
Jokowi Janji Pertamina Kalahkan Petronas, Nyatanya Sekarang?
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
05 December 2018 12:58

Jakarta, CNBC Indonesia- Saat kampanye pada 2014 lalu, Presiden Joko Widodo memiliki tiga target untuk membesarkan PT Pertamina (Persero). Jokowi ingin Pertamina bisa kalahkan perusahaan minyak negeri tetangga, Petronas.
Dikutip dari detikfinance, target Jokowi untuk Pertamina tersebut rincinya adalah;
Belum lagi jika nanti Pertamina mengelola blok Rokan pada 2021, perusahaan migas ini diprediksi bisa kuasai produksi minyak dalam negeri hingga 60%, melebihi target Jokowi.
Masalahnya, dengan porsi yang semakin besar dan produksi yang bertambah, menjadi pertanyaan mengapa laba Pertamina di tahun ini justru merosot tajam. Terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
Di sepanjang 9 bulan 2018, Pertamina tercatat membukukan laba Rp5 triliun, merosot 81% dibanding periode serupa tahun lalu. Laba ini tidak ada apa-apanya dibanding laba yang bisa dibukukan Petronas yang mencapai RM 41 miliar atau setara Rp 142 triliun. Apa sebenarnya yang terjadi?
Kunci Sukses Petronas
Kenaikan harga minyak menjadi pendorong utama melesatnya laba Petronas di tahun ini, sebab jika dilihat dari sisi produksi sebenarnya ada penurunan. Yakni dari 2,2 juta barel per hari turun ke 2,1 juta barel per hari.
Harga minyak tahun ini bergerak naik, hampir tembus ke level US$ 80 per barel. Sebelum akhirnya pada bulan lalu kembali turun dan merosot ke level US$ 60 per barel. Namun, Petronas bisa memanfaatkan momentum ini sebagai perusahaan hulu.
Kedua adalah faktor belanja modal yang tak tanggung-tanggung, pada tahun 2017, realisasi CAPEX Pertamina hanya di kisaran US$ 3,60 miliar, kira-kira hanya sepertiganya dari realisasi CAPEX Petronas sebesar RM 44,5 miliar (atau sekitar US$ 10,75 miliar) di periode yang sama.
Untuk tahun ini, Petronas mengalokasikan CAPEX sebesar RM 55 miliar (sekitar US$ 13,29 miliar), dimana alokasi untuk kegiatan eksplorasi sekitar 50%. Jauh dibanding Pertamina yang diperkirakan realisasi CAPEX tahun ini hanya sekitar US$ 4 miliar, dan hanya separuhnya untuk sektor hulu.
Kondisi Hilir Pertamina
Bukan salah Pertamina juga ketika perusahaan kurang leluasa mengalokasikan modal untuk investasi hulunya, mengingat perusahaan ini banyak mendapat beban di sektor hilir.
Memasuki 2015, Presiden Joko Widodo memang sudah mencopot subsidi untuk bensin premium. Kala itu kebetulan harga minyak sedang rendah. Tetapi, begitu harga minyak merangkak naik, harga premium tak boleh dinaikkan oleh Jokowi. Alhasil, Pertamina menanggung bebannya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, Pertamina memiliki kewajiban untuk mendistribusikan BBM Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali dengan volume 7,5 juta kiloliter (KL). Namun dengan hadirnya revisi Perpres tersebut, yakni Perpres No. 43 Tahun 2018, kewajiban menyalurkan Premium ini menjadi wajib lagi di Jawa, Madura, dan Bali.
Sehingga yang tadinya wajib distribusi 7,5 juta KL, diperkirakan naik jadi 12,5 juta KL. Tetapi, bensin Premium tidak masuk kategori bensin yang disubsidi pemerintah, sehingga selisih harga ditanggung oleh perusahaan pelat merah ini. Terlebih, harganya dilarang naik sampai 2019 nanti.
Sementara harga minyak terus merangkak naik sejak awal tahun, harga bensin tak boleh naik sampai urusan politik negeri ini selesai. Padahal, riset Econmark Bank Mandiri pada Juli 2018 menyebut setiap harga minyak Brent naik US$ 1 per barel, Pertamina bisa rugi Rp 2,8 triliun.
Berdasarkan pernyataan eks Direktur Utama Pertamina, Eila Massa Manik, pada awal tahun ini, jika harga minyak naik ke level US$60 per barel, sementara kebijakan harga BBM tetap sepanjang tahun, laba Pertamina hanya US1,7 miliar. Laba itu terus tergerus menjadi US$1 miliar jika harga minyak menyentuh US$70 per barel. Padahal di tahun ini, harga minyak sempat tembus ke level US$ 80 per barel.
Ujungnya, kini bisa dilihat. Saat Petronas panen laba hingga ratusan triliun rupiah, Pertamina hanya sanggup membukukan laba Rp 5 triliun di kuartal III-2018.
(gus/roy) Next Article BUMN: Pertamina Masih Jauh Tertinggal Dibanding Petronas
Dikutip dari detikfinance, target Jokowi untuk Pertamina tersebut rincinya adalah;
- Berkontribusi terhadap produksi minyak dalam negeri lebih dari 50% dalam waktu 5 tahun
- Pertamina menjadi perusahaan energi internasional
- Kebanggaan seluruh bangsa Indonesia
Belum lagi jika nanti Pertamina mengelola blok Rokan pada 2021, perusahaan migas ini diprediksi bisa kuasai produksi minyak dalam negeri hingga 60%, melebihi target Jokowi.
Di sepanjang 9 bulan 2018, Pertamina tercatat membukukan laba Rp5 triliun, merosot 81% dibanding periode serupa tahun lalu. Laba ini tidak ada apa-apanya dibanding laba yang bisa dibukukan Petronas yang mencapai RM 41 miliar atau setara Rp 142 triliun. Apa sebenarnya yang terjadi?
Kunci Sukses Petronas
![]() |
Kenaikan harga minyak menjadi pendorong utama melesatnya laba Petronas di tahun ini, sebab jika dilihat dari sisi produksi sebenarnya ada penurunan. Yakni dari 2,2 juta barel per hari turun ke 2,1 juta barel per hari.
Harga minyak tahun ini bergerak naik, hampir tembus ke level US$ 80 per barel. Sebelum akhirnya pada bulan lalu kembali turun dan merosot ke level US$ 60 per barel. Namun, Petronas bisa memanfaatkan momentum ini sebagai perusahaan hulu.
Kedua adalah faktor belanja modal yang tak tanggung-tanggung, pada tahun 2017, realisasi CAPEX Pertamina hanya di kisaran US$ 3,60 miliar, kira-kira hanya sepertiganya dari realisasi CAPEX Petronas sebesar RM 44,5 miliar (atau sekitar US$ 10,75 miliar) di periode yang sama.
Untuk tahun ini, Petronas mengalokasikan CAPEX sebesar RM 55 miliar (sekitar US$ 13,29 miliar), dimana alokasi untuk kegiatan eksplorasi sekitar 50%. Jauh dibanding Pertamina yang diperkirakan realisasi CAPEX tahun ini hanya sekitar US$ 4 miliar, dan hanya separuhnya untuk sektor hulu.
![]() |
Kondisi Hilir Pertamina
Bukan salah Pertamina juga ketika perusahaan kurang leluasa mengalokasikan modal untuk investasi hulunya, mengingat perusahaan ini banyak mendapat beban di sektor hilir.
Memasuki 2015, Presiden Joko Widodo memang sudah mencopot subsidi untuk bensin premium. Kala itu kebetulan harga minyak sedang rendah. Tetapi, begitu harga minyak merangkak naik, harga premium tak boleh dinaikkan oleh Jokowi. Alhasil, Pertamina menanggung bebannya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, Pertamina memiliki kewajiban untuk mendistribusikan BBM Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali dengan volume 7,5 juta kiloliter (KL). Namun dengan hadirnya revisi Perpres tersebut, yakni Perpres No. 43 Tahun 2018, kewajiban menyalurkan Premium ini menjadi wajib lagi di Jawa, Madura, dan Bali.
Sehingga yang tadinya wajib distribusi 7,5 juta KL, diperkirakan naik jadi 12,5 juta KL. Tetapi, bensin Premium tidak masuk kategori bensin yang disubsidi pemerintah, sehingga selisih harga ditanggung oleh perusahaan pelat merah ini. Terlebih, harganya dilarang naik sampai 2019 nanti.
Sementara harga minyak terus merangkak naik sejak awal tahun, harga bensin tak boleh naik sampai urusan politik negeri ini selesai. Padahal, riset Econmark Bank Mandiri pada Juli 2018 menyebut setiap harga minyak Brent naik US$ 1 per barel, Pertamina bisa rugi Rp 2,8 triliun.
Berdasarkan pernyataan eks Direktur Utama Pertamina, Eila Massa Manik, pada awal tahun ini, jika harga minyak naik ke level US$60 per barel, sementara kebijakan harga BBM tetap sepanjang tahun, laba Pertamina hanya US1,7 miliar. Laba itu terus tergerus menjadi US$1 miliar jika harga minyak menyentuh US$70 per barel. Padahal di tahun ini, harga minyak sempat tembus ke level US$ 80 per barel.
Ujungnya, kini bisa dilihat. Saat Petronas panen laba hingga ratusan triliun rupiah, Pertamina hanya sanggup membukukan laba Rp 5 triliun di kuartal III-2018.
![]() |
(gus/roy) Next Article BUMN: Pertamina Masih Jauh Tertinggal Dibanding Petronas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular