
RI di Tengah Perang Dagang AS & China, Menang Atau Pecundang?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 November 2018 17:36

Perang dagang akan berdampak signifikan pada ekspor suku cadang otomotif dari China, yang mana senilai US$ 31 miliar pada 2017. Meski hanya berkisar 1,4% dari total ekspor Negeri Panda di tahun itu, namun skala absolut dari ekspor komponen otomotif ini cukup penting.
Statistik dari International Trade Center (ITC) menunjukkan bahwa ekspor suku cadang otomotif China mencapai 8% dari pasokan dunia pada tahun lalu. Memang masih di belakang Jerman (16,1%), AS (11,6%), dan Jepang (8,9%), tapi masih cukup besar untuk mempunyai dampak yang luas bagi industri dunia.
Terlebih, AS merupakan tujuan ekspor utama China untuk produk tersebut. Alhasil disrupsi pasar yang terjadi bagi akan berdampak sangat signifikan bagi eksportir asal China.
Sebaliknya, ekspor suku cadang kendaraan bermotor dari AS justru lebih tidak terdampak dari konflik dagang AS-China, seiring produk-produk mereka lebih sering dikirim ke Kanada dan Meksiko. Ekspor ke China hanya sekitar 5% dari total ekspor produk suku cadang di tahun 2017.
Lalu siapa negara Asia yang bisa mengambil untung dari dislokasi yang terjadi akibat perang dagang? Lagi-lagi masih negara tetangga, Thailand dan Malaysia.
Thailand merupakan hub yang penting di kawasan, untuk produk otomotif dan suku cadang-nya, dengan lebih dari setengah produksinya memang diarahkan untuk ekspor. Jaringan perdagangannya juga sudah terdiversifikasi dengan baik, dengan ekspor ke AS, Jepang, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dengan sejarah ini, produsen suku cadang otomotif lokal Thailand akan mampu mengambil pangsa China di pasar AS, seiring tensi perang dagang yang terus tereskalasi. Sebagai tambahan, sejumlah merek mobil mewah, termasuk BMW dan Mercedes-Benz, sudah memiliki operasi di Thailand.
Sementara itu, Malaysia memiliki lebih dari 800 industri pengolahan komponen otomotif, sekaligus jaringan ekspor yang terdiversifikasi seperti Thailand. Hal ini lantas menjadikan Negeri Jiran juga menjadi penerima manfaat besar dari disrupsi akibat perang dagang.
Lalu, bagaimana Indonesia? India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, hanya akan mendapatkan manfaat dalam skala menengah.
India merupakan rumah bagi sejumlah merek otomotif asing (termasuk merek mobil mewah), namun ekspor otomotif dari Negeri Bollywood cenderung kecil. Kesulitan dalam akuisisi lahan dan banyaknya tantangan lainnya, akan mempersulit perusahaan untuk mengalihkan produksi dan investasi dari China ke India.
Ekspor kendaraan jadi dan suku cadangnya juga hanya memiliki porsi yang kecil dari total ekspor Vietnam. Negara ini memang sedang berusaha untuk menarik lebih banyak investor asing ke dalam sektor otomotif, namun pasar kendaraan domestik yang juga relatif berukuran kecil akan membuat Vietnam kurang kompetitif dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sementara, Indonesia punya pasar mobil penumpang terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, RI juga punya ekspor suku cadang dalam jumlah yang cukup besar. Meski demikia, EIU menilai bahwa permasalahan infrastruktur dan iklim usaha di RI masih akan menjadi penghambat investasi asing masuk ke tanah air.
Oleh karena itu, dengan potensi pasar serta jaringan ekspor yang sebenarnya sudah mumpuni, RI sebenarnya masih punya peluang besar untuk menyusul Malaysia dan Thailand. Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah jor-joran membangun infrastruktur di 4 tahun kepemimpinannya.
Permasalahan memang masih ada di kebijakan yang bisa menarik investor. Deretan paket kebijakan ekonomi memang belum banyak bersuara selama ini. Belum lagi, melihat implementasi di level pemerintah daerah yang masih bermasalah. Hal ini jelas akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi Indonesia, sebelum bisa mengambil untung dari kecamuk perang dagang.
Meski demikian, status pecundang di sektor otomotif perlu disematkan pada Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Dua negara yang disebutkan di awal yang berpotensi mengalami disrupsi paling besar.
Jepang dan Korea Selatan memiliki operasi otomatif yang amat penting di China. Kedua negara itu mungkin menganggap China sebagai salah satu tujuan utama ekspor komponen otomatif. Kini rantai pasokan tersebut terancam oleh perang tarif AS-China.
Berita baiknya, hanya sebagian kecil dari komponen otomotif tersebut yang dire-ekspor oleh China ke AS. Sebagian besar justru digunakan sebagai penggunaan di pasar domestik China sendiri. Alhasil, disrupsi permintaan akibat perang dagang menjadi terbatas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(RHG/RHG)
Statistik dari International Trade Center (ITC) menunjukkan bahwa ekspor suku cadang otomotif China mencapai 8% dari pasokan dunia pada tahun lalu. Memang masih di belakang Jerman (16,1%), AS (11,6%), dan Jepang (8,9%), tapi masih cukup besar untuk mempunyai dampak yang luas bagi industri dunia.
Terlebih, AS merupakan tujuan ekspor utama China untuk produk tersebut. Alhasil disrupsi pasar yang terjadi bagi akan berdampak sangat signifikan bagi eksportir asal China.
Sebaliknya, ekspor suku cadang kendaraan bermotor dari AS justru lebih tidak terdampak dari konflik dagang AS-China, seiring produk-produk mereka lebih sering dikirim ke Kanada dan Meksiko. Ekspor ke China hanya sekitar 5% dari total ekspor produk suku cadang di tahun 2017.
Lalu siapa negara Asia yang bisa mengambil untung dari dislokasi yang terjadi akibat perang dagang? Lagi-lagi masih negara tetangga, Thailand dan Malaysia.
Thailand merupakan hub yang penting di kawasan, untuk produk otomotif dan suku cadang-nya, dengan lebih dari setengah produksinya memang diarahkan untuk ekspor. Jaringan perdagangannya juga sudah terdiversifikasi dengan baik, dengan ekspor ke AS, Jepang, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dengan sejarah ini, produsen suku cadang otomotif lokal Thailand akan mampu mengambil pangsa China di pasar AS, seiring tensi perang dagang yang terus tereskalasi. Sebagai tambahan, sejumlah merek mobil mewah, termasuk BMW dan Mercedes-Benz, sudah memiliki operasi di Thailand.
Sementara itu, Malaysia memiliki lebih dari 800 industri pengolahan komponen otomotif, sekaligus jaringan ekspor yang terdiversifikasi seperti Thailand. Hal ini lantas menjadikan Negeri Jiran juga menjadi penerima manfaat besar dari disrupsi akibat perang dagang.
Lalu, bagaimana Indonesia? India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, hanya akan mendapatkan manfaat dalam skala menengah.
India merupakan rumah bagi sejumlah merek otomotif asing (termasuk merek mobil mewah), namun ekspor otomotif dari Negeri Bollywood cenderung kecil. Kesulitan dalam akuisisi lahan dan banyaknya tantangan lainnya, akan mempersulit perusahaan untuk mengalihkan produksi dan investasi dari China ke India.
Ekspor kendaraan jadi dan suku cadangnya juga hanya memiliki porsi yang kecil dari total ekspor Vietnam. Negara ini memang sedang berusaha untuk menarik lebih banyak investor asing ke dalam sektor otomotif, namun pasar kendaraan domestik yang juga relatif berukuran kecil akan membuat Vietnam kurang kompetitif dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sementara, Indonesia punya pasar mobil penumpang terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, RI juga punya ekspor suku cadang dalam jumlah yang cukup besar. Meski demikia, EIU menilai bahwa permasalahan infrastruktur dan iklim usaha di RI masih akan menjadi penghambat investasi asing masuk ke tanah air.
Oleh karena itu, dengan potensi pasar serta jaringan ekspor yang sebenarnya sudah mumpuni, RI sebenarnya masih punya peluang besar untuk menyusul Malaysia dan Thailand. Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah jor-joran membangun infrastruktur di 4 tahun kepemimpinannya.
Permasalahan memang masih ada di kebijakan yang bisa menarik investor. Deretan paket kebijakan ekonomi memang belum banyak bersuara selama ini. Belum lagi, melihat implementasi di level pemerintah daerah yang masih bermasalah. Hal ini jelas akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi Indonesia, sebelum bisa mengambil untung dari kecamuk perang dagang.
Meski demikian, status pecundang di sektor otomotif perlu disematkan pada Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Dua negara yang disebutkan di awal yang berpotensi mengalami disrupsi paling besar.
Jepang dan Korea Selatan memiliki operasi otomatif yang amat penting di China. Kedua negara itu mungkin menganggap China sebagai salah satu tujuan utama ekspor komponen otomatif. Kini rantai pasokan tersebut terancam oleh perang tarif AS-China.
Berita baiknya, hanya sebagian kecil dari komponen otomotif tersebut yang dire-ekspor oleh China ke AS. Sebagian besar justru digunakan sebagai penggunaan di pasar domestik China sendiri. Alhasil, disrupsi permintaan akibat perang dagang menjadi terbatas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular