
'Pemerintah Akui Kesalahan Masa Lalu dalam RAPBN 2019'
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
21 August 2018 17:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengacu pada RAPBN 2019, Ekonom Faisal Basri menilai pemerintah melakukan berbagai perubahan dalam mengatur keuangan negara. Dia mencontohkan bagaimana anggaran infrastruktur peningkatannya tidak setinggi tahun 2018.
"Itu menunjukkan pemerintah mengakui kesalahan masa lalunya. Contohnya juga, defisit APBN [2019] turun, artinya utang turun. Pemerintah sudah mengaku salah," jelas Faisal, Selasa (21/8/2018).
"Selama ini, sebagian besar utang dipakai meningkatkan belanja barang dan pakai bayar bunga [utang]. Sekarang ke sumber daya manusia. Itu karena kita semua [masyarakat] teriak, sudah berubah, utang kecepatannya juga turun," tambahnya.
Melihat rencana tambahan utang pemerintah tahun depan, yang dia sebut turun 7% bila dibanding outlook tahun ini, Faisal meyakini pemerintah sadar utang telah menjadi sebuah masalah di Indonesia.
"Tapi kan tidak diakui [secara langsung], tidak apa-apa. Yang penting dilaksanakan," ujar Faisal.
Berbicara mengenai utang, Faisal juga mengkritisi bagaimana pemerintah kerap menggunakan rasio utang sebagai tameng dalam menghadapi isu tingginya utang. Sebab, rasio utang tidak bisa menentukan apakah ekonomi suatu negara dalam kondisi baik atau tidak.
Dia memberi contoh Jepang, yang rasio utangnya jauh di atas Indoneisa. Rasio utang Jepang terhadap PDB yang berkisar 250%, jauh sekali dibanding Indonesia yang berada di kisaran 29%.
"Namun, Jepang itu kreditur juga. Dia punya piutang terhadap AS sebesar US$ 1 triliun. Jadi jangan hanya lihat rasio utang," sebutnya.
Dia menambahkan, kondisi Jepang pun jauh lebih aman dengan posisi 90% utang adalah kepada masyarakatnya sendiri. Sehingga, pembayaran bunga utang mengalir ke dalam negeri. "Kalau kita, 40% mengalir ke luar negeri," imbuhnya.
Lalu Faisal memberi contoh Turki, yang dengan kondisi rasio utang di bawah Indonesia bisa mengalami krisis. Maka dari itu, ada berbagai faktor yang harus diperhatikan pemerintah.
Mengatasi hal itu, dia menyebut pemerintah harus memperkuat financial deepening atau pendalaman pasar keuangan dengan diversifikasl instrumen sumber pembiayaan dan perluasan basis investor. Salah satunya dengan membuat instrumen surat utang lebih fleksibel bagi masyarakat luas.
"Kalau pemerintah keluarkan surat utang, seharusnya sebagian besar rakyat yang serap. Saya 1 sen pun tidak punya surat utang pemerintah, kenapa? Karena tidak fleksibel, beli sukuk ritel bunganya 8%. Tapi kan uang kita terbatas, saat butuh uang harus dijual rugi," tandas Faisal.
Dengan lebih tingginya porsi asing dalam pembelian surat utang negara, dia juga menyebut akan lebih mengkhawatirkan ketika kondisi perekonomian tengah bergejolak dan memutuskan untuk keluar dari pasar keuangan dalam negeri.
(dru) Next Article Ragam Gaya Sri Mulyani Cs Saat Rilis APBN KiTa Januari 2019
"Itu menunjukkan pemerintah mengakui kesalahan masa lalunya. Contohnya juga, defisit APBN [2019] turun, artinya utang turun. Pemerintah sudah mengaku salah," jelas Faisal, Selasa (21/8/2018).
"Selama ini, sebagian besar utang dipakai meningkatkan belanja barang dan pakai bayar bunga [utang]. Sekarang ke sumber daya manusia. Itu karena kita semua [masyarakat] teriak, sudah berubah, utang kecepatannya juga turun," tambahnya.
"Tapi kan tidak diakui [secara langsung], tidak apa-apa. Yang penting dilaksanakan," ujar Faisal.
Berbicara mengenai utang, Faisal juga mengkritisi bagaimana pemerintah kerap menggunakan rasio utang sebagai tameng dalam menghadapi isu tingginya utang. Sebab, rasio utang tidak bisa menentukan apakah ekonomi suatu negara dalam kondisi baik atau tidak.
"Namun, Jepang itu kreditur juga. Dia punya piutang terhadap AS sebesar US$ 1 triliun. Jadi jangan hanya lihat rasio utang," sebutnya.
Dia menambahkan, kondisi Jepang pun jauh lebih aman dengan posisi 90% utang adalah kepada masyarakatnya sendiri. Sehingga, pembayaran bunga utang mengalir ke dalam negeri. "Kalau kita, 40% mengalir ke luar negeri," imbuhnya.
Lalu Faisal memberi contoh Turki, yang dengan kondisi rasio utang di bawah Indonesia bisa mengalami krisis. Maka dari itu, ada berbagai faktor yang harus diperhatikan pemerintah.
Mengatasi hal itu, dia menyebut pemerintah harus memperkuat financial deepening atau pendalaman pasar keuangan dengan diversifikasl instrumen sumber pembiayaan dan perluasan basis investor. Salah satunya dengan membuat instrumen surat utang lebih fleksibel bagi masyarakat luas.
"Kalau pemerintah keluarkan surat utang, seharusnya sebagian besar rakyat yang serap. Saya 1 sen pun tidak punya surat utang pemerintah, kenapa? Karena tidak fleksibel, beli sukuk ritel bunganya 8%. Tapi kan uang kita terbatas, saat butuh uang harus dijual rugi," tandas Faisal.
Dengan lebih tingginya porsi asing dalam pembelian surat utang negara, dia juga menyebut akan lebih mengkhawatirkan ketika kondisi perekonomian tengah bergejolak dan memutuskan untuk keluar dari pasar keuangan dalam negeri.
(dru) Next Article Ragam Gaya Sri Mulyani Cs Saat Rilis APBN KiTa Januari 2019
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular