Pantaskah Sri Mulyani Dianugerahi Gelar Menkeu Terbaik?

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 October 2018 08:33
Pantaskah Sri Mulyani Dianugerahi Gelar Menkeu Terbaik?
Foto: Sri Mulyani raih gelar Menkeu terbaik. (Biro KLI Kemenkeu/Agus Tri H)
Jakarta, CNBC IndonesiaMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja menyabet gelar Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik Timur dari Global Markets, media cetak yang selalu hadir memberitakan Annual Meetings yang digelar oleh IMF/World Bank, ADB, sampai Inter-American Development Bank.

Sebelum ini, Sri Mulyani mendapatkan penghargaan Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik versi majalah Finance Asia. Kemudian, ia juga mendapatkan penghargaan dalam World Government Summit 2018.
Pantaskah Sri Mulyani Dianugerahi Gelar Menkeu Terbaik?Foto: Sri Mulyani raih gelar Menkeu terbaik. (Biro KLI Kemenkeu/Agus Tri H)
Jika menilik alasan dari Global Markets, Sri Mulyani mempertahankan reputasi keuangan Indonesia di tengah kondisi yang lebih menantang dibandingkan saat ia kali pertama menjabat lebih dari 10 tahun lalu. Kebijakannya dianggap kredibel dan efektif, dikutip dari siaran pers kementerian.

Penghargaan tersebut diberikan di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-WBG Bali 2018 (IMF-WB Annual Meetings) di Nusa Dua, Bali.

Sri Mulyani telah mengatasi dua persoalan, yaitu pengumpulan pajak dan penyerapan anggaran pemerintah, menurut Global Markets.

Pengumpulan pajak tahun lalu (2017) mencapai 91% dari target dibandingkan pencapaian 83% pada dua tahun sebelumnya. Hal itu dibantu kebijakan amnesti pajak yang membantu membawa kekayaan Indonesia di luar negeri kembali ke tanah air.



Sementara belanja pemerintah tumbuh sangat cepat dalam tiga tahun sejak 2017, mencapai 21,1% dari PDB. Sedangkan serapan APBN meningkat hingga mencapai level tertinggi dalam enam tahun, menurut pernyataan kementerian.

Melihat data dan fakta, pantaskah Sri Mulyani meraih gelar-gelar tersebut?
(NEXT) 



Pertama, dari sektor perpajakan. Berdasarkan data Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2016-2017, penerimaan pajak memang benar mengalami peningkatan.

Pada 2016, penerimaan pajak mencapai Rp 1.105 triliun atau 81% dari total target penerimaan sebesar Rp 1.355 triliun. Setahun setelahnya, penerimaan pajak meningkat jadi Rp 1.339,8 triliun atau 91% dari target sebesar Rp 1.450,9 triliun.

Dari data teranyar di APBN KiTA hingga akhir Agustus 2018, penerimaan pajak negara masih tercatat tumbuh 16,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka Rp 907,5 triliun, atau mencapai 60,6% dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.147,8 triliun.

Meskipun penerimaan pajak meningkat, namun dari sisi Rasio Pajak (Tax Ratio) justru terus menurun. Data dari nota keuangan per 2017, Tax Ratio hanya sebesar 10,7% atau terendah dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).



Tax Ratio atau sering disebut juga dengan rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan PDB dalam kurun waktu tertentu.

Semakin rendah Tax Ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor ekonomi juga belum terlalu optimal.

Lantas, seberapa besar Tax Ratio yang bisa dibilang sudah cukup bagus? Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2016, rata-rata Tax Ratio dunia mencapai 15,06%. Rasio pajak Indonesia yang hanya mentok di level 10%-an jelas masih jauh di bawah itu.

Tidak usah jauh-jauh membicarakan dunia, di Asia Tenggara saja Tax Ratio Indonesia menjadi yang paling rendah. Mengacu data Bank Dunia, IMF, dan OECD yang diolah oleh Kementerian Keuangan, Tax Ratio di tanah air masih kalah dari Malaysia (14,4%), Filipina (13,67%), Singapura (14,29%), bahkan Kamboja (15,3%).

Apalagi, jika dibandingkan dengan rasio pajak negara-negara maju, RI jelas lebih ketinggalan. Lihat saja rasio pajak Amerika Serikat (AS) sebesar 26%, Inggris (30,6%), Jerman (37%), dan negara-negara Skandinavia (di atas 40%).

Meski kita harus mengapresiasi penerimaan pajak yang membaik, namun data Tax Ratio yang masih rendah menunjukkan bahwa sebenarnya Menkeu masih punya banyak Pekerjaan Rumah (PR).

Baik secara basis pajak (tax base) maupun institusional (regulasi dan kebijakan), masih ada ruang yang perlu diperbaiki. Secara basis perpajakan, RI tidak bisa hanya bergantung pada sektor tradable seperti komoditas tambang, agrikultur, dan produk manufaktur.

Sektor non-tradable seperti jasa keuangan, seperti jasa keuangan dan konstruksi mempunyai potensi pajak yang besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor jasa “hanya” menyumbang 46% dari total PDB.

Angka tersebut masih tergolong kecil dibandingkan dengan kontribusi sektor jasa di negara-negara dengan Tax Ratio yang tinggi, seperti AS (80,2%), Inggris (80,4%), Singapura (69,4%), Malaysia (54%), dan Filipina (59,8%) Dengan kata lain, masih ada sumber-sumber penerimaan pajak yang bisa digali. Namun, tentu koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait juga perlu diperkuat untuk hal ini. Kementerian Keuangan tidak bisa berdiri sendiri.

"Tax to GDP Ratio atau Tax Ratio itu turun terus. Tak pernah dalam sejarah RI itu tax ratio itu single digit. Itu sebenarnya sudah lima tahun berturut-turut turun bukan Era Jokowi saja. Tapi di era Jokowi tax ratio pernah sampai 9,9% di 2017. Dan 2018 semester I itu turun lagi 9,1%," kata ekonom Faisal Basri.

Kemudian, dari sisi institusional, beberapa aspek yang nampaknya masih bisa dimaksimalkan oleh Kementerian Keuangan adalah penguatan sistem teknologi informasi (TI) yang selama ini digunakan, perbaikan administrasi perpajakan, dan kebijakan perpajakan (tax policy).


(NEXT)




Kedua, dari sektor belanja negara. Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) periode 2016-2017, belanja negara mengalami peningkatan yang substantif, sekaligus diiringi penyerapan APBN yang juga membaik.

Pada 2016, belanja negara mencapai Rp 1.864,27 triliun, dengan tingkat penyerapan sebesar 89,5% dari total target. Setahun setelahnya, belanja negara meningkat jadi Rp 2.007,35 triliun atau 94,1% dari target APBN.

Penyerapan yang semakin baik tersebut lantas menjadi cerminan pengelolaan anggaran pemerintah yang dapat dikelola dengan lebih baik, dan sesuai dengan dokumen perencanaan dan penganggaran yang dicanangkan.


Jika ditelusuri lebih jauh, sektor belanja apa yang tumbuh paling cepat? Pada tahun 2017, belanja modal menjadi salah satu pos belanja pemerintah yang tumbuh paling cepat, yakni mencapai 23,13% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Capaian itu masih lebih cepat dibandingkan pos pembayaran bunga utang (+18,50% YoY), pos belanja barang (+12,25% YoY), dan pos belanja pegawai (+2,49% YoY). Pos subsidi malah terkontraksi 4,49% YoY pada tahun lalu.

Sebagai tambahan, dana desa juga mampu tumbuh hingga 28,04% YoY pada tahun 2017, hingga menembus angka Rp 59,77 triliun. Pertumbuhan dana desa yang signifikan sejak awal pemerintahan Jokowi memang sering dipandang sebagai katalis yang baik bagi pembangunan infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja di desa.

Pos Belanja2016 (Rp Triliun)2017 (Rp Triliun)Perubahan (%)
Belanja Pegawai305,14312,732,49
Belanja Barang259,65291,4612,25
Belanja Modal169,47208,6623,13
Bunga Utang182,76216,5718,50
Subsidi174,23166,4-4,49
Belanja Hibah6,025,44-9,63
Belanja Bansos49,6155,311,47
Belanja Lain-Lain6,028,846,18
Dana Perimbangan639,77654,482,30
Dana Desa46,6859,7728,04

Meski demikian, dari sisi penyerapan, realisasi belanja modal yang hanya 92,27% pada 2017 masih relatif lebih lambat dibandingkan pos lainnya seperti belanja barang (98,9%), bunga utang (98,8%), dan subsidi (98,53%).

Belanja modal pemerintah merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya, yang pada umumnya memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Peningkatan belanja modal pemerintah akan mendorong naik komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di dalam PDB. Sehatnya pertumbuhan PMTB akan menjadi sinyal yang baik bagi ekonomi secara jangka panjang.

Selain itu, belanja modal juga akan meningkatkan kapasitas produksi negara melalui pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan pelabuhan penyeberangan, pelabuhan, bandara, dan stasiun akan meningkatkan konektivitas antar wilayah membuka isolasi untuk meningkatkan kapasitas arus orang, barang, dan jasa.

Oleh karena itu, belanja modal menjadi pos belanja yang paling produktif dibandingkan pos anggaran lainnya. Perannya amat krusial dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Sayangnya, setelah penyerapannya cenderung terbatas di tahun lalu, realisasi belanja modal di tahun ini malah terkontraksi. Berdasarkan data APBN KiTA hingga akhir Agustus 2018, pos belanja modal malah terkontraksi sebesar 5,7% YoY.

Hingga akhir Agustus 2018, belanja negara secara keseluruhan memang masih naik 15,3% YoY ke angka Rp 802,2 triliun, tapi nampaknya kenaikan ini didorong oleh pos belanja lainnya yang kurang produktif. Misalnya, pos subsidi Bahan Bakar Minyak dan LPG yang naik 72,1% YoY ke Rp 46,3 triliun, lantas mendorong pos belanja subsidi secara keseluruhan sebesar 36,1% YoY.

Sebagai tambahan, belanja pegawai juga naik cukup pesat sebesar 11,6% YoY ke angka Rp 239,7 triliun. Hal ini nampaknya tidak lepas dari kebijakan kenaikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterapkan pemerintah pada bulan lalu.


Meski pada dasarnya kenaikan belanja pegawai dan subsidi akan memberikan angin segar bagi konsumsi masyarakat, namun sifatnya masih kalah produktif dibandingkan belanja modal. Secara jangka panjang, penyediaan layanan barang dan jasa publik yang disuplai oleh belanja modal justru akan menjadi fondasi yang lebih kuat bagi kesejahteraan masyarakat.   

Oleh karena itu, meski belanja negara masih menunjukkan pertumbuhan yang positif (secara nilai), namun masih ada PR bagi Menkeu untuk memperbaiki performa belanja, khususnya untuk belanja modal.

Sayang, upaya peningkatan belanja modal nampaknya akan menemui tembok tebal, atau malah cenderung ditahan oleh pemerintah. Jokowi bahkan sudah menginstruksikan agar proyek-proyek infrastruktur non-strategis ditunda.

Alasannya, kenaikan belanja modal akan diiringi dengan tumbuhnya impor. Sementara, impor saat ini sedang ekstra dibatasi demi menyelamatkan rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Sekarang semua tergantung pada racikan Sri Mulyani dan jajarannya untuk dapat memaksimalkan pos belanja modal namun tetap berada dalam batas aman. Tujuannya adalah tetap mampu menopang pertumbuhan ekonomi RI yang berkualitas, sekaligus tidak terlalu membebani nilai tukar dan CAD.

Selain itu, pos-pos belanja lainnya (seperti dana desa yang tumbuh pesat) juga dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Kesimpulannya, pencapaian Sri Mulyani memang patut diapresiasi dari berbagai aspek, namun sejatinya secara fundamental masih ada PR krusial yang tentunya tidak boleh dilupakan (baik dari sisi perpajakan maupun belanja negara).

Akhirnya, berharap bahwa gelar menteri keuangan terbaik dapat menjadi pemicu semangat untuk mengerek perekonomian negara ke arah yang lebih baik lagi.



TIM RISET CNBC INDONESIA     



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular