
Jelang Pertukaran Data, DJP Masih Punya Banyak Masalah
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
30 August 2018 15:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Mulai September 2018, era keterbukaan informasiĀ perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) secara resmi akan diberlakukan.
Melalui program ini, maka otoritas pajak bisa bertukar data keuangan secara otomatis dengan sejumlah pemangku terkait, untuk kepentingan perpajakan.
Implementasi AEoI, diklaim bisa menutup peluang para wajib pajak - khususnya wajib pajak kelas kakap - yang menyembunyikan harta/penghasilan di luar negeri maupun dalam negeri.
Meski demikian, masih ada dua masalah utama yang dihadapiĀ Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dalam mengimplementasikan program tersebut.
Berikut dua masalah yang dialami otoritas pajak, sebelum implementasi AEoI benar-benar berjalan pada 1 September 2018 :
1. Teknologi Sudah Siap, Tapi Butuh Waktu Transisi
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengklaim, kesiapan infrastruktur teknologi Ditjen Pajak dalam menyimpan data-data nasabah dari para lembaga jasa keuangan (LJK) sudah cukup mumpuni.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi pun mengamini pernyataan tersebut, bahwa Ditjen Pajak sudah lebih dari kata siap mengimplementasikan AEoI.
"Dari infrastruktur dan security, tadinya kami belum pakai join domain, sekarang sudah pakai. Semua connected ada 40.000 PC. Lalu kami pakai desktop manajemen, semua bisa dikontrol dari pusat," kata Iwan, Kamis (30/8/2018).
"Log-in, juga kami evaluasi, jangan sampai ada penyalahgunaan. Dari sisi intilijen dan analitik, kami juga sudah punya teknologi big data, jadi bisa mengolah," jelasnya.
Meski demikian, nyatanya infrastruktur teknologi di internal otoritas pajak belum bisa digunakan begitu saja. Pasalnya, data-data para nasabah yang masuk ke data base Ditjen Pajak harus diolah terlebih dahulu
"Belum bisa dipakai petugas pajak, karena datanya ada yang sudah NPWP, ada yang belum. Jadi masih harus kami olah dulu. Dua bulan setelahnya lah," ungkapnya.
2. Masih Ada Instansi yang Belum Buka Data
Ribuan lembaga keuangan memang diwajibkan untuk mendaftarkan diri dalam rangka persiapan implementasi AEoI. Setelah mendaftar, ribuan instansi tersebut harus melaporkan data-data para nasabahnya kepada DJP.
Total lembaga keuangan yang sudah mendaftar ke Ditjen Pajak sebanyak 5.000 instansi. Namun, otoritas pajak mencatat, lembaga keuangan yang sudah melaporkan data nasabahnya baru berkisar 4.000 instansi.
"Karena ada yang tidak ada kewajiban lapor. Kalau tidak ada kewajiban lapor, tapi mereka wajib daftar. Tapi sebagian besar yang wajib lapor sudah ada," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama.
Menurut Hestu, ada beberapa masalah yang dialami lembaga jasa keuangan, sehingga sampai saat ini belum bisa melaporkan data nasabahnhya. Salah satunya, adalah sistem yang belum seutuhnya memadai.
"Salah satunya iut, karena sejak tahun lalu kami sudah meminta mereka mengidentifikasi data nasabah, memasukan aplikasi yang sudah disediakan untuk pelaporan itu," katanya.
Lantas, apakah otoritas pajak bakal mengenakan sanksi terhadap lembaga jasa keuangan yang belum melapor?
Hestu menegaskan, otoritas pajak akan melakukan pendekatan awal, untuk mengetahui masalah utama yang membuat lembaga jasa keuangan tersebut belum menyampaikan data-data nasabahnya.
JIka memang karena persoalan sistem, maka Ditjen Pajak akan melakukan pendampingan. Akan tetapi, apabila ada unsur kesengajaaan, maka lembaga jasa keuangan yang dimaksud akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
"Tapi kami belum melihat ada indikasi ke sana [unsur kesengajaan]," tegas Hestu.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70 dan 73, disebutkan bahwa sanksi yang bakal dikenakan bagi LJK pelapor maupun non pelapor yang tidak melaporkan saldo rekening nasabah akan terkena pidana 1 tahun dan denda Rp 1 miliar.
(dru) Next Article Hari Pajak yang (Selalu) Suram Bagi Indonesia
Melalui program ini, maka otoritas pajak bisa bertukar data keuangan secara otomatis dengan sejumlah pemangku terkait, untuk kepentingan perpajakan.
Implementasi AEoI, diklaim bisa menutup peluang para wajib pajak - khususnya wajib pajak kelas kakap - yang menyembunyikan harta/penghasilan di luar negeri maupun dalam negeri.
Berikut dua masalah yang dialami otoritas pajak, sebelum implementasi AEoI benar-benar berjalan pada 1 September 2018 :
1. Teknologi Sudah Siap, Tapi Butuh Waktu Transisi
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengklaim, kesiapan infrastruktur teknologi Ditjen Pajak dalam menyimpan data-data nasabah dari para lembaga jasa keuangan (LJK) sudah cukup mumpuni.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi pun mengamini pernyataan tersebut, bahwa Ditjen Pajak sudah lebih dari kata siap mengimplementasikan AEoI.
"Dari infrastruktur dan security, tadinya kami belum pakai join domain, sekarang sudah pakai. Semua connected ada 40.000 PC. Lalu kami pakai desktop manajemen, semua bisa dikontrol dari pusat," kata Iwan, Kamis (30/8/2018).
"Log-in, juga kami evaluasi, jangan sampai ada penyalahgunaan. Dari sisi intilijen dan analitik, kami juga sudah punya teknologi big data, jadi bisa mengolah," jelasnya.
Meski demikian, nyatanya infrastruktur teknologi di internal otoritas pajak belum bisa digunakan begitu saja. Pasalnya, data-data para nasabah yang masuk ke data base Ditjen Pajak harus diolah terlebih dahulu
"Belum bisa dipakai petugas pajak, karena datanya ada yang sudah NPWP, ada yang belum. Jadi masih harus kami olah dulu. Dua bulan setelahnya lah," ungkapnya.
2. Masih Ada Instansi yang Belum Buka Data
Ribuan lembaga keuangan memang diwajibkan untuk mendaftarkan diri dalam rangka persiapan implementasi AEoI. Setelah mendaftar, ribuan instansi tersebut harus melaporkan data-data para nasabahnya kepada DJP.
Total lembaga keuangan yang sudah mendaftar ke Ditjen Pajak sebanyak 5.000 instansi. Namun, otoritas pajak mencatat, lembaga keuangan yang sudah melaporkan data nasabahnya baru berkisar 4.000 instansi.
"Karena ada yang tidak ada kewajiban lapor. Kalau tidak ada kewajiban lapor, tapi mereka wajib daftar. Tapi sebagian besar yang wajib lapor sudah ada," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama.
Menurut Hestu, ada beberapa masalah yang dialami lembaga jasa keuangan, sehingga sampai saat ini belum bisa melaporkan data nasabahnhya. Salah satunya, adalah sistem yang belum seutuhnya memadai.
"Salah satunya iut, karena sejak tahun lalu kami sudah meminta mereka mengidentifikasi data nasabah, memasukan aplikasi yang sudah disediakan untuk pelaporan itu," katanya.
Lantas, apakah otoritas pajak bakal mengenakan sanksi terhadap lembaga jasa keuangan yang belum melapor?
Hestu menegaskan, otoritas pajak akan melakukan pendekatan awal, untuk mengetahui masalah utama yang membuat lembaga jasa keuangan tersebut belum menyampaikan data-data nasabahnya.
JIka memang karena persoalan sistem, maka Ditjen Pajak akan melakukan pendampingan. Akan tetapi, apabila ada unsur kesengajaaan, maka lembaga jasa keuangan yang dimaksud akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
"Tapi kami belum melihat ada indikasi ke sana [unsur kesengajaan]," tegas Hestu.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70 dan 73, disebutkan bahwa sanksi yang bakal dikenakan bagi LJK pelapor maupun non pelapor yang tidak melaporkan saldo rekening nasabah akan terkena pidana 1 tahun dan denda Rp 1 miliar.
(dru) Next Article Hari Pajak yang (Selalu) Suram Bagi Indonesia
Most Popular