Pantaskah Sri Mulyani Dianugerahi Gelar Menkeu Terbaik?

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 October 2018 08:33
Belanja Pemerintah Naik, Apakah Sudah Produktif?
Foto: Sri Mulyani raih gelar Menkeu terbaik. (Biro KLI Kemenkeu/Agus Tri H)
Kedua, dari sektor belanja negara. Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) periode 2016-2017, belanja negara mengalami peningkatan yang substantif, sekaligus diiringi penyerapan APBN yang juga membaik.

Pada 2016, belanja negara mencapai Rp 1.864,27 triliun, dengan tingkat penyerapan sebesar 89,5% dari total target. Setahun setelahnya, belanja negara meningkat jadi Rp 2.007,35 triliun atau 94,1% dari target APBN.

Penyerapan yang semakin baik tersebut lantas menjadi cerminan pengelolaan anggaran pemerintah yang dapat dikelola dengan lebih baik, dan sesuai dengan dokumen perencanaan dan penganggaran yang dicanangkan.


Jika ditelusuri lebih jauh, sektor belanja apa yang tumbuh paling cepat? Pada tahun 2017, belanja modal menjadi salah satu pos belanja pemerintah yang tumbuh paling cepat, yakni mencapai 23,13% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Capaian itu masih lebih cepat dibandingkan pos pembayaran bunga utang (+18,50% YoY), pos belanja barang (+12,25% YoY), dan pos belanja pegawai (+2,49% YoY). Pos subsidi malah terkontraksi 4,49% YoY pada tahun lalu.

Sebagai tambahan, dana desa juga mampu tumbuh hingga 28,04% YoY pada tahun 2017, hingga menembus angka Rp 59,77 triliun. Pertumbuhan dana desa yang signifikan sejak awal pemerintahan Jokowi memang sering dipandang sebagai katalis yang baik bagi pembangunan infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja di desa.

Pos Belanja2016 (Rp Triliun)2017 (Rp Triliun)Perubahan (%)
Belanja Pegawai305,14312,732,49
Belanja Barang259,65291,4612,25
Belanja Modal169,47208,6623,13
Bunga Utang182,76216,5718,50
Subsidi174,23166,4-4,49
Belanja Hibah6,025,44-9,63
Belanja Bansos49,6155,311,47
Belanja Lain-Lain6,028,846,18
Dana Perimbangan639,77654,482,30
Dana Desa46,6859,7728,04

Meski demikian, dari sisi penyerapan, realisasi belanja modal yang hanya 92,27% pada 2017 masih relatif lebih lambat dibandingkan pos lainnya seperti belanja barang (98,9%), bunga utang (98,8%), dan subsidi (98,53%).

Belanja modal pemerintah merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya, yang pada umumnya memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Peningkatan belanja modal pemerintah akan mendorong naik komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di dalam PDB. Sehatnya pertumbuhan PMTB akan menjadi sinyal yang baik bagi ekonomi secara jangka panjang.

Selain itu, belanja modal juga akan meningkatkan kapasitas produksi negara melalui pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan pelabuhan penyeberangan, pelabuhan, bandara, dan stasiun akan meningkatkan konektivitas antar wilayah membuka isolasi untuk meningkatkan kapasitas arus orang, barang, dan jasa.

Oleh karena itu, belanja modal menjadi pos belanja yang paling produktif dibandingkan pos anggaran lainnya. Perannya amat krusial dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Sayangnya, setelah penyerapannya cenderung terbatas di tahun lalu, realisasi belanja modal di tahun ini malah terkontraksi. Berdasarkan data APBN KiTA hingga akhir Agustus 2018, pos belanja modal malah terkontraksi sebesar 5,7% YoY.

Hingga akhir Agustus 2018, belanja negara secara keseluruhan memang masih naik 15,3% YoY ke angka Rp 802,2 triliun, tapi nampaknya kenaikan ini didorong oleh pos belanja lainnya yang kurang produktif. Misalnya, pos subsidi Bahan Bakar Minyak dan LPG yang naik 72,1% YoY ke Rp 46,3 triliun, lantas mendorong pos belanja subsidi secara keseluruhan sebesar 36,1% YoY.

Sebagai tambahan, belanja pegawai juga naik cukup pesat sebesar 11,6% YoY ke angka Rp 239,7 triliun. Hal ini nampaknya tidak lepas dari kebijakan kenaikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterapkan pemerintah pada bulan lalu.


Meski pada dasarnya kenaikan belanja pegawai dan subsidi akan memberikan angin segar bagi konsumsi masyarakat, namun sifatnya masih kalah produktif dibandingkan belanja modal. Secara jangka panjang, penyediaan layanan barang dan jasa publik yang disuplai oleh belanja modal justru akan menjadi fondasi yang lebih kuat bagi kesejahteraan masyarakat.   

Oleh karena itu, meski belanja negara masih menunjukkan pertumbuhan yang positif (secara nilai), namun masih ada PR bagi Menkeu untuk memperbaiki performa belanja, khususnya untuk belanja modal.

Sayang, upaya peningkatan belanja modal nampaknya akan menemui tembok tebal, atau malah cenderung ditahan oleh pemerintah. Jokowi bahkan sudah menginstruksikan agar proyek-proyek infrastruktur non-strategis ditunda.

Alasannya, kenaikan belanja modal akan diiringi dengan tumbuhnya impor. Sementara, impor saat ini sedang ekstra dibatasi demi menyelamatkan rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Sekarang semua tergantung pada racikan Sri Mulyani dan jajarannya untuk dapat memaksimalkan pos belanja modal namun tetap berada dalam batas aman. Tujuannya adalah tetap mampu menopang pertumbuhan ekonomi RI yang berkualitas, sekaligus tidak terlalu membebani nilai tukar dan CAD.

Selain itu, pos-pos belanja lainnya (seperti dana desa yang tumbuh pesat) juga dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Kesimpulannya, pencapaian Sri Mulyani memang patut diapresiasi dari berbagai aspek, namun sejatinya secara fundamental masih ada PR krusial yang tentunya tidak boleh dilupakan (baik dari sisi perpajakan maupun belanja negara).

Akhirnya, berharap bahwa gelar menteri keuangan terbaik dapat menjadi pemicu semangat untuk mengerek perekonomian negara ke arah yang lebih baik lagi.


TIM RISET CNBC INDONESIA     


(dru/prm)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular