
Gebrakan Tukar Dolar Rp 25 T dan Bisnis Raksasa Boy Thohir
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
04 October 2018 11:03

Jakarta, CNBC Indonesia- Garibaldi Thohir atau akrab disapa Boy Thohir, membuat gebrakan dengan menukar transaksi perusahaan yang selama ini menggunakan dolar AS ke rupiah.
Tak tanggung-tanggung, total transaksi yang dikonversi diperkirakan mencapai US$ 1,7 miliar atau setara dengan Rp 25 triliun. Transaksi ini didapat dari kerja sama dengan mitra lokal seperti Pertamina, Pama, dan lainnya.
Rincinya adalah sebagai berikut terdiri dari royalti pajak dalam rupiah, yang kurang lebih sekitar US$ 600 juta-US$ 700 juta. Lalu transaksi bahan bakar dengan PT Pertamina (Persero), sekitar US$ 400 juta-US$ 500 juta, dan sisanya merupakan transaksi dengan tiga kontraktor yakni PT Saptaindra Sejati, PT Pama Persada, dan PT Bukit Makmur Mandiri Utama senilai US$ 600 juta-US$ 700 juta.
"Penggunaan dolar kami kan pada dasarnya tidak terlalu banyak, karena kami kan berorientasi ekspor. Alat-alat kontraktor memang dirakit disini, tetapi komponennya kan impor," jelas Boy kepada media saat menyampaikan penjelasan aksi perusahaan melakukan konversi Dolar AS ke Rupiah, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Lantas, apa alasan Boy mengonversi transaksi dolarnya?
Dijumpai di Kementerian Keuangan, Boy bercerita rencana ini bermula dari beberapa pekan lalu saat direksi Adaro bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Soal bagaimana kami berperan aktif sama pemerintah, untuk hasil dana devisa ekspor, kami bisa pakai dan pergunakan di dalam negeri dalam bentuk rupiah," ujar Boy saat memberi keterangan di gedung Kementerian Keuangan, Rabu (3/10/2018).
Lalu, lanjut Boy, ia melihat transaksi Adaro dalam dolar selama ini memang cukup besar kepada mitra-mitra bisnisnya. "Maka kami berinisiatif, dengan Pertamina kami sudah rupiah, Pama juga, kami ajak dalam bentuk rupiah. Kalau bukan kita yang konsen siapa lagi," paparnya.
Lalu, bagaimana sebenarnya omzet bisnis Adaro?
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Adaro tercatat sebagai produsen batu bara kedua terbesar di negara ini. Hingga Agustus 2018, tercatat produksi batu bara perusahaan mencapai 28,9 juta ton dan ekspor 25,7 juta ton.
Sedangkan, dikutip dari laporan keuangannya PT Adaro Energy Tbk, di semester pertama tahun ini perusahaan membukukan laba US$ 195,38 juta. Turun 12,14% dari periode sebelumnya yang senilai US$ 222 juta.
Meski laba turun, pendapatan perusahaan sepanjang periode tersebut mengalami peningkatan tipis sebesar 3,93% menjadi US$ 1,61 miliar (Rp 23,18 triliun) dari US$ 1,54 miliar (Rp 22,30 triliun) pada periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan pendapatan ini utamanya ditunjang karena kenaikan harga jual rata-rata sebesar 9% akibat tingginiya harga Global Coal Newcastle.
Sementara itu, aset perusahaan secara total bernilai sebesar US$ 6,78 miliar, turun tipis dari US$ 6,81 miliar. Total aset ini terdiri US$ 1,68 miliar aset lancar dan US$ 5,09 miliar aset tak lancar.
Belum lagi jika ditambah dengan hasil kinerja yang akan diperoleh dari tambang Kestrel, yang diakuisisi perusahaan dari Rio Tinto. Boy menuturkan, perusahaan berencana untuk meningkatkan produksi tambang Kestrel kedepan. Hal ini merupakan rencana jangka menengah yang akan dilakukan Adaro pascaselesainya proses peralihan manajemen dari Rio Tinto ke Adaro.
Ia menyebut, aksi perusahaan tersebut seiring dengan menariknya pasar cooking coal atau tambang metalurgi di pasar Internasional.
"Pasar cooking coal sendiri saat ini banyak peminat di negara yang memang menjadi produsen baja. Ada Jepang, China dan Korea Selatan. Saat ini demandnya sangat strong. Cooking coal merupakan komponen utama pembuatan baja," terang Boy.
Ia juga menuturkan, menariknya pasar cooking coal ini juga didukung dengan pemasok yang juga masih belum banyak. Sehingga, hal ini bisa menjadi peluang yang menjanjikan bagi perusahaan untuk bisa menjadi leader pasar.
"Ya kami melihat peluang ini, sehingga kami memang ada rencana untuk meningkatkan produksi, kenapa enggak," pungkas Boy.
(gus) Next Article Adaro Tuntaskan Akuisisi Tambang Rio Tinto 2 Bulan Lagi
Tak tanggung-tanggung, total transaksi yang dikonversi diperkirakan mencapai US$ 1,7 miliar atau setara dengan Rp 25 triliun. Transaksi ini didapat dari kerja sama dengan mitra lokal seperti Pertamina, Pama, dan lainnya.
"Penggunaan dolar kami kan pada dasarnya tidak terlalu banyak, karena kami kan berorientasi ekspor. Alat-alat kontraktor memang dirakit disini, tetapi komponennya kan impor," jelas Boy kepada media saat menyampaikan penjelasan aksi perusahaan melakukan konversi Dolar AS ke Rupiah, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Lantas, apa alasan Boy mengonversi transaksi dolarnya?
Dijumpai di Kementerian Keuangan, Boy bercerita rencana ini bermula dari beberapa pekan lalu saat direksi Adaro bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Soal bagaimana kami berperan aktif sama pemerintah, untuk hasil dana devisa ekspor, kami bisa pakai dan pergunakan di dalam negeri dalam bentuk rupiah," ujar Boy saat memberi keterangan di gedung Kementerian Keuangan, Rabu (3/10/2018).
Lalu, lanjut Boy, ia melihat transaksi Adaro dalam dolar selama ini memang cukup besar kepada mitra-mitra bisnisnya. "Maka kami berinisiatif, dengan Pertamina kami sudah rupiah, Pama juga, kami ajak dalam bentuk rupiah. Kalau bukan kita yang konsen siapa lagi," paparnya.
Lalu, bagaimana sebenarnya omzet bisnis Adaro?
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Adaro tercatat sebagai produsen batu bara kedua terbesar di negara ini. Hingga Agustus 2018, tercatat produksi batu bara perusahaan mencapai 28,9 juta ton dan ekspor 25,7 juta ton.
Sedangkan, dikutip dari laporan keuangannya PT Adaro Energy Tbk, di semester pertama tahun ini perusahaan membukukan laba US$ 195,38 juta. Turun 12,14% dari periode sebelumnya yang senilai US$ 222 juta.
Meski laba turun, pendapatan perusahaan sepanjang periode tersebut mengalami peningkatan tipis sebesar 3,93% menjadi US$ 1,61 miliar (Rp 23,18 triliun) dari US$ 1,54 miliar (Rp 22,30 triliun) pada periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan pendapatan ini utamanya ditunjang karena kenaikan harga jual rata-rata sebesar 9% akibat tingginiya harga Global Coal Newcastle.
Sementara itu, aset perusahaan secara total bernilai sebesar US$ 6,78 miliar, turun tipis dari US$ 6,81 miliar. Total aset ini terdiri US$ 1,68 miliar aset lancar dan US$ 5,09 miliar aset tak lancar.
Belum lagi jika ditambah dengan hasil kinerja yang akan diperoleh dari tambang Kestrel, yang diakuisisi perusahaan dari Rio Tinto. Boy menuturkan, perusahaan berencana untuk meningkatkan produksi tambang Kestrel kedepan. Hal ini merupakan rencana jangka menengah yang akan dilakukan Adaro pascaselesainya proses peralihan manajemen dari Rio Tinto ke Adaro.
Ia menyebut, aksi perusahaan tersebut seiring dengan menariknya pasar cooking coal atau tambang metalurgi di pasar Internasional.
"Pasar cooking coal sendiri saat ini banyak peminat di negara yang memang menjadi produsen baja. Ada Jepang, China dan Korea Selatan. Saat ini demandnya sangat strong. Cooking coal merupakan komponen utama pembuatan baja," terang Boy.
Ia juga menuturkan, menariknya pasar cooking coal ini juga didukung dengan pemasok yang juga masih belum banyak. Sehingga, hal ini bisa menjadi peluang yang menjanjikan bagi perusahaan untuk bisa menjadi leader pasar.
"Ya kami melihat peluang ini, sehingga kami memang ada rencana untuk meningkatkan produksi, kenapa enggak," pungkas Boy.
(gus) Next Article Adaro Tuntaskan Akuisisi Tambang Rio Tinto 2 Bulan Lagi
Most Popular