
Nasib Hulu Migas RI: Investasi Turun Hingga Kontraktor Dhuafa
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 October 2018 12:57
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak dunia tengah merangkak naik, menembus level US$ 80 per barel. Indonesia semestinya bisa memetik keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia ini, jika kondisi produksi dan investasi migas di hulu lancar jaya.
Kenyataannya, investasi migas justru loyo. Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan.
Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$14,2 miliar. Sementara sampai akhir tahun, investasi migas diperkirakan hanya tercapai 79% dari target, atau sebesar US$11,2 miliar.
Nah, melihat harga minyak dunia yang tengah menanjak, loyonya investasi migas di RI jelas bukan karena kondisi eksternal. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai bahwa masih loyonya investasi migas di tahun 2018 tidak terlepas dari faktor regulasi.
"Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).
Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.
Lebih lanjut, Fabby juga menuturkan, adanya kekhawatiran akan kecenderungan nasionalisme oleh pemerintah. Menurut Fabby, investor sepertinya juga melihat Indonesia cukup berisiko dengan munculnya retorika "nasionalisme" yang sedikit banyaknya dipandang sebagai ancaman kestabilan usaha jangka panjang.
Ia menjelaskan, maksud dari retorika nasionalisme tersebut, sekarang ini ada kecenderungan segala sesuatunya harus dikerjakan oleh BUMN dan dilakukan oleh pemerintah. Gejala ini, tutur Fabby, dilihat oleh investor sebagai kecenderungan nasionalisme.
Kontraktor Dhuafa
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi juga memaparkan hingga 30 September 2018 hanya terdapat 74 wilayah kerja (WK) migas yang sudah berproduksi, dari total 224 WK yang ada di Indonesia.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menuturkan, 74 WK yang sudah berproduksi tersebut mayoritas adalah WK yg sudah mature (berumur tua). Ini menyiratkan, lifting migas trennya memang sedang menurun sedangkan biaya produksi (cost recovery) trennya tidak menurun.
"Prioritas yang harus dilakukan Indonesia adalah eksplorasi. Sedangkan, eksplorasi membutuhkan capital tinggi, teknologi tinggi, dan kemampuan menghitung risiko," ujar Amien melalui keterangan resminya, Senin (15/10/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan kebutuhan kriteria eksplorasi tersebut, ada baiknya bagi KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang termasuk dalam kategori dhuafa atau tidak punya uang, harus segera minggir dari kegiatan hulu migas karena dinilai tidak mampu menjalankan kewajiban yang sudah ditandatangani dalam kontrak kerja sama.
(gus) Next Article Luncurkan Satu Pintu, Urus Izin Investasi Migas Cuma 3 Hari
Kenyataannya, investasi migas justru loyo. Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan.
Nah, melihat harga minyak dunia yang tengah menanjak, loyonya investasi migas di RI jelas bukan karena kondisi eksternal. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai bahwa masih loyonya investasi migas di tahun 2018 tidak terlepas dari faktor regulasi.
"Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).
Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.
Lebih lanjut, Fabby juga menuturkan, adanya kekhawatiran akan kecenderungan nasionalisme oleh pemerintah. Menurut Fabby, investor sepertinya juga melihat Indonesia cukup berisiko dengan munculnya retorika "nasionalisme" yang sedikit banyaknya dipandang sebagai ancaman kestabilan usaha jangka panjang.
Ia menjelaskan, maksud dari retorika nasionalisme tersebut, sekarang ini ada kecenderungan segala sesuatunya harus dikerjakan oleh BUMN dan dilakukan oleh pemerintah. Gejala ini, tutur Fabby, dilihat oleh investor sebagai kecenderungan nasionalisme.
![]() |
Kontraktor Dhuafa
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi juga memaparkan hingga 30 September 2018 hanya terdapat 74 wilayah kerja (WK) migas yang sudah berproduksi, dari total 224 WK yang ada di Indonesia.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menuturkan, 74 WK yang sudah berproduksi tersebut mayoritas adalah WK yg sudah mature (berumur tua). Ini menyiratkan, lifting migas trennya memang sedang menurun sedangkan biaya produksi (cost recovery) trennya tidak menurun.
"Prioritas yang harus dilakukan Indonesia adalah eksplorasi. Sedangkan, eksplorasi membutuhkan capital tinggi, teknologi tinggi, dan kemampuan menghitung risiko," ujar Amien melalui keterangan resminya, Senin (15/10/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan kebutuhan kriteria eksplorasi tersebut, ada baiknya bagi KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang termasuk dalam kategori dhuafa atau tidak punya uang, harus segera minggir dari kegiatan hulu migas karena dinilai tidak mampu menjalankan kewajiban yang sudah ditandatangani dalam kontrak kerja sama.
(gus) Next Article Luncurkan Satu Pintu, Urus Izin Investasi Migas Cuma 3 Hari
Most Popular