
Diskriminasi ke CPO RI Dilakukan Lewat Sertifikasi
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
25 October 2018 16:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha kelapa sawit nasional menilai diskriminasi terhadap minyak sawit oleh negara-negara barat dipraktikkan melalui sertifikasi prinsip perkebunan berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, selama ini komoditas minyak nabati yang dibebankan dengan sistem sertifikasi yang mendetail hanyalah kelapa sawit, seperti sertifikasi yang dikeluarkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Adapun sertifikasi yang ada untuk minyak kedelai (soybean oil) menurutnya tidak sedetail sawit. Bahkan, industri rapeseed oil dan minyak bunga matahari (sunflower oil) malah belum memiliki sertifikasi sama sekali.
"Kenapa mereka tidak membuat itu? Padahal kalau kita mau jujur, mereka lebih banyak menggunakan lahan daripada sawit, dan emisinya lebih besar dari sawit. Jadi mestinya fair lah, mereka terapkan sertifikasi," ujar Mukti dalam diskusi di Bakoel Koffie, Kamis (25/10/2018).
Mukti menyebut penggunaan lahan untuk industri minyak kedelai secara global mencapai 116 juta hektar pada 2017, jauh lebih besar dibanding sawit yang hanya sekitar 18 juta hektar.
"[Penggunaan lahan] rapeseed dan sunflower juga lebih besar [dari sawit]. Produktivitas sawit pun jauh lebih tinggi [...] Saya lihat ini masalah perang dagang [antar komoditas minyak nabati]" katanya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. Menurut Sahat, seluruh stakeholders industri sawit di Tanah Air saat ini harus berjuang mengubah RSPO menjadi RSVO, yang mencakup seluruh jenis minyak nabati.
"Sudah menjadi ideologi di Barat yang berniat mematikan industri sawit. Target paling mudah bagi mereka adalah minyak sawit. Sekarang, Indonesia sedang berusaha keras untuk menciptakan sustainability, marilah dunia menghargai itu," tegas Sahat.
Hingga Juni 2018, sudah ada 12,28 juta metric ton CPO secara global yang telah memperoleh sertifikasi RSPO, dengan 6,37 juta metric ton di antaranya berasal dari Indone
(ray) Next Article Jika Moratorium Izin Sawit Berakhir, Ini yang Akan Terjadi!
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, selama ini komoditas minyak nabati yang dibebankan dengan sistem sertifikasi yang mendetail hanyalah kelapa sawit, seperti sertifikasi yang dikeluarkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Adapun sertifikasi yang ada untuk minyak kedelai (soybean oil) menurutnya tidak sedetail sawit. Bahkan, industri rapeseed oil dan minyak bunga matahari (sunflower oil) malah belum memiliki sertifikasi sama sekali.
"Kenapa mereka tidak membuat itu? Padahal kalau kita mau jujur, mereka lebih banyak menggunakan lahan daripada sawit, dan emisinya lebih besar dari sawit. Jadi mestinya fair lah, mereka terapkan sertifikasi," ujar Mukti dalam diskusi di Bakoel Koffie, Kamis (25/10/2018).
Mukti menyebut penggunaan lahan untuk industri minyak kedelai secara global mencapai 116 juta hektar pada 2017, jauh lebih besar dibanding sawit yang hanya sekitar 18 juta hektar.
"[Penggunaan lahan] rapeseed dan sunflower juga lebih besar [dari sawit]. Produktivitas sawit pun jauh lebih tinggi [...] Saya lihat ini masalah perang dagang [antar komoditas minyak nabati]" katanya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. Menurut Sahat, seluruh stakeholders industri sawit di Tanah Air saat ini harus berjuang mengubah RSPO menjadi RSVO, yang mencakup seluruh jenis minyak nabati.
"Sudah menjadi ideologi di Barat yang berniat mematikan industri sawit. Target paling mudah bagi mereka adalah minyak sawit. Sekarang, Indonesia sedang berusaha keras untuk menciptakan sustainability, marilah dunia menghargai itu," tegas Sahat.
Hingga Juni 2018, sudah ada 12,28 juta metric ton CPO secara global yang telah memperoleh sertifikasi RSPO, dengan 6,37 juta metric ton di antaranya berasal dari Indone
(ray) Next Article Jika Moratorium Izin Sawit Berakhir, Ini yang Akan Terjadi!
Most Popular