
Pak Jokowi, 70% Lahan Sawit Petani Tak Punya Sertifikat
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
28 November 2018 18:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengeluhkan kondisi legalitas lahan milik petani sawit swadaya, di mana lebih dari 70% lahannya tidak memiliki sertifikat.
Ketua Umum SPKS Mansuetus Darto mengungkapkan, ada 4 juta hektar lahan perkebunan sawit rakyat yang tidak bersertifikat dari total sekitar 5,5 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Tidak hanya satu petani, tapi hampir semua petani swadaya tidak punya sertifikat lahan. Kendalanya adalah biaya yang mahal untuk mengurusnya, sekitar Rp 3,5 juta per hektar. Bagi petani, ngapain mereka urus sertifikat lahan? Lebih bagus mereka beli pupuk," ujar Darto usai Rembug Nasional Petani Kelapa Sawit Indonesia, Rabu (28/11/2018).
Padahal, legalitas lahan dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi syarat mutlak bagi petani untuk memperoleh sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).
Dengan memiliki sertifikasi ISPO, tandan buah segar (TBS) milik petani swadaya lebih terjamin untuk dibeli oleh pabrik kelapa sawit (PKS) dan diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Patut diketahui, sertifikasi produk sawit yang diolah secara berkelanjutan menjadi syarat agar produk CPO RI dapat diterima di pasar ekspor, khususnya Uni Eropa.
Darto berharap, dengan harga komoditas yang sedang anjlok saat ini, Presiden Jokowi dapat turun tangan mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk membagikan sertifikat lahan bagi petani sawit swadaya secara cuma-cuma. Hal ini menurutnya juga akan berpengaruh pada elektabilitas Jokowi.
"Kami itu sebenarnya agak cemburu juga petani-petani pangan itu dapat sertifikat oleh Pak Jokowi. Jadi kalau Presiden bisa mendesak ATR/BPN untuk menciptakan sertifikat lahan bagi petani swadaya, saya yakin itu bisa memperbaiki elektoral, khususnya untuk petani sawit dan petani karet," tegasnya.
Lebih lanjut, Darto menyebutkan bahwa produktivitas lahan sawit rakyat saat ini baru sekitar 1 ton/hektar per bulan. Dengan pengelolaan lahan yang lebih baik, angka tersebut bisa dinaikkan menjadi 3 ton/hektar per bulan.
"Saat ini pupuk nggak ada, lalu tidak ada pendampingan oleh penyuluh. Kalau pupuk tersedia, pupuk subsidi itu betul-betul dinikmati oleh petani, dan penyuluh perkebunan melatih petani, itu bisa bantu meningkatkan produktivitas," pungkasnya
(ray/ray) Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah
Ketua Umum SPKS Mansuetus Darto mengungkapkan, ada 4 juta hektar lahan perkebunan sawit rakyat yang tidak bersertifikat dari total sekitar 5,5 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Tidak hanya satu petani, tapi hampir semua petani swadaya tidak punya sertifikat lahan. Kendalanya adalah biaya yang mahal untuk mengurusnya, sekitar Rp 3,5 juta per hektar. Bagi petani, ngapain mereka urus sertifikat lahan? Lebih bagus mereka beli pupuk," ujar Darto usai Rembug Nasional Petani Kelapa Sawit Indonesia, Rabu (28/11/2018).
Dengan memiliki sertifikasi ISPO, tandan buah segar (TBS) milik petani swadaya lebih terjamin untuk dibeli oleh pabrik kelapa sawit (PKS) dan diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Patut diketahui, sertifikasi produk sawit yang diolah secara berkelanjutan menjadi syarat agar produk CPO RI dapat diterima di pasar ekspor, khususnya Uni Eropa.
Darto berharap, dengan harga komoditas yang sedang anjlok saat ini, Presiden Jokowi dapat turun tangan mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk membagikan sertifikat lahan bagi petani sawit swadaya secara cuma-cuma. Hal ini menurutnya juga akan berpengaruh pada elektabilitas Jokowi.
"Kami itu sebenarnya agak cemburu juga petani-petani pangan itu dapat sertifikat oleh Pak Jokowi. Jadi kalau Presiden bisa mendesak ATR/BPN untuk menciptakan sertifikat lahan bagi petani swadaya, saya yakin itu bisa memperbaiki elektoral, khususnya untuk petani sawit dan petani karet," tegasnya.
Lebih lanjut, Darto menyebutkan bahwa produktivitas lahan sawit rakyat saat ini baru sekitar 1 ton/hektar per bulan. Dengan pengelolaan lahan yang lebih baik, angka tersebut bisa dinaikkan menjadi 3 ton/hektar per bulan.
"Saat ini pupuk nggak ada, lalu tidak ada pendampingan oleh penyuluh. Kalau pupuk tersedia, pupuk subsidi itu betul-betul dinikmati oleh petani, dan penyuluh perkebunan melatih petani, itu bisa bantu meningkatkan produktivitas," pungkasnya
(ray/ray) Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah
Most Popular