RI di Tengah Perang Dagang AS & China, Menang Atau Pecundang?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 November 2018 17:36
Malaysia dan Vietnam Juara di Produk Teknologi Informasi
Foto: Presiden Donald Trump menyampaikan pidatonya di samping bendera AS dan China saat dia dan Presiden Cina Xi Jinping bertemu. REUTERS/Damir Sagolj/File Photo
Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menjadi sasaran utama bagi AS, di mana bea masuk sudah diterapkan bagi produk-produk China di sektor ini. Kebijakan ini memang sebagian disebabkan produk TIK adalah kategori yang paling banyak diimpor Washington dari Beijing.

Nilai impor AS untuk komponen elektronik dan sejenisnya saja sudah mencapai US$ 150 miliar di tahun 2017, nyaris 30% dari total nilai impor AS dari China sebesar US$ 562 miliar kala itu.

Pendorong lainnya bagi kebijakan bea masuk AS di sektor ini adalah untuk menghambat ambisi pemerintah China dalam program Made in China 2025, sebuah inisiatif yang berfokus pada pengembangan sektor teknologi yang penting di Negeri Panda.

Lantas, negara mana di Asia yang justru akan mendapatkan untung paling besar dari panasnya perang dagang AS-China di sektor TIK? Jawabannya, Vietnam dan Malaysia, khususnya untuk produk manufaktur TIK berskala low-end seperti komponen setengah jadi dan manufaktur barang konsumsi (misalnya ponsel dan laptop).

Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama, sejumlah perusahaan elektronik utama telah beroperasi di kedua negara tersebut.  Sebagai contoh, Dell (AS) serta Sony dan Panasonic (Jepang), sudah mendirikan pabrik di Malaysia.

Sementara itu, Samsung (Korea Selatan) dan Intel (AS) sudah menancapkan operasinya di Vietnam. Artinya, sejumlah perusahaan itu akan lebih mudah mengalihkan investasinya ke Malaysia dan Vietnam secara lebih mulus, dibandingkan ke negara lain.

Kedua, kedua negara tersebut sudah memiliki infrastruktur jalan raya, jalur kereta, dan pelabuhan yang mumpuni, yang mana akan memperkuat jaringan pengiriman dan logistik untuk mendukung perdagangan barang.

Ketiga, kedua negara itu telah menandatangani sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, termasuk Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) dan Komunitas Ekonomi ASEAN.

Keempat, iklim bisnis yang amat positif di kedua negara. Malaysia sudah punya sistem hukum korporasi yang jelas dan stabil, sementara Vietnam punya kebijakan promosi investasi yang sangat kuat melalui zona ekonomi spesial.

Keempat alasan di atas lantas menjadi daya tarik yang luar biasa bagi perusahaan-perusahaan untuk menanamkan investasi industri TIK di Malaysia dan Vietnam. Lalu bagaimana dengan Indonesia?



Indonesia, bersama-sama dengan India dan Thailand, diekspektasikan EIU mendapatkan sebagian manfaat dari relokasi produk TIK berorientasi ekspor. Meski demikian, produksi produk-produk TIK untuk diekspor, masih lebih terbatas di ketiga negara tersebut, dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam.

Atau dengan kata lain, jaringan perdagangan internasional di pasar ketiga negara tersebut cenderung belum berkembang.

Dari ketiga negara di atas, Thailand yang nampaknya berpotensi meraup untung terbanyak, bukan Indonesia. Pasalnya, ekspor barang-barang elektronik Negeri Gajah Putih mampu mencapai US$ 35,6 miliar pada tahun 2017, dan telah membangun kekuatan yang besar di industri tersebut sejak lama.

Terlebih, kebijakan pemerintah Thailand untuk mempromosikan pengembangan industri, seperti program Revolusi Industri 4.0 serta zona ekonomi khusus Eastern Economic Corridor, berpotensi menurunkan biaya bagi perusahaan asing untuk mendirikan bisnis di Bangkok.

Dengan sumber daya (baik alam maupun manusia) Indonesia yang lebih masif, seharusnya RI pun punya potensi menyamai Thailand, atau bahkan Malaysia dan Vietnam. Sekarang tinggal tergantung bagaimana niat pemerintah untuk bergerak ke arah sana. Upaya Kementerian Perindustrian perlu dipertanyakan di sini.

Meski demikian, status RI masih lebih baik dibandingkan lima negara lainnya yang disebutkan EIU mengalami disrupsi. Kelima negara tersebut adalah Filipina, Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan.

Empat negara yang disebut terakhir malah harus siap menghadapi disrupsi yang amat besar, terutama dalam jangka pendek, mengingat pentingnya pasar China bagi eksportir di keempat negara tersebut. 

China merupakan destinasi ekspor utama bagi barang TIK setengah jadi maupun barang TIK jadi dari keempat negara tersebut. Bahkan, sejumlah konglomerasi industri besar di Taiwan, termasuk FoxConn dan Taiwan Semiconductor and Manufacturing Company, punya operasi yang sangat masif di dataran China.

Meski perusahaan-perusahaan dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan memitigasi dampak perang dagang dengan berekspansi ke operasi baru/eksisting di Asia Tenggara, akan sangat sulit untuk mereplikasi skala produksi sebesar di pasar China.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(RHG/RHG)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular