RI di Tengah Perang Dagang AS & China, Menang Atau Pecundang?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 November 2018 17:36
RI di Tengah Perang Dagang AS & China, Menang Atau Pecundang?
Foto: Bendera AS dan China ditempatkan untuk pertemuan di Departemen Pertanian di Beijing, China. REUTERS/Jason Lee/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan pada tahun ini. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.

Per Oktober 2018, bea masuk AS banyak menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin. Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing.



Sejauh ini, penyelesaian tensi perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut belum menemui titik terang, bahkan berpotensi tereskalasi lebih jauh. Mengutip laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), perang dagang bahkan bisa berdampak pada sejumlah produk konsumsi yang berupa barang jadi, seperti telepon seluler (ponsel), laptop, barang-barang elektronik lainnya, hingga pakaian jadi dan produk tekstil.

Lantas, negara Asia mana yang mampu menjadi pemenang, dalam artian mampu mengambil untung dari perang dagang AS-China? Sebaliknya, negara Asia mana yang menjadi pecundang, dalam artian terdisrupsi akibat konflik perdagangan Washington-Beijing? Lalu di mana posisi Indonesia?

Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia, mengacu pada hasil penelitian dari tim The Economist Intelligence Unit.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menjadi sasaran utama bagi AS, di mana bea masuk sudah diterapkan bagi produk-produk China di sektor ini. Kebijakan ini memang sebagian disebabkan produk TIK adalah kategori yang paling banyak diimpor Washington dari Beijing.

Nilai impor AS untuk komponen elektronik dan sejenisnya saja sudah mencapai US$ 150 miliar di tahun 2017, nyaris 30% dari total nilai impor AS dari China sebesar US$ 562 miliar kala itu.

Pendorong lainnya bagi kebijakan bea masuk AS di sektor ini adalah untuk menghambat ambisi pemerintah China dalam program Made in China 2025, sebuah inisiatif yang berfokus pada pengembangan sektor teknologi yang penting di Negeri Panda.

Lantas, negara mana di Asia yang justru akan mendapatkan untung paling besar dari panasnya perang dagang AS-China di sektor TIK? Jawabannya, Vietnam dan Malaysia, khususnya untuk produk manufaktur TIK berskala low-end seperti komponen setengah jadi dan manufaktur barang konsumsi (misalnya ponsel dan laptop).

Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama, sejumlah perusahaan elektronik utama telah beroperasi di kedua negara tersebut.  Sebagai contoh, Dell (AS) serta Sony dan Panasonic (Jepang), sudah mendirikan pabrik di Malaysia.

Sementara itu, Samsung (Korea Selatan) dan Intel (AS) sudah menancapkan operasinya di Vietnam. Artinya, sejumlah perusahaan itu akan lebih mudah mengalihkan investasinya ke Malaysia dan Vietnam secara lebih mulus, dibandingkan ke negara lain.

Kedua, kedua negara tersebut sudah memiliki infrastruktur jalan raya, jalur kereta, dan pelabuhan yang mumpuni, yang mana akan memperkuat jaringan pengiriman dan logistik untuk mendukung perdagangan barang.

Ketiga, kedua negara itu telah menandatangani sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, termasuk Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) dan Komunitas Ekonomi ASEAN.

Keempat, iklim bisnis yang amat positif di kedua negara. Malaysia sudah punya sistem hukum korporasi yang jelas dan stabil, sementara Vietnam punya kebijakan promosi investasi yang sangat kuat melalui zona ekonomi spesial.

Keempat alasan di atas lantas menjadi daya tarik yang luar biasa bagi perusahaan-perusahaan untuk menanamkan investasi industri TIK di Malaysia dan Vietnam. Lalu bagaimana dengan Indonesia?



Indonesia, bersama-sama dengan India dan Thailand, diekspektasikan EIU mendapatkan sebagian manfaat dari relokasi produk TIK berorientasi ekspor. Meski demikian, produksi produk-produk TIK untuk diekspor, masih lebih terbatas di ketiga negara tersebut, dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam.

Atau dengan kata lain, jaringan perdagangan internasional di pasar ketiga negara tersebut cenderung belum berkembang.

Dari ketiga negara di atas, Thailand yang nampaknya berpotensi meraup untung terbanyak, bukan Indonesia. Pasalnya, ekspor barang-barang elektronik Negeri Gajah Putih mampu mencapai US$ 35,6 miliar pada tahun 2017, dan telah membangun kekuatan yang besar di industri tersebut sejak lama.

Terlebih, kebijakan pemerintah Thailand untuk mempromosikan pengembangan industri, seperti program Revolusi Industri 4.0 serta zona ekonomi khusus Eastern Economic Corridor, berpotensi menurunkan biaya bagi perusahaan asing untuk mendirikan bisnis di Bangkok.

Dengan sumber daya (baik alam maupun manusia) Indonesia yang lebih masif, seharusnya RI pun punya potensi menyamai Thailand, atau bahkan Malaysia dan Vietnam. Sekarang tinggal tergantung bagaimana niat pemerintah untuk bergerak ke arah sana. Upaya Kementerian Perindustrian perlu dipertanyakan di sini.

Meski demikian, status RI masih lebih baik dibandingkan lima negara lainnya yang disebutkan EIU mengalami disrupsi. Kelima negara tersebut adalah Filipina, Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan.

Empat negara yang disebut terakhir malah harus siap menghadapi disrupsi yang amat besar, terutama dalam jangka pendek, mengingat pentingnya pasar China bagi eksportir di keempat negara tersebut. 

China merupakan destinasi ekspor utama bagi barang TIK setengah jadi maupun barang TIK jadi dari keempat negara tersebut. Bahkan, sejumlah konglomerasi industri besar di Taiwan, termasuk FoxConn dan Taiwan Semiconductor and Manufacturing Company, punya operasi yang sangat masif di dataran China.

Meski perusahaan-perusahaan dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan memitigasi dampak perang dagang dengan berekspansi ke operasi baru/eksisting di Asia Tenggara, akan sangat sulit untuk mereplikasi skala produksi sebesar di pasar China.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Perang dagang akan berdampak signifikan pada ekspor suku cadang otomotif dari China, yang mana senilai US$ 31 miliar pada 2017. Meski hanya berkisar 1,4% dari total ekspor Negeri Panda di tahun itu, namun skala absolut dari ekspor komponen otomotif ini cukup penting.

Statistik dari International Trade Center (ITC) menunjukkan bahwa ekspor suku cadang otomotif China mencapai 8% dari pasokan dunia pada tahun lalu. Memang masih di belakang Jerman (16,1%), AS (11,6%), dan Jepang (8,9%), tapi masih cukup besar untuk mempunyai dampak yang luas bagi industri dunia.

Terlebih, AS merupakan tujuan ekspor utama China untuk produk tersebut. Alhasil disrupsi pasar yang terjadi bagi akan berdampak sangat signifikan bagi eksportir asal China.



Sebaliknya, ekspor suku cadang kendaraan bermotor dari AS justru lebih tidak terdampak dari konflik dagang AS-China, seiring produk-produk mereka lebih sering dikirim ke Kanada dan Meksiko. Ekspor ke China hanya sekitar 5% dari total ekspor produk suku cadang di tahun 2017.

Lalu siapa negara Asia yang bisa mengambil untung dari dislokasi yang terjadi akibat perang dagang? Lagi-lagi masih negara tetangga, Thailand dan Malaysia.

Thailand merupakan hub yang penting di kawasan, untuk produk otomotif dan suku cadang-nya, dengan lebih dari setengah produksinya memang diarahkan untuk ekspor. Jaringan perdagangannya juga sudah terdiversifikasi dengan baik, dengan ekspor ke AS, Jepang, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Dengan sejarah ini, produsen suku cadang otomotif lokal Thailand akan mampu mengambil pangsa China di pasar AS, seiring tensi perang dagang yang terus tereskalasi. Sebagai tambahan, sejumlah merek mobil mewah, termasuk BMW dan Mercedes-Benz, sudah memiliki operasi di Thailand.

Sementara itu, Malaysia memiliki lebih dari 800 industri pengolahan komponen otomotif, sekaligus jaringan ekspor yang terdiversifikasi seperti Thailand. Hal ini lantas menjadikan Negeri Jiran juga menjadi penerima manfaat besar dari disrupsi akibat perang dagang.



Lalu, bagaimana Indonesia? India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, hanya akan mendapatkan manfaat dalam skala menengah.

India merupakan rumah bagi sejumlah merek otomotif asing (termasuk merek mobil mewah), namun ekspor otomotif dari Negeri Bollywood cenderung kecil. Kesulitan dalam akuisisi lahan dan banyaknya tantangan lainnya, akan mempersulit perusahaan untuk mengalihkan produksi dan investasi dari China ke India.

Ekspor kendaraan jadi dan suku cadangnya juga hanya memiliki porsi yang kecil dari total ekspor Vietnam. Negara ini memang sedang berusaha untuk menarik lebih banyak investor asing ke dalam sektor otomotif, namun pasar kendaraan domestik yang juga relatif berukuran kecil akan membuat Vietnam kurang kompetitif dibandingkan Malaysia dan Thailand.

Sementara, Indonesia punya pasar mobil penumpang terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, RI juga punya ekspor suku cadang dalam jumlah yang cukup besar. Meski demikia, EIU menilai bahwa permasalahan infrastruktur dan iklim usaha di RI masih akan menjadi penghambat investasi asing masuk ke tanah air.

Oleh karena itu, dengan potensi pasar serta jaringan ekspor yang sebenarnya sudah mumpuni, RI sebenarnya masih punya peluang besar untuk menyusul Malaysia dan Thailand. Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah jor-joran membangun infrastruktur di 4 tahun kepemimpinannya.

Permasalahan memang masih ada di kebijakan yang bisa menarik investor. Deretan paket kebijakan ekonomi memang belum banyak bersuara selama ini. Belum lagi, melihat implementasi di level pemerintah daerah yang masih bermasalah. Hal ini jelas akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi Indonesia, sebelum bisa mengambil untung dari kecamuk perang dagang.

Meski demikian, status pecundang di sektor otomotif perlu disematkan pada Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Dua negara yang disebutkan di awal yang berpotensi mengalami disrupsi paling besar.

Jepang dan Korea Selatan memiliki operasi otomatif yang amat penting di China. Kedua negara itu mungkin menganggap China sebagai salah satu tujuan utama ekspor komponen otomatif. Kini rantai pasokan tersebut terancam oleh perang tarif AS-China.

Berita baiknya, hanya sebagian kecil dari komponen otomotif tersebut yang dire-ekspor oleh China ke AS. Sebagian besar justru digunakan sebagai penggunaan di pasar domestik China sendiri. Alhasil, disrupsi permintaan akibat perang dagang menjadi terbatas.

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

China memang dominan amat dominan di pasar tekstil dan pakaian jadi global. Ekspor tekstil dan pakaian China mencapai US$ 257 miliar di tahun lalu (tidak termasuk alas kaki senilai US$ 48,2 miliar). Dari jumlah sebesar itu, US$ 38,7 miliarnya (sekitar 15%) dikirim ke pasar AS.

Adapun secara global, data dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan bahwa porsi ekspor tekstil China mencapai 36,2% dari total ekspor global, sementara untuk ekspor pakaian porsinya mencapai 34,5%.

Adanya bea masuk AS terhadap produk-produk tekstil China lantas memberikan peluang yang besar bagi negara-negara produsen lainnya untuk mengambil posisi berdasarkan altenatif cost-competitive.

Efek redistribusi ini nampaknya tidak terlalu besar dalam jangka pendek, tapi diperkirakan EIU akan meningkat seiring konflik dagang AS-China makin memanas.

Terlebih, keinginan China untuk memproduksi ekspor bernilai rendah (seperti tekstil) sudah menurun saat ini. Beijing kini lebih tertarik untuk memprioritaskan produk bernilai tinggi seperti mesin dan elektronik. Hal ini akan menambah besar peluang terjadinya tren redistribusi.



Ada 3 negara pengekspor tekstil di Asia yang akan menerima manfaat besar dari perang dagang AS-China, yakni Bangladesh, Vietnam, dan India.

Bangladesh sudah memiliki industri pakaian jadi yang sudah solid, dan merupakan eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia (setelah China). Pasar ekspor terbesar mereka adalah AS dan Uni Eropa. Sebelum perang dagang terjadi, pangsa ekspor pakaian jadi Bangladesh di dunia terus mengalami pertumbuhan, terima kasih pada produksi berbiaya rendah di sana.

Sejumlah merek internasional ternama, seperti H&M, GAP, Levi’s, dan Zara, sudah mempunyai fasilitas manufaktur sendiri di Bangladesh, yang berarti merek-merek tersebut dapat dengan mudah mengalihkan pesanan ke Bangladesh jika produk-produk mereka jadi lebih mahal di AS (akibat bea masuk pada China).

Kemudian, Vietnam merupakan eksportir pakaian jadi terbesar ketiga di dunia, dan sudah memiliki ikatan perdagangan yang kuat denga AS. Vietnam mengekspor produk tekstil senilai US$ 13,2 miliar ke AS pada tahun lalu, atau hampir 50% dari total ekspor pakaian jadi mereka.

Dalam banyak aspek, Vietnam adalah pasar yang lebih mudah dioperasikan ketimbang Bangladesh. Meski demikian, untuk urusan upah pekerja, Bangladesh masih menjadi yang terendah dibandingkan negara eksportir tekstil lainnya.

Meski Vietnam dan Bangladesh sudah merupakan sentra produksi tekstil dan pakaian yang penting di dunia, dalam jangka panjang kedua negara itu diragukan untuk bisa memproduksi dalam skala sebesar China baik dari sisi volume maupun integrasi rantai pasokan.

Di antara negara-negara di Asia, hanya India yang secara potensial mampu mencapai level produksi yang masif. Meski negara seperti Bangladesh menikmati keuntungan biaya yang lebih kompetitif (karena upah tenaga kerja yang rendah), sektor industri di India unggul di sisi integrasi proses produksi di maunfaktur pakaian, dari mulai penenunan, pemintalan, hingga produk akhir.

Hal ini membuat India juga merupakan alternatif yang menarik untuk investasi industri manufaktur tektil dan pakaian, setelah China. Terlebih, India adalah produsen utama kapas, yang berarti Negeri Bollywood tidak tergantung pada impor bahan baku untuk menggerakkan industrinya, seperti yang terjadi di Bangladesh. 



Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, Indonesia harus menjadi negara pecundang di sektor ini, alias tidak bisa meraup keuntungan dari perang dagang di sektor tekstil dan pakaian jadi. RI tidak sendiri, EIU juga mengkategorikan Myanmar dan Kamboja ke kategori ini.

Sektor pakaian jadi di ketiga negara tersebut sebenarnya penting untuk ekonomi domestik, namun EIU meragukan trio pecundang ini mampu menorehkan prestasi pasar global. Khusus untuk Indonesia, penyebabnya adalah penggunaan teknologi yang cenderung sudah ketinggalan zaman, serta rendahnya minat investasi ke sektor ini.

Risiko tambahan bagi Indonesia adalah potensi terbatasnya akses pasar ekspor ke AS, jika RI gagal merespon keberatan Negeri Paman Sam terhadap bea serta hambatan untuk masuk ke pasar tanah air. Sejumlah faktor di atas akhirnya akan menjadi tembok besar bagi investasi industri pakaian di Indonesia.

Untuk sektor ini, ada baiknya RI mencontoh keseriusan Vietnam dalam mengembangkan industri pakaian-nya. Jka perlu, RI harus belajar dari Vietnam bagaimana cara mengimplementasikan teknologi yang mumpuni, atau cara untuk menarik investor asing.

Lagi-lagi bola panas kini ada di Kementerian Perindustrian. Dari 3 sektor industri yang dibahas sejak awal, hampir semuanya RI ketinggalan. Masih mending jika tertinggal dari negara-negara maju, kenyataannya Indonesia kalah dari negara-negara tetangga. Untuk urusan industri, RI harus tunduk pada Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Sekarang pertanyaan besar pada Kementerian Perindustrian, kapan RI mau berbenah? Tidak malu terus-menerus jadi negara yang ekonominya hanya bergantung pada komoditas?

(TIM RISET CNBC INDONESIA)    
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular