Industri Minta Pungutan Ekspor CPO Turun, Ini Kata BPDP-KS

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
26 October 2018 08:06
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) diturunkan dari besaran saat ini US$50 per ton.
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) diturunkan dari besaran saat ini US$50 (Rp 759.362) per ton.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan hal ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing ekspor CPO Indonesia yang lesu sekaligus memperbaiki harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani yang saat ini sedang turun akibat kelebihan produksi (oversupply).


Adapun Mukti meminta penurunan pungutan ekspor CPO yang ideal setidaknya sebesar US$20 per ton sehingga menjadi US$30 per ton.

Dia pun mengaku telah mengusulkan hal ini ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang saat ini sedang mengkajinya bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.

Menanggapi hal ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) selaku badan penghimpun dana komoditas sawit yang dibentuk Kementerian Keuangan angkat bicara.

Corporate Secretary BPDP-KS Achmad Maulizal mengatakan dana pungutan ekspor sebenarnya dikembalikan kepada industri untuk mendukung peningkatan permintaan produksi sawit, antara lain melalui program mandatori B20 yang berupaya meningkatkan permintaan dalam negeri sehingga produksi bisa terserap dan pada akhirnya dapat menciptakan stabilitas harga.

Dana pungutan ini juga dipakai untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit melalui program replanting, peningkatan produktivitas, serta pengembangan hilirisasi produk-produk sawit agar industri domestik maju.

Industri Minta Pungutan Ekspor CPO Turun, Ini Kata BPDP-KSFoto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
"Pengenaan tarif pungutan ekspor tidak menghambat pengembangan ekspor. Jika dibandingkan antara sebelum dan sesudah adanya pengenaan pungutan ekspor untuk produk sawit, ekspor sawit Indonesia [sebenarnya] cenderung stabil," kata Achmad, Kamis (25/10/2018) sore.

Dia mengakui terjadinya penurunan ekspor di awal tahun ini, tetapi menurutnya hal ini disebabkan melemahnya iklim perdagangan global yang dipicu oleh perang dagang China-AS, serta kebijakan tarif perdagangan masing-masing negara importir.

Sebagai contoh, menurunnya ekspor CPO ke India akibat kenaikan tarif impor. Akan tetapi, menurunnya ekspor CPO justru mendorong peningkatan ekspor produk sawit olahan ke India.

Selain itu, ekspor produk sawit terutama biodiesel ke China juga melonjak tinggi, bahkan pada Agustus mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah secara bulanan.

"Ekspor CPO yang dikenakan tarif pungutan US$50/ton hanya berkisar 20% dari total ekspor [produk sawit RI]. Sebagian besar produk yang diekspor dipungut dengan tarif sebesar US$20/ton sampai US$30/ton yang merupakan produk hasil olahan sawit," jelasnya.

"Hal ini menunjukkan bahwa skema dana pungutan mampu mendorong hilirisasi industri sawit," imbuhnya.

Achmad menambahkan kebijakan untuk menurunkan tarif pungutan ekspor tidak berada di BPDP-KS, akan tetapi berada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kemenko Perekonomian.


"BPDP siap menjalankan apapun yang diputuskan oleh pemerintah," pungkasnya.

Sebagai informasi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDP-KS menetapkan tarif pungutan ekspor CPO dan CPKO sebesar US$50/ton, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein sebesar US$30/ton, RBD palm oil dan PKO sebesar US$20/ton, bungkil dan residu sawit sebesar US$20/ton hingga cangkang kernel sawit sebesar US$10/ton.
(prm) Next Article Aturan Pungutan Ekspor Nol Dirilis, Pengusaha CPO Bersorak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular