
Internasional
Perang Dagang Redup, Berlanjut ke Perang Dingin Jilid II?
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
21 September 2018 16:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa bulan terakhir Amerika Serikat dan China terlibat perang dagang. Kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini saling balas bea masuk.
Pasar saham di kedua negara telah naik minggu ini, meskipun adanya pengumuman bea masuk baru.
"Ini tidak separah yang diharapkan pedagang, dan masih ada harapan rekonsiliasi," kata analis. Tetapi kenyataan dapat membuktikan hal yang sebaliknya. Kedua negara berasal dari budaya yang sangat berbeda, dimana mereka berdua berfokus pada perekonomian masing-masing.
"Sekarang kita perlu memikirkan apakah perang dagang ini akan berubah menjadi perang dingin ekonomi. Kami berharap tidak," kata Jing Ulrich, managing director dan wakil ketua Asia Pasifik di J.P. Morgan Chase, seperti dilansir dari CNBC Internasional, Kamis (21/9/2018)
[Gambas:Video CNBC]
"Masih ada kemungkinan kedua belah pihak berunding," katanya, Kamis, saat diskusi panel pada konferensi World Economic Forum (WEF) di Tianjin.
(roy) Next Article Deteksi Corona, Jokowi: Jangan Sampai Indonesia Diragukan
Pasar saham di kedua negara telah naik minggu ini, meskipun adanya pengumuman bea masuk baru.
"Ini tidak separah yang diharapkan pedagang, dan masih ada harapan rekonsiliasi," kata analis. Tetapi kenyataan dapat membuktikan hal yang sebaliknya. Kedua negara berasal dari budaya yang sangat berbeda, dimana mereka berdua berfokus pada perekonomian masing-masing.
[Gambas:Video CNBC]
"Masih ada kemungkinan kedua belah pihak berunding," katanya, Kamis, saat diskusi panel pada konferensi World Economic Forum (WEF) di Tianjin.
"Masih ada peluang semacam rekonsiliasi dapat tercapai dan kita semua tahu jika perang dagang berlangsung, dua-duanya sama-sama kalah. Tidak ada di dunia yang akan mendapat manfaat."
"China tidak akan mengubah kebijakan domestiknya walaupun adanya tekanan eksternal," katanya.
"Masalahnya ada bidang teknologi [di mana keduanya] China dan AS ingin memimpin. China, tentu saja sudah menjadi pelopor di banyak bidang," kata Ulrich.
China ungguli AS
China sedang menjalankan program transisi dari negara mengandalkan manufaktur menjadi negara yang mengandalkan konsumsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiongkok juga telah meluncurkan program "Made in China 2025" untuk mendorong inovasi teknologi domestik.
"Saya melihat China lima tahun lebih awal dari AS ketika sampai pada tingkat di mana digitalisasi telah terintegrasi ke dalam ekonominya," ujar Arun Sundararajan, profesor di Sekolah Bisnis Stern New York dalam diskusi panel yang sama, Kamis.
Namun, Arun menambahkan pada penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan, AS masih lebih maju dari China. Dia juga mencatat bahwa Jepang melampaui kedua negara dalam industri robotik.
Pemerintahan Trump memang mengeluhkan inisiatif "Made in China 2025" karena banyak raksasa digital China dituduh mencuri hak kekayaan intelektual dan teknologi canggih AS. Trump mengkategorikan ini sebagai tindakan ancaman terhadap keamanan AS.
Trump baru saja mengumumkan tarif baru pada US$200 miliar produk China yang berlaku 24 September 2018. Awalnya besaran tarif 10% dan akan meningkat menjadi 25% pada akhir tahun. China berencana membalas dengan menerapkan bea masuk 5% hingga 10% pada US$60 miliar produk AS.
Pada Rabu, analis J.P. Morgan dalam laporannya memprediksi bea masuk akan menurunkan ekonomi China sebesar 0,6%. Perlambatan seperti itu akan menambah tekanan pada perekonomian China.
"Itu tidak akan mudah," kata Ulrich. "perjalanannya akan bergejolak."
"China tidak akan mengubah kebijakan domestiknya walaupun adanya tekanan eksternal," katanya.
"Masalahnya ada bidang teknologi [di mana keduanya] China dan AS ingin memimpin. China, tentu saja sudah menjadi pelopor di banyak bidang," kata Ulrich.
China ungguli AS
China sedang menjalankan program transisi dari negara mengandalkan manufaktur menjadi negara yang mengandalkan konsumsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiongkok juga telah meluncurkan program "Made in China 2025" untuk mendorong inovasi teknologi domestik.
"Saya melihat China lima tahun lebih awal dari AS ketika sampai pada tingkat di mana digitalisasi telah terintegrasi ke dalam ekonominya," ujar Arun Sundararajan, profesor di Sekolah Bisnis Stern New York dalam diskusi panel yang sama, Kamis.
Pemerintahan Trump memang mengeluhkan inisiatif "Made in China 2025" karena banyak raksasa digital China dituduh mencuri hak kekayaan intelektual dan teknologi canggih AS. Trump mengkategorikan ini sebagai tindakan ancaman terhadap keamanan AS.
Trump baru saja mengumumkan tarif baru pada US$200 miliar produk China yang berlaku 24 September 2018. Awalnya besaran tarif 10% dan akan meningkat menjadi 25% pada akhir tahun. China berencana membalas dengan menerapkan bea masuk 5% hingga 10% pada US$60 miliar produk AS.
Pada Rabu, analis J.P. Morgan dalam laporannya memprediksi bea masuk akan menurunkan ekonomi China sebesar 0,6%. Perlambatan seperti itu akan menambah tekanan pada perekonomian China.
"Itu tidak akan mudah," kata Ulrich. "perjalanannya akan bergejolak."
![]() |
(roy) Next Article Deteksi Corona, Jokowi: Jangan Sampai Indonesia Diragukan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular