SMGR Caplok SMCB Saat Industri Semen Suram, Kenapa?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 November 2018 16:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Usai menyelesaikan transaksi pembelian PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB), perusahaan semen milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) akan fokus mendiversifikasi bisnis di dalam negeri.
Direktur Utama Semen Indonesia Hendi Prio bahkan mengklaim bahwa kini SMGR menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Pasalnya, korporasi kini memegang kendali 4 pabrik semen dengan kapasita 14,8 juta ton per tahun da 30 fasilitas ready-mix. Bermodalkan hal tersebut, SMGR bisa memperkuat posisi perusahaan di pasar domestik.
"Kita sudah jadi yang terbesar di Asia Tenggara. Jadi kita fokus layani domestik dengan diversifikasi solusi material bangunan yang modern seperti mortar, prefab panel dan lain-lain," kata Hendi kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/11).
Pasca kedua perusahaan mengkonfirmasi adanya transaksi akuisisi, harga saham SMCB terbang di penutupan perdagangan hari ini. Penguatannya mencapai 4,2% ke Rp 1.985/saham. Di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), harga saham SMCB sudah mencatat kenaikan 137,72%.
Adapun harga saham SMGR ditutup tidak mengalami perubahan pada harga Rp 9.150/saham pada hari ini. Secara YTD, harga saham ini masih tercatat melemah sebesar 7,58%.
Sebagai informasi, hingga semester I-2018, sebenarnya harga saham SMCB dan SMGR masih terkoreksi cukup dalam, masing-masing sebesar 32,34% dan 28,03%. Baru pasca isu akuisisi mulai beredar di pelaku pasar sejak beberapa bulan yang lalu, harga saham SMCB dan SMGR menanjak naik.
Jika tidak ada isu tersebut, nampaknya nasib kedua saham itu tidak akan berbeda jauh dengan emiten lainnya di sektor industri semen, misalnya PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR). Di sepanjang tahun berjalan, INTP dan SMBR amblas masing-masing 19,59% dan 49,47%.
Apa yang sebenarnya menyebabkan prospek industri semen begitu suram di tahun ini?
Secara fundamental, permintaan komoditas semen sebenarnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini nampaknya tidak lepas dari ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), permintaan semen domestik meningkat 7,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi 66,35 juta ton. Bahkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2017), permintaan semen domestik meningkat hampir mencapai 63%.
Berdasarkan data teranyar, penjualan semen periode Januari-September 2018 juga masih tercatat naik sebesar 4,9% YoY ke angka 49,76 juta ton.
Jika melihat pertumbuhan data permintaan seperti itu, seharusnya industri semen sedang berada dalam masa kejayaannya. Sayangnya, ada data lain yang menegasikan permintaan yang kuat itu. Jumlah kapasitas terpasang produksi semen di Indonesia hingga akhir tahun 2017 mencapai 107,4 juta ton atau tumbuh 19,73% YoY, jauh lebih kencang dari konsumsi domestik.
Alhasil, dengan total kebutuhan nasional yang hanya sebesar 66,35 juta ton pada 2017, kelebihan pasokan pun mencapai 41,05 juta ton. Volume oversuplai itu membengkak nyaris dua kali lipat dari surplus pasokan tahun 2016 sebesar 28,06 juta ton.
Apabila melihat sisi pemanfaatan tingkat utilisasi industri semen pun turun dari angka 68,72% pada 2016 ke 61,87% di 2017. Bagi emiten tentu ini menjadi tidak efisien, karena tetap harus mengeluarkan biaya operasional tapi, produksi yang dihasilkan tidak maksimal.
Selain itu, akibat pasokan yang berlebih, otomatis harga semen pun tertekan. Tercatat harga semen curah turun 4,56% YoY menjadi Rp754.068/ton per akhir 2017. Sedangkan, harga semen kemasan juga terkoreksi 3,57% YoY menjadi Rp860.158/ton. Ketika harga semen melemah, keuntungan perusahaan pun menjadi taruhannya.
Salah satu faktor yang mendukung kondisi oversuplai yang makin besar di tahun lalu adalah dugaan penerapan strategi predatory pricing yang diduga dilakukan oleh PT Conch Cement Indonesia. Menggunakan strategi ini, perusahaan yang dimiliki perusahaan semen terbesar di China bernama Anhui Conch Cement Company Ltd tersebut, rela menjual rugi produknya guna mendapatkan pangsa pasar.
Benar saja, hanya dalam waktu 4 tahun, Conch Cement berhasil meraup pangsa pasar tanah air sebesar 4,6% per kuartal I-2018, atau menjadi nomor empat terbesar di Indonesia. Hebatnya lagi, Conch Cement langsung menyasar pasar Indonesia Timur, yang semula hanya dijangkau mayoritas oleh SMGR (melalui PT Semen Tonasa).
Di tengah kondisi oversuplai ini, Conch Cement malah sempat dikabarkan akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi tersebut ditargetkan bisa dilakukan dengan membangun sejumlah pabrik di beberapa daerah.
Pada tahun 2017 saja Conch Cement memiliki kapasitas produksi sebesar 2,3 juta ton. Jika nantinya ada tambahan sebesar 22,7 juta ton (menjadi 25 juta ton), dan dengan asumsi bahwa permintaan dan kapasitas produsen lainnya adalah tetap, oversuplai semen di Indonesia akan meroket menjadi 63,75 juta ton di tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Direktur Utama Semen Indonesia Hendi Prio bahkan mengklaim bahwa kini SMGR menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Pasalnya, korporasi kini memegang kendali 4 pabrik semen dengan kapasita 14,8 juta ton per tahun da 30 fasilitas ready-mix. Bermodalkan hal tersebut, SMGR bisa memperkuat posisi perusahaan di pasar domestik.
"Kita sudah jadi yang terbesar di Asia Tenggara. Jadi kita fokus layani domestik dengan diversifikasi solusi material bangunan yang modern seperti mortar, prefab panel dan lain-lain," kata Hendi kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/11).
Adapun harga saham SMGR ditutup tidak mengalami perubahan pada harga Rp 9.150/saham pada hari ini. Secara YTD, harga saham ini masih tercatat melemah sebesar 7,58%.
Sebagai informasi, hingga semester I-2018, sebenarnya harga saham SMCB dan SMGR masih terkoreksi cukup dalam, masing-masing sebesar 32,34% dan 28,03%. Baru pasca isu akuisisi mulai beredar di pelaku pasar sejak beberapa bulan yang lalu, harga saham SMCB dan SMGR menanjak naik.
Jika tidak ada isu tersebut, nampaknya nasib kedua saham itu tidak akan berbeda jauh dengan emiten lainnya di sektor industri semen, misalnya PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR). Di sepanjang tahun berjalan, INTP dan SMBR amblas masing-masing 19,59% dan 49,47%.
Apa yang sebenarnya menyebabkan prospek industri semen begitu suram di tahun ini?
Secara fundamental, permintaan komoditas semen sebenarnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini nampaknya tidak lepas dari ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), permintaan semen domestik meningkat 7,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi 66,35 juta ton. Bahkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2017), permintaan semen domestik meningkat hampir mencapai 63%.
Berdasarkan data teranyar, penjualan semen periode Januari-September 2018 juga masih tercatat naik sebesar 4,9% YoY ke angka 49,76 juta ton.
Jika melihat pertumbuhan data permintaan seperti itu, seharusnya industri semen sedang berada dalam masa kejayaannya. Sayangnya, ada data lain yang menegasikan permintaan yang kuat itu. Jumlah kapasitas terpasang produksi semen di Indonesia hingga akhir tahun 2017 mencapai 107,4 juta ton atau tumbuh 19,73% YoY, jauh lebih kencang dari konsumsi domestik.
Alhasil, dengan total kebutuhan nasional yang hanya sebesar 66,35 juta ton pada 2017, kelebihan pasokan pun mencapai 41,05 juta ton. Volume oversuplai itu membengkak nyaris dua kali lipat dari surplus pasokan tahun 2016 sebesar 28,06 juta ton.
Apabila melihat sisi pemanfaatan tingkat utilisasi industri semen pun turun dari angka 68,72% pada 2016 ke 61,87% di 2017. Bagi emiten tentu ini menjadi tidak efisien, karena tetap harus mengeluarkan biaya operasional tapi, produksi yang dihasilkan tidak maksimal.
Selain itu, akibat pasokan yang berlebih, otomatis harga semen pun tertekan. Tercatat harga semen curah turun 4,56% YoY menjadi Rp754.068/ton per akhir 2017. Sedangkan, harga semen kemasan juga terkoreksi 3,57% YoY menjadi Rp860.158/ton. Ketika harga semen melemah, keuntungan perusahaan pun menjadi taruhannya.
Salah satu faktor yang mendukung kondisi oversuplai yang makin besar di tahun lalu adalah dugaan penerapan strategi predatory pricing yang diduga dilakukan oleh PT Conch Cement Indonesia. Menggunakan strategi ini, perusahaan yang dimiliki perusahaan semen terbesar di China bernama Anhui Conch Cement Company Ltd tersebut, rela menjual rugi produknya guna mendapatkan pangsa pasar.
Benar saja, hanya dalam waktu 4 tahun, Conch Cement berhasil meraup pangsa pasar tanah air sebesar 4,6% per kuartal I-2018, atau menjadi nomor empat terbesar di Indonesia. Hebatnya lagi, Conch Cement langsung menyasar pasar Indonesia Timur, yang semula hanya dijangkau mayoritas oleh SMGR (melalui PT Semen Tonasa).
Di tengah kondisi oversuplai ini, Conch Cement malah sempat dikabarkan akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi tersebut ditargetkan bisa dilakukan dengan membangun sejumlah pabrik di beberapa daerah.
Pada tahun 2017 saja Conch Cement memiliki kapasitas produksi sebesar 2,3 juta ton. Jika nantinya ada tambahan sebesar 22,7 juta ton (menjadi 25 juta ton), dan dengan asumsi bahwa permintaan dan kapasitas produsen lainnya adalah tetap, oversuplai semen di Indonesia akan meroket menjadi 63,75 juta ton di tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular