
Dari 34 Laku 6, Lelang Blok Migas Sepi Peminat Salah Siapa?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
06 November 2018 17:14

Jakarta, CNBC Indonesia- Sepanjang 2018 ini, pemerintah telah melaksanakan tiga kali lelang blok migas konvensional. Dari tiga tahap tersebut, total sudah 34 blok migas yang ditawarkan pemerintah.
Namun, dari 34 blok yang ditawarkan itu, faktanya baru enam yang laku, dan empat blok sedang dalam proses lelang.
Kenapa bisa begitu?
Pengamat energi Fabby Tumiwa menduga, hal ini disebabkan iklim investasi migas Indonesia yang dipandang tidak menarik bagi investor. Selain kerangka regulasi dan insentif migas, faktor politik seperti pemilu tahun depan juga menjadi pertimbangan investor.
Pasalnya, yang dicari investor dalam investasi di sektor migas adalah return on investment. Negara yang bisa memberikan pengembalian investasi yang lebih besar dan risiko yang lebih rendah atau yang lebih dapat dikelola.
"Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya," ujar Fabby kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (6/11/2018).
Sebab, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan, serta yang paling buruk adalah nasionalisasi seperti yang terjadi di Venezuela.
"Jadi kecenderungan-kecenderungan ini diwaspadai," tutur Fabby.
Selain itu, ia menduga, skema gross split juga menjadi sorotan. Menurutnya, ada kemungkinan skema gross split memang tidak menarik untuk kondisi lapangan migas sekarang ini.
"Lapangan off shore di laut dalam, risiko tinggi. Dengan skema gross split, sepertinya tidak menarik bagi investor dalam mengompensasi risiko tersebut," pungkas Fabby.
Adapun, sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra pernah mengklaim, sejak diperkenalkannya skema gross split tahun lalu, sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia telah meningkat dengan mantap. Pemerintah Indonesia pun mendapatkan penerimaan yang tinggi sejak skema tersebut diberlakukan.
"Dari kontrak baru dan perpanjangan, Pemerintah Indonesia telah menerima US$ 70 juta bonus tanda tangan, komitmen perusahaan senilai US$ 68 juta (berasal dari PSC baru) dan komitmen kerja perusahaan senilai US$ 1,2 miliar membentuk perpanjangan PSC," ujar Arcandra ketika dijumpai di gelaran Gas Indonesia Summit, Jakarta, Rabu (1/8/2018).
(gus) Next Article Awali 2019, Kementerian ESDM Siap Lelang 3 Blok Migas
Namun, dari 34 blok yang ditawarkan itu, faktanya baru enam yang laku, dan empat blok sedang dalam proses lelang.
Pengamat energi Fabby Tumiwa menduga, hal ini disebabkan iklim investasi migas Indonesia yang dipandang tidak menarik bagi investor. Selain kerangka regulasi dan insentif migas, faktor politik seperti pemilu tahun depan juga menjadi pertimbangan investor.
Pasalnya, yang dicari investor dalam investasi di sektor migas adalah return on investment. Negara yang bisa memberikan pengembalian investasi yang lebih besar dan risiko yang lebih rendah atau yang lebih dapat dikelola.
"Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya," ujar Fabby kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (6/11/2018).
Sebab, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan, serta yang paling buruk adalah nasionalisasi seperti yang terjadi di Venezuela.
![]() |
"Jadi kecenderungan-kecenderungan ini diwaspadai," tutur Fabby.
Selain itu, ia menduga, skema gross split juga menjadi sorotan. Menurutnya, ada kemungkinan skema gross split memang tidak menarik untuk kondisi lapangan migas sekarang ini.
"Lapangan off shore di laut dalam, risiko tinggi. Dengan skema gross split, sepertinya tidak menarik bagi investor dalam mengompensasi risiko tersebut," pungkas Fabby.
Adapun, sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra pernah mengklaim, sejak diperkenalkannya skema gross split tahun lalu, sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia telah meningkat dengan mantap. Pemerintah Indonesia pun mendapatkan penerimaan yang tinggi sejak skema tersebut diberlakukan.
"Dari kontrak baru dan perpanjangan, Pemerintah Indonesia telah menerima US$ 70 juta bonus tanda tangan, komitmen perusahaan senilai US$ 68 juta (berasal dari PSC baru) dan komitmen kerja perusahaan senilai US$ 1,2 miliar membentuk perpanjangan PSC," ujar Arcandra ketika dijumpai di gelaran Gas Indonesia Summit, Jakarta, Rabu (1/8/2018).
(gus) Next Article Awali 2019, Kementerian ESDM Siap Lelang 3 Blok Migas
Most Popular