapatan Inalum konsolidasi yang mencakup seluruh kinerja perusahaan tambang negara pada 2018 diprediksi menyentuh Rp 58,2 triliun, atau meningkat 23,36% dari posisi 2017 Rp 47,18 triliun. Dengan pencapaian pendapatan Inalum pada Semester I-2018 sebesar Rp 29,85 triliun, maka lebih dari 50% target proforma telah tercapai.
Secara konsolidasi, selain menghasilkan EBITDA yang lebih raksasa, Rp 9,03 triliun pada Semester I-2018, profitabilitas keuangan perusahaan juga terlihat semakin moncer. Sementara laba bersih holding BUMN tambang mencapai Rp 5,43 triliun dengan motor utama Inalum dengan perolehan Rp 4,67 triliun.
Pendapatan tersebut berperan dalam peningkatan EBITDA yang diprediksi mencapai Rp 17,72 triliun pada 2018, meningkat 41% dibandingkan dengan 2017 sebesar Rp 12,57 triliun.
Sementara itu, EBITDA pada semester I-2018 mencapai Rp 9,04 triliun, sekitar 51% dari target proforma. EBITDA margin holding tambang pun meningkat ke level 30,4% dari posisi akhir 2017 sebesar 26,6%.
Dengan kondisi tersebut, maka rasio EBITDA Inalum terhadap beban bunga (EBITDA/EV) berada pada 3,78 kali. Artinya pendapatan yang dihasilkan Inalum dalam 1 tahun mampu untuk membayar seluruh bunga untuk durasi 3 tahun 9 bulan.
DSCR Inalum pada level 3,5 kali cukup sehat karena utang yang diterima juga digunakan untuk ekspansi usaha, yakni akuisisi PTFI. Pada akhirnya, aksi korporasi ini akan mendatangkan laba bagi Inalum sehingga menambah EBITDA.
Perhitungan di atas mencerminkan Inalum memiliki kemampuan untuk membayar kupon obligasi valas US$ 4 miliar ataupun beban keuangan lainnya. Yang harus pula diperhitungkan bahwa Inalum secara konsolidasi memiliki kekuatan kas dan setara kas Rp 20,89 triliun pada Semester I-2018.
Ini menjadi modal bagi Inalum untuk tidak ketergantungan terhadap pembayaran deviden dari anak usaha, baik PTBA, Antam, Timah, dan PTFI, dalam membayar kupon jangka pendek.
Berdasarkan proyeksi Inalum, EBITDA PTFI pada 2018 diprediksi masih di atas US$ 4 miliar atau Rp 60 triliun. EBITDA PTFI diproyeksinya akan turun pada periode 2019-2020 seiring operasi tambang Grasberg akan berpindah dari tambang terbuka menjadi tambang bawah tanah.
EBITDA PTFI pada 2019 diprediksi minimal US$ 1,2 miliar atau Rp 18 triliun, sementara pada 2020 minimal US$ 1,7 miliar atau Rp 25,5 triliun.
Manajemen Inalum memproyeksikan laba bersih PTFI Indonesia sejak 2018 yang diakumulasikan hingga akhir jangka waktu pengembangan tambang di tahun 2041 dapat mengkontribusi laba bersih yang jumbo kepada Indonesia.
Nilainya mencapai US$ 34,17 miliar, atau sekitar Rp 508,62 triliun dalam 20 tahun ke depan. Bukan hanya untuk memperbesar sebatas angka, tetapi dengan konsolidasi tersebut tentu Inalum akan memiliki daya tawar yang lebih besar dalam transaksi apapun yang melibatkan BUMN tambang.
Selain itu, manajemen yang mandiri, dari sebelumnya yang diurus oleh Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM, tentu akan membuat manajemen Inalum akan lebih fokus mengembangkan seluruh perusahaan tambang milik negara.
Dengan aset yang terkumpul cukup besar tersebut, ditambah faktor manajemen yang lebih profesional, dan konsolidasi keuangan tentu akan membuat Indonesia semakin siap menghadapi tantangan ke depannya di bidang energi dan mineral.
Next Ke Halaman Selanjutnya
[Gambas:Video CNBC]
Inalum yang merupakan holding dari perusahaan BUMN tambang segera menyelesaikan pembayaran untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9,36% menjadi 51,23%.
Biaya akuisisi PTFI mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (pada kurs Rp 14.500) dan merupakan akuisisi terbesar yang pernah dilakukan perusahaan pelat negara selama Indonesia berdiri dan merupakan akusisi terbesar ke-6 di Asia Tenggara dalam 10 tahun terakhir.
Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 5 tahun dan paling panjang 30 tahun. Kupon obligasi ini ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991%. Kesuksesan ini membuat pembiayaan akuisisi PTFI bukan menjadi isu lagi.
Namun, pertanyaan baru muncul di pelaku pasar. Mampukah Inalum membayar kupon untuk obligasi tersebut? Bagaimana kondisi keuangan Inalum setelah adanya obligasi tersebut?
Untuk itu mari kita bedah kondisi keuangan Inalum saat ini.
Berdasarkan data Inalum, beban keuangan yang harus dikeluarkan untuk pembayaran kupon global bond tersebut rata-rata adalah Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.
Sementara itu, pendapatan Inalum konsolidasi yang mencakup seluruh kinerja perusahaan tambang negara pada 2018 diprediksi menyentuh Rp 58,2 triliun, atau meningkat 23,36% dari posisi 2017 Rp 47,18 triliun. Dengan pencapaian pendapatan Inalum pada Semester I-2018 sebesar Rp 29,85 triliun, maka lebih dari 50% target proforma telah tercapai.
Secara konsolidasi, selain menghasilkan EBITDA yang lebih raksasa, Rp 9,03 triliun pada Semester I-2018, profitabilitas keuangan perusahaan juga terlihat semakin moncer. Sementara laba bersih holding BUMN tambang mencapai Rp 5,43 triliun dengan motor utama Inalum dengan perolehan Rp 4,67 triliun.
Pendapatan tersebut berperan dalam peningkatan EBITDA yang diprediksi mencapai Rp 17,72 triliun pada 2018, meningkat 41% dibandingkan dengan 2017 sebesar Rp 12,57 triliun.
Sementara itu, EBITDA pada semester I-2018 mencapai Rp 9,04 triliun, sekitar 51% dari target proforma. EBITDA margin holding tambang pun meningkat ke level 30,4% dari posisi akhir 2017 sebesar 26,6%.
Dengan kondisi tersebut, maka rasio EBITDA Inalum terhadap beban bunga (EBITDA/EV) berada pada 3,78 kali. Artinya pendapatan yang dihasilkan Inalum dalam 1 tahun mampu untuk membayar seluruh bunga untuk durasi 3 tahun 9 bulan.
DSCR Inalum pada level 3,5 kali cukup sehat karena utang yang diterima juga digunakan untuk ekspansi usaha, yakni akuisisi PTFI. Pada akhirnya, aksi korporasi ini akan mendatangkan laba bagi Inalum sehingga menambah EBITDA.
Perhitungan di atas mencerminkan Inalum memiliki kemampuan untuk membayar kupon obligasi valas US$ 4 miliar ataupun beban keuangan lainnya. Yang harus pula diperhitungkan bahwa Inalum secara konsolidasi memiliki kekuatan kas dan setara kas Rp 20,89 triliun pada Semester I-2018.
Ini menjadi modal bagi Inalum untuk tidak ketergantungan terhadap pembayaran deviden dari anak usaha, baik PTBA, Antam, Timah, dan PTFI, dalam membayar kupon jangka pendek.
Berdasarkan proyeksi Inalum, EBITDA PTFI pada 2018 diprediksi masih di atas US$ 4 miliar atau Rp 60 triliun. EBITDA PTFI diproyeksinya akan turun pada periode 2019-2020 seiring operasi tambang Grasberg akan berpindah dari tambang terbuka menjadi tambang bawah tanah.
EBITDA PTFI pada 2019 diprediksi minimal US$ 1,2 miliar atau Rp 18 triliun, sementara pada 2020 minimal US$ 1,7 miliar atau Rp 25,5 triliun.
Manajemen Inalum memproyeksikan laba bersih PTFI Indonesia sejak 2018 yang diakumulasikan hingga akhir jangka waktu pengembangan tambang di tahun 2041 dapat mengkontribusi laba bersih yang jumbo kepada Indonesia.
Nilainya mencapai US$ 34,17 miliar, atau sekitar Rp 508,62 triliun dalam 20 tahun ke depan. Bukan hanya untuk memperbesar sebatas angka, tetapi dengan konsolidasi tersebut tentu Inalum akan memiliki daya tawar yang lebih besar dalam transaksi apapun yang melibatkan BUMN tambang.
Selain itu, manajemen yang mandiri, dari sebelumnya yang diurus oleh Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM, tentu akan membuat manajemen Inalum akan lebih fokus mengembangkan seluruh perusahaan tambang milik negara.
Dengan aset yang terkumpul cukup besar tersebut, ditambah faktor manajemen yang lebih profesional, dan konsolidasi keuangan tentu akan membuat Indonesia semakin siap menghadapi tantangan ke depannya di bidang energi dan mineral.
![]() |
Next Ke Halaman Selanjutnya
[Gambas:Video CNBC]
Next Page
Hulu ke Hilir
Pages
Most Popular