
Investasi Migas Lesu di Era Jokowi, Ini Jawab SKK Migas
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
08 October 2018 19:20

Jakarta, CNBC Indonesia- Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Wisnu Prabawa Taher menyebutkan, capaian investasi hulu migas di RI sampai pada kuartal III-2018 diperhitungkan dengan pertimbangan realisasi kegiatan dan kondisi saat ini.
Kendati demikian, lanjutnya, data tersebut sifatnya dinamis, dan diharapkan pada kuartal IV 2018 semua rencana program bisa berjalan sesuai target dan nilai investasi bisa maksimal.
"Terkait capaian investasi tersebut, perhitungannya dgn pertimbangan kondisi dan realisasi kegiatan saat ini. Harapannya di kuartal IV nanti semua rencana program bisa sesuai target dan investasi nilainya bisa maksimal. Datanya dinamis dan terus kami monitor hingga akhir tahun," ujar Wisnu kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (8/10/2018).
Ia mengatakan, kedinamisan tersebut disebabkan masih adanya beberapa program eksplorasi dan pengembangan yang masih berjalan dan belum selesai. Sehingga, belum terekam realisasi biayanya.
"Ini akan dimonitor terus, supaya maksimal bisa terealisasi program-programnya," pungkas Wisnu.
Sebelumnya, hingga kuartal III-2018, realisasi investasi migas Indonesia masih lesu. Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), investasi migas baru capai 56% dari target.
Pemerintah menargetkan investasi migas tahun ini bisa mencapai US$ 14,2 miliar, sementara yang terealisasi baru kisaran US$ 8 miliar. Perkiraannya, target tidak bisa dipenuhi hingga akhir tahun ini. "Outlook akhir tahun US$ 11,2 miliar atau 79%," ujar Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam paparan yang disebarluaskan ke wartawan, Jumat (5/10/2018).
Lesunya investasi migas ini bisa berdampak pada produksi migas RI di masa depan. Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Moody's menilai Indonesia setidaknya butuh suntikan investasi sebesar Rp 2200 triliun jika ingin menyelamatkan industri migas yang produksinya kian merosot.
Moody's Investor Service menyebut nilai investasi ribuan triliun itu dibutuhkan sejak saat ini hingga 2025 mendatang untuk hulu migas yang produksinya terus turun, pembangunan infrastruktur gas, dan juga peningkatan kapasitas kilang untuk pemenuhan kebutuhan bbm dan petrolium.
"Kami juga yakin proporsi investasi Pertamina, selaku BUMN migas, akan naik dan juga produsen domestik lainnya di tengah moderatnya investor asing dan terus berkembangnya regulasi," kata Analis Moody's Rachel Chua melalui keterangan resminya, Senin (1/10/2018).
Asisten Wakil Presiden lembaga pemeringkat internasional tersebut juga mengatakan, sekitar 80% atau US$ 120 miliar dari investasi dihabiskan untuk eksplorasi dan produksi hulu, dan sisa US$ 30 miliar bisa dialokasikan untuk sektor hilir migas.
Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, hal ini tidak terlepas dari faktor regulasi. "Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).
Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.
Adapun, selain itu ada faktor kompetisi dengan negara lain yang bisa memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih baik.
"Investor-investor migas internasional memandang Indonesia kurang menarik, karena tingkat risiko tinggi tapi imbal hasil (return) yang tidak sebaik negara-negara lain. Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya," pungkas Fabby.
Salah satu kontraktor migas besar asal AS, Chevron juga pernah menyinggung soal iklim investasi migas RI. Dalam forum US-Indonesia Investment Summit 2018, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya menerapkan satu skema kontrak.
"Kami butuh beberapa jenis kontrak. Tidak hanya gross split PSC, tapi cost recovery," kata dia di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Chevron juga ingin agar pemerintah menghormati kesakralan kontrak atau sanctity contract yang telah disepakati bersama. Hal ini terkait dengan kewajiban para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menjual minyak bagiannya kepada PT Pertamina (Persero).
(gus) Next Article 15 Proyek Migas Jalan, SKK Migas Benamkan Investasi Rp 22,8 T
Kendati demikian, lanjutnya, data tersebut sifatnya dinamis, dan diharapkan pada kuartal IV 2018 semua rencana program bisa berjalan sesuai target dan nilai investasi bisa maksimal.
Ia mengatakan, kedinamisan tersebut disebabkan masih adanya beberapa program eksplorasi dan pengembangan yang masih berjalan dan belum selesai. Sehingga, belum terekam realisasi biayanya.
"Ini akan dimonitor terus, supaya maksimal bisa terealisasi program-programnya," pungkas Wisnu.
Sebelumnya, hingga kuartal III-2018, realisasi investasi migas Indonesia masih lesu. Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), investasi migas baru capai 56% dari target.
Pemerintah menargetkan investasi migas tahun ini bisa mencapai US$ 14,2 miliar, sementara yang terealisasi baru kisaran US$ 8 miliar. Perkiraannya, target tidak bisa dipenuhi hingga akhir tahun ini. "Outlook akhir tahun US$ 11,2 miliar atau 79%," ujar Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam paparan yang disebarluaskan ke wartawan, Jumat (5/10/2018).
Lesunya investasi migas ini bisa berdampak pada produksi migas RI di masa depan. Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Moody's menilai Indonesia setidaknya butuh suntikan investasi sebesar Rp 2200 triliun jika ingin menyelamatkan industri migas yang produksinya kian merosot.
Moody's Investor Service menyebut nilai investasi ribuan triliun itu dibutuhkan sejak saat ini hingga 2025 mendatang untuk hulu migas yang produksinya terus turun, pembangunan infrastruktur gas, dan juga peningkatan kapasitas kilang untuk pemenuhan kebutuhan bbm dan petrolium.
"Kami juga yakin proporsi investasi Pertamina, selaku BUMN migas, akan naik dan juga produsen domestik lainnya di tengah moderatnya investor asing dan terus berkembangnya regulasi," kata Analis Moody's Rachel Chua melalui keterangan resminya, Senin (1/10/2018).
Asisten Wakil Presiden lembaga pemeringkat internasional tersebut juga mengatakan, sekitar 80% atau US$ 120 miliar dari investasi dihabiskan untuk eksplorasi dan produksi hulu, dan sisa US$ 30 miliar bisa dialokasikan untuk sektor hilir migas.
Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, hal ini tidak terlepas dari faktor regulasi. "Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).
Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.
Adapun, selain itu ada faktor kompetisi dengan negara lain yang bisa memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih baik.
"Investor-investor migas internasional memandang Indonesia kurang menarik, karena tingkat risiko tinggi tapi imbal hasil (return) yang tidak sebaik negara-negara lain. Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya," pungkas Fabby.
Salah satu kontraktor migas besar asal AS, Chevron juga pernah menyinggung soal iklim investasi migas RI. Dalam forum US-Indonesia Investment Summit 2018, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya menerapkan satu skema kontrak.
"Kami butuh beberapa jenis kontrak. Tidak hanya gross split PSC, tapi cost recovery," kata dia di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Chevron juga ingin agar pemerintah menghormati kesakralan kontrak atau sanctity contract yang telah disepakati bersama. Hal ini terkait dengan kewajiban para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menjual minyak bagiannya kepada PT Pertamina (Persero).
(gus) Next Article 15 Proyek Migas Jalan, SKK Migas Benamkan Investasi Rp 22,8 T
Most Popular