
Hoax, Jadi Tantangan Terbesar Para Pengambil Kebijakan
Ratu Rina, CNBC Indonesia
25 September 2018 10:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengakui telah terjadi perbedaan situasi saat ini dengan situasi 1997-1998. Perbedaan yang sangat mencolok tersebut berasal dari sisi perkembangan teknologi informasi.
Halim mengatakan sebelumnya Indonesia hidup dalam sistem yang terdesetralisasi. Arus dan dan informasi terstruktur dimana data dikeluarkan oleh lembaga-lembag resmi dan lebih banyak searah serta pemahaman masyarakat atas cara kerja berbagai lembaga ekonomi dan sosial tersebut belum tinggi.
Akibatnya, peran otoritas cenderung lebih dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku pelaku ekonomi.
Sepanjang kebijakan yang ditempuh rasional dan sesuai text book, dan indikator-indikator ekonomi yang muncul kemudian memberikan dampak seperti yang diharapkan, dapat dikatakan penyesuaian ekonomi berjalan baik dan fundamental ekonomi cukup kuat dan baik.
"Dewasa ini, kita berhadapan dengan situasi yang amat bertolak belakang, kita semakin hidup dalam alam yang semakin terdesentralisasi, informasi tidak lagi ekslusif dimiliki otoritas atau lembaga resmi tetapi data dan informasi dibuat, diolah dan disebarkan masyarakat luas melalui alat-alat komunikasi mobile. Contoh WA group," ujar Halim.
"Cara bekerja lembaga-lembaga pemerintahan dan sosial ekonomi juga menjadi lebih transparan dan makin dipahami oleh masyarakat atau transparan."
Dalam dari banjirnya data dan informasi ke masyarakat juga diikuti dengan menjamurnya informasi hoax. Informasi ini tidak membutuhkan realitas tetapi dapat dianggap menjadi suatu kebenaran. Inilah yang dinamakan zaman post truth.
Halim menambahkan ada penelitian terbaru di Amerika Serikat yang mencoba meneliti apa faktor faktor apa saja yang menyebabkan manusia sering kali menerima hal hal yang tidak benar.
Berdasarkan penelitian tersebut, ternyata perilaku seperti itu tidak terkait dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas seseorang.
"Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa hal tersebut dapat terjadi karena berita itu jika terus diulang ulang (tanpa ada bantahan yg kuat) maka probabilitas berita dianggap menjadi hal yang benar akan menjadi semakin besar," kata Halim.
Kemungkinan itu makin tinggi jika kita berada dalam suatu group komunitas yang sama," lanjutnya.
Lalu apa implikasinya bagi pembuat kebijakan, para analis dan pakar ekonomi?
"Hidup kita menjadi tidak mudah...dewasa ini reaksi pelaku ekonomi menjadi sulit diprediksi karena asumsi ceteris paribus (jika faktor lain tidak berubah) itu dengan mudah bisa berubah akibat masuk nya data dan informasi baru yang dapat mengubah selera, preferensi (bagi sisi permintaan) dan persepsi dan confidence (bagi sisi investor khususnya)."
Halim menjelaskan bagi pembuat kebijakan ini berarti unit yang menangani komunikasi publik perlu mendalami fenomena ini lebih teliti lagi. Diskusi dengan para opinion maker (pembuat opini) dan pelaku pasar saja tampaknya belum cukup.
"Upaya mempengaruhi persepsi publik dan pelaku ekonomi menjadi harus lebih intense, direct, dan terukur karena dewasa ini unit kehumasan tidak lagi sekedar menjelaskan tetapi juga harus mampu memerangi hoax dan memenangkan perang tersebut dengan efektif jika kebijakan ekonomi kita ingin kredibel."
(roy/miq) Next Article Wah, Bos LPS Sebut Bunga Penjaminan Bisa Turun Lagi 50 Bps!
Halim mengatakan sebelumnya Indonesia hidup dalam sistem yang terdesetralisasi. Arus dan dan informasi terstruktur dimana data dikeluarkan oleh lembaga-lembag resmi dan lebih banyak searah serta pemahaman masyarakat atas cara kerja berbagai lembaga ekonomi dan sosial tersebut belum tinggi.
Akibatnya, peran otoritas cenderung lebih dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku pelaku ekonomi.
"Dewasa ini, kita berhadapan dengan situasi yang amat bertolak belakang, kita semakin hidup dalam alam yang semakin terdesentralisasi, informasi tidak lagi ekslusif dimiliki otoritas atau lembaga resmi tetapi data dan informasi dibuat, diolah dan disebarkan masyarakat luas melalui alat-alat komunikasi mobile. Contoh WA group," ujar Halim.
Dalam dari banjirnya data dan informasi ke masyarakat juga diikuti dengan menjamurnya informasi hoax. Informasi ini tidak membutuhkan realitas tetapi dapat dianggap menjadi suatu kebenaran. Inilah yang dinamakan zaman post truth.
Halim menambahkan ada penelitian terbaru di Amerika Serikat yang mencoba meneliti apa faktor faktor apa saja yang menyebabkan manusia sering kali menerima hal hal yang tidak benar.
Berdasarkan penelitian tersebut, ternyata perilaku seperti itu tidak terkait dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas seseorang.
"Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa hal tersebut dapat terjadi karena berita itu jika terus diulang ulang (tanpa ada bantahan yg kuat) maka probabilitas berita dianggap menjadi hal yang benar akan menjadi semakin besar," kata Halim.
Kemungkinan itu makin tinggi jika kita berada dalam suatu group komunitas yang sama," lanjutnya.
Lalu apa implikasinya bagi pembuat kebijakan, para analis dan pakar ekonomi?
"Hidup kita menjadi tidak mudah...dewasa ini reaksi pelaku ekonomi menjadi sulit diprediksi karena asumsi ceteris paribus (jika faktor lain tidak berubah) itu dengan mudah bisa berubah akibat masuk nya data dan informasi baru yang dapat mengubah selera, preferensi (bagi sisi permintaan) dan persepsi dan confidence (bagi sisi investor khususnya)."
Halim menjelaskan bagi pembuat kebijakan ini berarti unit yang menangani komunikasi publik perlu mendalami fenomena ini lebih teliti lagi. Diskusi dengan para opinion maker (pembuat opini) dan pelaku pasar saja tampaknya belum cukup.
"Upaya mempengaruhi persepsi publik dan pelaku ekonomi menjadi harus lebih intense, direct, dan terukur karena dewasa ini unit kehumasan tidak lagi sekedar menjelaskan tetapi juga harus mampu memerangi hoax dan memenangkan perang tersebut dengan efektif jika kebijakan ekonomi kita ingin kredibel."
(roy/miq) Next Article Wah, Bos LPS Sebut Bunga Penjaminan Bisa Turun Lagi 50 Bps!
Most Popular