Harga BBM Biang Kerok Merosotnya Rupiah ke Rp 15.000 per US$

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
02 October 2018 16:29
Analis sebut harga BBM biang kerok dibalik merosotnya rupiah ke Rp 15 ribu per US$
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia- Keputusan pemerintah bersikukuh untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga 2019 disebut-sebut menjadi biang kerok yang membuat rupiah tertekan.

Kepala Ekonom  Bank Central Asia David Sumual mengemukakan tingginya impor minyak dan gas - yang secara langsung menguras devisa - menjadi salah satu alasan nilai tukar rupiah mengalami tekanan hingga menembus level psikologis baru Rp 15.000/US$.



"Itu salah satunya [impor bensin]. Kenapa demikian? Karena setiap hari untuk minyak saja US$ 200 juta dolar," kata David saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (2/10/2018).

"Sekarang konsumsi kita per hari itu 1,4 juta barel. Kita hanya produksi 700 ribu barel. Jadi mau tidak mau impor sangat tinggi," jelasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor hasil minyak selama Agustus 2018 mencapai US$ 2,54 miliar, di mana impor bahan bakar motor tercatat menjadi yang paling tinggi sebesar US$ 1,69 miliar. 

Rinciannya, bahan bakar jenis RON 90 dan di atasnya US$ 437.183, bahan bakar RON lainnya yang dicampur US$ 402.503. dan lainnya US$ 856.387. 

Menurut David, ketika penyesuaian harga bensin dilakukan tiap 3 bulan dengan mempertimbangkan kurs dan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah relatif lebih stabil karena devisa terpenuhi.

"Kondisi sekarang itu lebih sulit. Waktu zaman Pak SBY, mereka menaikkan harga BBM karena sudah tidak ada kepentingan lagi," tegasnya.

Harga BBM Biang Kerok Merosotnya Rupiah ke Rp 15.000 per US$Foto: Tim Riset CNBC Indonesia


Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pernah menyebut bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi solusi jitu untuk mengatasi persoalan defisit perdagangan migas yang menjadi salah satu biang kerok defisit neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir.

Apalagi, defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan. Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan. 



Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan. 

Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
(gus) Next Article Pertamina Tergerus Rp 26 T, Kebijakan Harga BBM Perlu Diubah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular