Tahan Impor Barang Modal Migas Bisa Jadi Bumerang Bagi RI

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
16 August 2018 15:09
Jika berlangsung terlalu lama, kebijakan menahan impor barang modal migas justru akan menambah beban pemerintah di impor minyak mentah.
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, CNBC IndonesiaUntuk selamatkan rupiah dan devisa negara, Presiden Joko Widodo menginstruksikan sejumlah langkah ke sektor energi. Salah satunya adalah penahanan impor barang-barang modal untuk proyek kelistrikan dan migas.

Permintaan ini disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, kemarin.  "Peningkatan TKDN terutama untuk BUMN besar yang menggunakan komponen impor ini agar diperhatikan, dan pengendalian impor saya kira harus betul-betul kita cermati sehingga impor barang yang sangat penting dan tidak penting," kata Jokowi.



Kebetulan BUMN besar yang diundang rapat kemarin adalah PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).

Terhadap kebijakan ini, Direktur Riset Wood Mackenzie Andrew Harwood pun memberikan pandangannya. Ia menilai dari sisi bisnis hulu migas, menghentikan impor barang investasi di proyek-proyek migas Pertamina justru bisa berdampak negatif terhadap produksi minyak perusahaan.

"Melarang impor peralatan yang dibutuhkan untuk lapangan minyak justru bisa memicu penurunan pasokan minyak nasional, dan dampaknya justru akan meningkatkan impor minyak mentah, apalagi saat harga (minyak mentah) masih akan melambung dalam jangka menengah ," kata Andrew kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/8/2018).

Pernyataan Wood Mackenzie ada benarnya, mengingat konsumsi minyak domestik akan terus tumbuh dalam jumlah signifikan. Menurut dokumen Indonesia Energy Outlook 2016 yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN), permintaan minyak untuk sektor transportasi akan meningkat 5% per tahun, atau dari 46 juta Ton Oil Equivalent/TOE pada tahun 2015 menjadi 228 juta TOE pada tahun 2050, berdasarkan skenario Business as Usual (BAU).

Sementara itu, menggunakan skenario dan periode yang sama, kebutuhan minyak untuk sektor industri dan non-energi meningkat 2%/tahun atau dari 11 menjadi 19 juta TOE, sektor ketenagalistrikan turun 14%/tahun dari 1,6 menjadi 0,01 juta TOE, sektor komersial tumbuh 5%/tahun atau dari 0,5 juta TOE menjadi 4 juta TOE, dan sektor lainnya tumbuh 0,2%/tahun dari 2 menjadi 3 juta TOE.

Sebagai informasi, skenario BAU menggunakan asumsi dasar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) moderat 5,6% per tahun, tanpa penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Sebenarnya, ada dua skenario lainnya yang digunakan DEN, yakni Alternatif I dan Alternatif II (ALT I dan ALT II). Skenario ALT 1 menggunakan asumsi dasar pertumbuhan PDB moderat 5,6%, dengan penerapan teknologi Energi Baru Terbarukan (EBT), dan skenario ALT 2 memakai asumsi dasar pertumbuhan PDB tinggi 7,1% dan penerapan EBT.

Namun, dengan kedua skenario alternatif penggunaan EBT itu saja, permintaan minyak domestik pun masih diproyeksikan akan terus tumbuh, khususnya untuk sektor transportasi dan industri. Menggunakan skenario ALT 1 dan ALT 2 pada 2015-2050, kebutuhan minyak sektor transportasi diperkirakan mencapai masing-masing 120 dan 165 juta TOE, sektor industri dan non energi 36 dan 59 juta TOE, sektor ketenagalistrikan 0,01 dan 0 juta TOE, sektor komersial 0,4 dan 1 juta TOE, dan sektor lainnya masing-masing 2 juta TOE.

Tahan Impor Barang Modal Migas Bisa Jadi Bumerang Bagi RI


Melihat kebutuhan minyak yang terus melambung, menahan importasi barang modal untuk investasi migas secara berkepanjangan, bukanlah langkah yang bijak bagi pemerintah. Konsumsi domestik yang terus naik tentunya harus dibarengi dengan produksi minyak mentah maupun produk minyak domestik yang terus menanjak.

Menurut data Handbook of Energy Economic Statistics of Indonesia tahun 2017 yang dipublikasikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penyediaan energi primer domestik dari sumber minyak mentah dan produknya hanya mencapai 498,66 juta setara barel minyak (SBM), atau sekitar 72,87 juta TOE pada 2016. Jumlah sebesar ini tentu saja tidak bisa menutupi kebutuhan minyak yang totalnya mencapai 254,01 juta TOE pada 2050.



Oleh karena itu, untuk mengurangi kebutuhan impor di masa depan, mau tidak mau investasi yang berkesinambungan untuk meningkatkan produksi minyak mentah dan kapasitas kilang domestik justru perlu digenjot, bukannya malah ditahan.

Jika hanya untuk jangka pendek demi menyelamatkan rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kebijakan ini mungkin layak dieksekusi. Akan tetapi, jika berlangsung terlalu lama, kebijakan ini justru akan menambah beban pemerintah di impor minyak mentah, demi mencukupi permintaan minyak domestik.

Perlu diingat bahwa defisit perdagangan migas sudah menjadi biang kerok besarnya defisit neraca perdagangan RI di tahun ini. 

(RHG/gus) Next Article Wamen ESDM Ungkap Strategi Tekan Defisit Migas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular