
Semoga Sang 'Singapuranya' Indonesia Tak Lagi Tertinggal Jauh
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 December 2018 19:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution buka-bukaan mengenai hasil rapat terbatas terkait pengembangan ekonomi Batam, Rabu (12/12/2018).
Berbicara di kantornya, Darmin mengemukakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat menganggap bahwa masih ada persoalan dualisme di kawasan tersebut.
Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah membuat Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan pemerintah daerah setempat menjadi satu.
"BP Batam tidak dibubarkan. Jabatan Kepala BP Batam dirangkap secara ex-officio oleh Wali Kota Batam," tulis keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang diterima CNBC Indonesia, Kamis (13/12/2018).
Selanjutnya, aktivitas perdagangan yang berlangsung di wilayah itu tetap berlangsung seperti biasa. Akan tetapi, ada sejumlah penyesuaian. Dalam hal ini, pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam, tetap dilakukan oleh BP Batam, yang dipimpin secara ex-officio oleh Wali Kota Batam.
"Sedang disiapkan aturan atau regulasi yang akan mengatur pelaksanaan rangkap jabatan Kepala BP Batam secara ex-officio oleh Walikota Batam. Demikian pokok-pokok keputusan yang telah diambil oleh pemerintah dan sekaligus meluruskan pemberitaan yang telah berkembang."
Kendala yang mendasar perihal dualisme pengelolaan Batam memang telah lama terjadi antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam (Pemkot).
Keduanya memiliki dasar Undang-Undang (UU) masing-masing untuk memperkuat posisi dan wewenangnya. BP Batam memiliki dasar dalam UU No 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Sedangkan Pemkot Batam berpegang pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Tim Riset CNBC Indonesia mengelaborasi tumpang tindih UU tersebut dalam tulisan berikut.
BP Batam, Lokomotif Pembangunan Singapura-nya Indonesia
Pada medio 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden (Keppres) No. 41 tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri.
Hal ini berlandaskan semangat UU No. 3 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan harapan dapat mendorong kegiatan lalu-lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa Negara serta kemajuan ekonomi dalam negeri.
Dari UU tersebut dicetuskanlah adanya Badan Pengusahaan untuk mengurusi pembinaan dan pelaksanaan kepentingan Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas terutama sebagai pusat perdagangan transit dan pengolahan barang-barang perdagangan internasional.
Seiring berjalannya waktu, UU No. 3 Tahun 1970 kemudian diperbaharui menjadi UU No. 36 Tahun 2000, dengan alasan ketentuan di UU No. 3/1970 sudah tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah, sehingga perlu disempurnakan.
Sesuai UU No. 36/2000, status Batam semakin tegas sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ), dengan periode 70 tahun.
Dalam perjalanannya, UU No. 36/2000 dirubah beberapa kali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU), sehingga diundangkan menjadi UU No. 44 tahun 2007 dan menjadi dasar hukum terakhir bagi pengembangan FTZ di Batam.
Meski mengalami berbagai macam perubahan, namun beberapa pasal di UU No. 36/2000 masih berlaku sebagai landasan hukum bagi BP Batam, sesuai ketentuan peralihan UU No. 44/2007.
Pada intinya, pasal-pasal tersebut menugaskan BP Batam untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Batam sebagai daerah industri, kegiatan pengalih-kapalan, merencanakan dan mengusahakan kebutuhan prasarana dan fasilitas Batam, serta mengelola perizinan investasi.
Aturan yang sama juga menjadi landasan wewenang BP Batam yang meliputi tiga aspek yakni pertanahan (termasuk hak pengelolaan, peruntukan, penggunaan atas tanah dan menerima uang wajib tahunan atas tanah), pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, dan pelayanan investasi.
Kewenangan BP Batam itu diperkuat dengan beberapa aturan turunan, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Namun dalam praktiknya, tugas dan kewenangan BP Batam akhirnya tidak berjalan dengan mulus akibat munculnya dualisme dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni antara BP Batam dan Pemkot Batam.
Pemkot Batam "Berlindung" di balik UU No. 23/2014
Pemkot Batam punya landasan yang kuat untuk terlibat dalam pengelolaan Kota Batam. Landasan itu bernama UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi itu, diatur pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Berdasarkan aturan tersebut, Pemkot punya kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non-perizinan secara terpadu 1 (satu) pintu di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah kota.
Kemudian, Pemkot juga berwenang dalam penerbitan berbagai macam izin usaha, seperti kesehatan, produksi makanan minuman, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), jasa konstruksi nasional, pembangunan dan pengembangan perumahan, sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG), pembangunan kawasan permukiman, bahkan hingga izin lokasi dan membuka tanah.
Akan ada sebagian yang akan bertumpukan dengan kewenangan BP Batam yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jikapun tidak beririsan, adanya kewenangan perizinan di dua institusi yang berbeda jelas akan berisiko menimbulkan kebingungan tersendiri.
Belum lagi, jika itu berpotensi menimbulkan double cost bagi pelaku usaha. Misalnya, selain membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada Pemkot, pemegang hak lahan juga harus membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) bagi BP Batam.
Akibatnya, wajar jika pelaku usaha angkat kaki dari si Singapura-nya Indonesia ini. Apabila dicocokkan timeline-nya, sejak berlakunya UU No. 23/2014, pembangunan Kota Batam memang justru terpuruk.
Dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Batam, pertumbuhannya terus tersungkur dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Kota Batam hanya mencapai 2,19% pada tahun 2017, melambat drastis dari capaian tahun sebelumnya sebesar 5,43%.Bahkan, pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Kota Batam bisa mencapai 7% lebih. Kemunduran ini jelas menjadi catatan merah bagi pengelolaan Kota Batam.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Kota Batam tidak lepas dari pertumbuhan sektor industri pengolahan yang loyo. Pada tahun lalu, pertumbuhannya hanya mencapai 1,76%. Padahal di tahun 2016 masih membukukan pertumbuhan sebesar 4,64%, sedangkan di tahun 2013 bisa mencapai 7,07%.
Tak ayal, buruknya performa industri pengolahan ini akhirnya menghancurkan ekonomi Kota Batam. Pasalnya, sektor industri pengolahan berkontribusi sekitar 55% bagi PDRB Kota Batam.
Akhir kata, semoga dengan kebijakan teranyar Presiden Jokowi, masalah ini dapat teratasi. Saat berbagai macam kawasan industri di negara tetangga sudah menawarkan berbagai insentif untuk menarik investor, kita malah berpolemik di dalam negeri mengenai kelembagaan. Sudah bukan waktunya lagi.
Semoga "Singapura-nya Indonesia" tidak semakin tertinggal jauh..
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Lebihi Nasional, BP Batam Bidik Ekonomi Tumbuh 7% Tahun Depan
Berbicara di kantornya, Darmin mengemukakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat menganggap bahwa masih ada persoalan dualisme di kawasan tersebut.
Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah membuat Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan pemerintah daerah setempat menjadi satu.
Selanjutnya, aktivitas perdagangan yang berlangsung di wilayah itu tetap berlangsung seperti biasa. Akan tetapi, ada sejumlah penyesuaian. Dalam hal ini, pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam, tetap dilakukan oleh BP Batam, yang dipimpin secara ex-officio oleh Wali Kota Batam.
"Sedang disiapkan aturan atau regulasi yang akan mengatur pelaksanaan rangkap jabatan Kepala BP Batam secara ex-officio oleh Walikota Batam. Demikian pokok-pokok keputusan yang telah diambil oleh pemerintah dan sekaligus meluruskan pemberitaan yang telah berkembang."
Kendala yang mendasar perihal dualisme pengelolaan Batam memang telah lama terjadi antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam (Pemkot).
Keduanya memiliki dasar Undang-Undang (UU) masing-masing untuk memperkuat posisi dan wewenangnya. BP Batam memiliki dasar dalam UU No 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Sedangkan Pemkot Batam berpegang pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Tim Riset CNBC Indonesia mengelaborasi tumpang tindih UU tersebut dalam tulisan berikut.
BP Batam, Lokomotif Pembangunan Singapura-nya Indonesia
Pada medio 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden (Keppres) No. 41 tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri.
Hal ini berlandaskan semangat UU No. 3 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan harapan dapat mendorong kegiatan lalu-lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa Negara serta kemajuan ekonomi dalam negeri.
Dari UU tersebut dicetuskanlah adanya Badan Pengusahaan untuk mengurusi pembinaan dan pelaksanaan kepentingan Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas terutama sebagai pusat perdagangan transit dan pengolahan barang-barang perdagangan internasional.
Seiring berjalannya waktu, UU No. 3 Tahun 1970 kemudian diperbaharui menjadi UU No. 36 Tahun 2000, dengan alasan ketentuan di UU No. 3/1970 sudah tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah, sehingga perlu disempurnakan.
Sesuai UU No. 36/2000, status Batam semakin tegas sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ), dengan periode 70 tahun.
Dalam perjalanannya, UU No. 36/2000 dirubah beberapa kali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU), sehingga diundangkan menjadi UU No. 44 tahun 2007 dan menjadi dasar hukum terakhir bagi pengembangan FTZ di Batam.
Meski mengalami berbagai macam perubahan, namun beberapa pasal di UU No. 36/2000 masih berlaku sebagai landasan hukum bagi BP Batam, sesuai ketentuan peralihan UU No. 44/2007.
Pada intinya, pasal-pasal tersebut menugaskan BP Batam untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Batam sebagai daerah industri, kegiatan pengalih-kapalan, merencanakan dan mengusahakan kebutuhan prasarana dan fasilitas Batam, serta mengelola perizinan investasi.
Aturan yang sama juga menjadi landasan wewenang BP Batam yang meliputi tiga aspek yakni pertanahan (termasuk hak pengelolaan, peruntukan, penggunaan atas tanah dan menerima uang wajib tahunan atas tanah), pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, dan pelayanan investasi.
Kewenangan BP Batam itu diperkuat dengan beberapa aturan turunan, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Namun dalam praktiknya, tugas dan kewenangan BP Batam akhirnya tidak berjalan dengan mulus akibat munculnya dualisme dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni antara BP Batam dan Pemkot Batam.
Pemkot Batam "Berlindung" di balik UU No. 23/2014
Pemkot Batam punya landasan yang kuat untuk terlibat dalam pengelolaan Kota Batam. Landasan itu bernama UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi itu, diatur pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Berdasarkan aturan tersebut, Pemkot punya kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non-perizinan secara terpadu 1 (satu) pintu di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah kota.
Kemudian, Pemkot juga berwenang dalam penerbitan berbagai macam izin usaha, seperti kesehatan, produksi makanan minuman, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), jasa konstruksi nasional, pembangunan dan pengembangan perumahan, sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG), pembangunan kawasan permukiman, bahkan hingga izin lokasi dan membuka tanah.
Akan ada sebagian yang akan bertumpukan dengan kewenangan BP Batam yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jikapun tidak beririsan, adanya kewenangan perizinan di dua institusi yang berbeda jelas akan berisiko menimbulkan kebingungan tersendiri.
Belum lagi, jika itu berpotensi menimbulkan double cost bagi pelaku usaha. Misalnya, selain membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada Pemkot, pemegang hak lahan juga harus membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) bagi BP Batam.
Akibatnya, wajar jika pelaku usaha angkat kaki dari si Singapura-nya Indonesia ini. Apabila dicocokkan timeline-nya, sejak berlakunya UU No. 23/2014, pembangunan Kota Batam memang justru terpuruk.
Dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Batam, pertumbuhannya terus tersungkur dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Kota Batam hanya mencapai 2,19% pada tahun 2017, melambat drastis dari capaian tahun sebelumnya sebesar 5,43%.Bahkan, pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Kota Batam bisa mencapai 7% lebih. Kemunduran ini jelas menjadi catatan merah bagi pengelolaan Kota Batam.
Tak ayal, buruknya performa industri pengolahan ini akhirnya menghancurkan ekonomi Kota Batam. Pasalnya, sektor industri pengolahan berkontribusi sekitar 55% bagi PDRB Kota Batam.
Akhir kata, semoga dengan kebijakan teranyar Presiden Jokowi, masalah ini dapat teratasi. Saat berbagai macam kawasan industri di negara tetangga sudah menawarkan berbagai insentif untuk menarik investor, kita malah berpolemik di dalam negeri mengenai kelembagaan. Sudah bukan waktunya lagi.
Semoga "Singapura-nya Indonesia" tidak semakin tertinggal jauh..
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Lebihi Nasional, BP Batam Bidik Ekonomi Tumbuh 7% Tahun Depan
Most Popular