RI di Tengah Perang Dagang AS & China, Menang Atau Pecundang?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 November 2018 17:36
Indonesia Jadi Negeri Pecundang di Sektor Tekstil dan Pakaian Jadi
Foto: Infografis, Arie Pratama
China memang dominan amat dominan di pasar tekstil dan pakaian jadi global. Ekspor tekstil dan pakaian China mencapai US$ 257 miliar di tahun lalu (tidak termasuk alas kaki senilai US$ 48,2 miliar). Dari jumlah sebesar itu, US$ 38,7 miliarnya (sekitar 15%) dikirim ke pasar AS.

Adapun secara global, data dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan bahwa porsi ekspor tekstil China mencapai 36,2% dari total ekspor global, sementara untuk ekspor pakaian porsinya mencapai 34,5%.

Adanya bea masuk AS terhadap produk-produk tekstil China lantas memberikan peluang yang besar bagi negara-negara produsen lainnya untuk mengambil posisi berdasarkan altenatif cost-competitive.

Efek redistribusi ini nampaknya tidak terlalu besar dalam jangka pendek, tapi diperkirakan EIU akan meningkat seiring konflik dagang AS-China makin memanas.

Terlebih, keinginan China untuk memproduksi ekspor bernilai rendah (seperti tekstil) sudah menurun saat ini. Beijing kini lebih tertarik untuk memprioritaskan produk bernilai tinggi seperti mesin dan elektronik. Hal ini akan menambah besar peluang terjadinya tren redistribusi.



Ada 3 negara pengekspor tekstil di Asia yang akan menerima manfaat besar dari perang dagang AS-China, yakni Bangladesh, Vietnam, dan India.

Bangladesh sudah memiliki industri pakaian jadi yang sudah solid, dan merupakan eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia (setelah China). Pasar ekspor terbesar mereka adalah AS dan Uni Eropa. Sebelum perang dagang terjadi, pangsa ekspor pakaian jadi Bangladesh di dunia terus mengalami pertumbuhan, terima kasih pada produksi berbiaya rendah di sana.

Sejumlah merek internasional ternama, seperti H&M, GAP, Levi’s, dan Zara, sudah mempunyai fasilitas manufaktur sendiri di Bangladesh, yang berarti merek-merek tersebut dapat dengan mudah mengalihkan pesanan ke Bangladesh jika produk-produk mereka jadi lebih mahal di AS (akibat bea masuk pada China).

Kemudian, Vietnam merupakan eksportir pakaian jadi terbesar ketiga di dunia, dan sudah memiliki ikatan perdagangan yang kuat denga AS. Vietnam mengekspor produk tekstil senilai US$ 13,2 miliar ke AS pada tahun lalu, atau hampir 50% dari total ekspor pakaian jadi mereka.

Dalam banyak aspek, Vietnam adalah pasar yang lebih mudah dioperasikan ketimbang Bangladesh. Meski demikian, untuk urusan upah pekerja, Bangladesh masih menjadi yang terendah dibandingkan negara eksportir tekstil lainnya.

Meski Vietnam dan Bangladesh sudah merupakan sentra produksi tekstil dan pakaian yang penting di dunia, dalam jangka panjang kedua negara itu diragukan untuk bisa memproduksi dalam skala sebesar China baik dari sisi volume maupun integrasi rantai pasokan.

Di antara negara-negara di Asia, hanya India yang secara potensial mampu mencapai level produksi yang masif. Meski negara seperti Bangladesh menikmati keuntungan biaya yang lebih kompetitif (karena upah tenaga kerja yang rendah), sektor industri di India unggul di sisi integrasi proses produksi di maunfaktur pakaian, dari mulai penenunan, pemintalan, hingga produk akhir.

Hal ini membuat India juga merupakan alternatif yang menarik untuk investasi industri manufaktur tektil dan pakaian, setelah China. Terlebih, India adalah produsen utama kapas, yang berarti Negeri Bollywood tidak tergantung pada impor bahan baku untuk menggerakkan industrinya, seperti yang terjadi di Bangladesh. 



Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, Indonesia harus menjadi negara pecundang di sektor ini, alias tidak bisa meraup keuntungan dari perang dagang di sektor tekstil dan pakaian jadi. RI tidak sendiri, EIU juga mengkategorikan Myanmar dan Kamboja ke kategori ini.

Sektor pakaian jadi di ketiga negara tersebut sebenarnya penting untuk ekonomi domestik, namun EIU meragukan trio pecundang ini mampu menorehkan prestasi pasar global. Khusus untuk Indonesia, penyebabnya adalah penggunaan teknologi yang cenderung sudah ketinggalan zaman, serta rendahnya minat investasi ke sektor ini.

Risiko tambahan bagi Indonesia adalah potensi terbatasnya akses pasar ekspor ke AS, jika RI gagal merespon keberatan Negeri Paman Sam terhadap bea serta hambatan untuk masuk ke pasar tanah air. Sejumlah faktor di atas akhirnya akan menjadi tembok besar bagi investasi industri pakaian di Indonesia.

Untuk sektor ini, ada baiknya RI mencontoh keseriusan Vietnam dalam mengembangkan industri pakaian-nya. Jka perlu, RI harus belajar dari Vietnam bagaimana cara mengimplementasikan teknologi yang mumpuni, atau cara untuk menarik investor asing.

Lagi-lagi bola panas kini ada di Kementerian Perindustrian. Dari 3 sektor industri yang dibahas sejak awal, hampir semuanya RI ketinggalan. Masih mending jika tertinggal dari negara-negara maju, kenyataannya Indonesia kalah dari negara-negara tetangga. Untuk urusan industri, RI harus tunduk pada Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Sekarang pertanyaan besar pada Kementerian Perindustrian, kapan RI mau berbenah? Tidak malu terus-menerus jadi negara yang ekonominya hanya bergantung pada komoditas?

(TIM RISET CNBC INDONESIA)     (RHG/RHG)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular