Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuktikan kepada dunia internasional jika Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.
Tak usah bicara soal utang dahulu yang notabene Indonesia masih cukup ketergantungan kepada asing. Kali ini beberapa kebijakan pemerintah di bawah kendali Jokowi berhasil membuat pihak asing (seharusnya) lebih hormat dan respect.
Bicara soal nyali, Jokowi setidaknya membuktikan melalui tiga kebijakan yang nampaknya juga membuat Presiden AS Donald Trump murka.
Apa saja tiga kebijakan pemerintahan di bawah Jokowi yang dinilai bernyali karena berhasil 'melawan jajahan' asing?
(NEXT)
Indonesia telah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Sebuah sistem yang terdiri atas Standard, Switching, dan Services.
Ketiga sistem dalam GPN tersebut dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. Indonesia tak lagi tergantung dengan sistem 'asing' yang hampir menguasai setiap jaringan pembayaran.
Logo Visa dan MasterCard, akrab di setiap kartu yang berada di dompet para nasabah. Tak terkecuali kartu ATM, Debit, dan kartu Kredit.
Jumlah kartu ATM, debit dan kredit yang hadir di masyarakat, ditunjang dengan semakin banyaknya bank domestik dan asing yang muncul di Indonesia. Setiap bank tersebut memiliki kelebihan tersendiri dari setiap kartu yang diterbitkan guna menarik minat masyarakat untuk mau memilikinya.
Dengan cara tersebut mau tidak mau masyarakat harus membuka rekening terlebih dahulu sebelum mendapatkan kartu yang diinginkan. Sebelum adanya GPN (kartu berlogo Garuda dengan switching nasional), setiap kartu memiliki biaya adminstrasi tersendiri dari setiap transaksi yang dilakukan.
Dengan adanya GPN, segala biaya-biaya yang ada dapat ditekan (efisien) dibandingkan sebelumnya karena antar masing masing bank penyedia merchant akan saling terkoneksi.
Misalnya ketika tarik tunai, jika biasanya nasabah yang mengambil uang di ATM yang berbeda dengan kartu yang dimiliknya akan dikenakan biaya sekitar Rp 6.000-Rp 7.500. Namun, dengan kehadiran GPN, biaya tersebut dapat lebih murah.
Sementara jika ditinjau dari penggunaan merchant asing seperti Visa dan MasterCard, dimana hal yang disorot soal aliran dana yang berasal dari transaksi nasabah, melalui GPN setiap transasksi yang menggunakan merchant tersebut akan settle dalam negeri sehingga pemerintah dapat lebih mudah memantau potensi pajak yang bisa didapat.
Melihat berbagai kelebihan yang ditawarkan kebijakan GPN, maka hal ini seperti sudah menjadi kebutuhan agar masyarakat juga tidak terbebani dengan biaya-biaya yang terlalu tinggi akibat tidak teintegrasinya antar merchant/ATM yang ada.
Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bercerita, usai mengadakan rakor soal GPN beberapa waktu lalu. Dari situ terungkap, karena GPN, program nasional tersebut menjadi salah satu alasan pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump mengkaji ulang produk-produk ekspor Indonesia ke negara itu yang masuk GSP atau generalized system of preferences.
GSP adalah fasilitas atau hak istimewa yang diberikan kepada produk-produk ekspor dari seluruh negara ke AS dan sudah diterapkan sejak 1974. Setidaknya ada 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapatkan hak istimewa dengan jumlah produk yang diberikan sekitar 5.000-an.
Evaluasi Pemerintah AS terhadap Indonesia terkait hambatan di sektor asuransi, GPN, data processing center, serta intelectual property right.
"Untuk mengevaluasi mereka punya daftar permintaan kita kok dihambat-hambat di Indonesia. Ada yang mengenai asuransi, national payment gateway (Gerbang Pembayaran Nasional/GPN), ada mengenai data processing center, ada mengenai intelectual property rights, pertanian, nah tadi itu kita membahas 3 yang pertama itu untuk merumuskan kita tawarannya apa," kata Darmin
Menurut Darmin pemerintah telah menyiapkan jurus menghadapi warning perang dagang AS karena merasa dihambat proses bisnis industri dari negara adidaya di Indonesia, cuma Darmin enggan mengungkapnya.
"Kita sudah punya kesimpulan tapi kan itu nggak bisa ngomongin, kalau di sana nggak mau, repot lagi kita, lebih baik kita jangan cerita-ceritakan dulu," kata Darmin.
GPN ini sempat menjadi bahan diskusi ketika Presiden Bank Dunia berkunjung menemui Jokowi tahun lalu.
"Alhamdulillah," demikian kata Presiden Jokowi setelah holding BUMN Pertambangan yakni Inalum telah sepakat dengan Freeport McMoran terkait akuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia.
"Saya telah mendapatkan laporan bahwa holding industri pertambangan kita Inalum telah capai kesepakatan awal dengan Freeport pengolahan untuk meningkatkan kepemilikan kita menjadi 51% dari yang sebelumnya 9,36%," kata Jokowi ketika itu.
Perjalanan bisnis perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, memiliki sejarah panjang di negeri ini. Hampir separuh abad lebih, sampai akhirnya tambang emas terbesar di dunia ini bisa kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Masuknya Freeport ke Indonesia bermula dari laporan seorang geolog asal Belanda, Jean Jacques Dozy. Dalam laporannya Dozy menulis terdapat gunung tembaga di Papua, dan laporannya ini dilirik oleh geolog Freeport.
Freeport kemudian mengirim geolognya ke Papua untuk mengecek gunung tersebut dan menemukan Erstberg. Freeport kemudian mencoba mendekati Presiden Sukarno agar bisa membuka tambang di Erstberg. Namun ditolak oleh Presiden RI pertama yang saat itu menolak keras konsep kapitalisasi barat.
Tahun 1967 Sukarno digantikan Presiden Soeharto, di sini Freeport mulai bergerak lagi dan pintu investasi dibuka lebar-lebar oleh presiden yang dikenal dengan julukan Bapak Pembangunan itu.
Awal menjabat sebagai Presiden, tepatnya hanya tiga pekan sejak jadi Presiden, tanpa ragu-ragu Soeharto meneken kontrak karya pertama dengan Freeport. Masa berlaku kontrak disepakati selama 30 tahun. Semestinya KK ini berakhir pada 1997.
Tetapi, setelah tambang Erstberg, Freeport menemukan Grasberg yang ternyata berpotensi menjadi tambang emas terbesar di dunia. Freeport McMoran, kemudian kembali mendekati Presiden Soeharto dan meminta agar disepakati kontrak karya kedua antara RI dan Freeport.
Di sini pemerintah terkecoh, semestinya ditunggu sampai 1997 tapi Freeport melobi agar diberi kontrak baru pada 1991. Kontrak pun kembali diteken.
Dalam kontrak kedua ini sebenarnya sudah dimasukkan ketentuan divestasi, yakni Freeport secara perlahan harus melepas sahamnya ke pemerintah Indonesia hingga akhirnya mencapai 51% dan berakhir pada 2011.
Tapi ada ketentuan yang agak menjebak dalam KK tersebut, di mana disebut jika ada peraturan perundangan baru yang mengatur berbeda maka yang diikuti adalah aturan yang berlaku di Indonesia.
Tahun 1994, dilalah Presiden Soeharto menerbitkan PP 20 Tahun 1994 yang menyatakan perusahaan asing bisa memiliki saham hingga 100%. Di sini, ketentuan divestasi langsung gugur.
Divestasi seakan dilupakan sampai akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 yang menekankan wajibnya divestasi dan perubahan rezim perusahaan tambang dari kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus.
Sayang, sampai akhir periode upaya renegosiasi dan divestasi tak kunjung rampung.
Masuk 2014, upaya divestasi kembali digalakkan oleh Presiden Joko Widodo. Selama 3,5 tahun, tim yang dibentuk presiden aktif negosiasi ke Freeport McMoran untuk mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia.
Akhirnya, perjuangan separuh abad ini mulai berbuah. Hari ini RI meneken Head of Agreement dengan Freeport, perjanjian awal untuk menguasai kendali Freeport ke pangkuan Indonesia.
Penantian siapa yang akan mengelola blok minyak tersubur di RI akhirnya tuntas juga. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memutuskan Pertamina duduk sebagai operator di blok Rokan. Pertamina akan kelola blok ini setelah 2021, hingga 20 tahun mendatang.
" Pemerintah lewat Menteri ESDMĀ menetapkan pengelolaan blok Rokan mulai tahun 2021 selama 20 tahun ke depan akan diberikan kepada Pertamina" ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Selasa (31/7/2018).
Sebagaimana diketahui, blok Rokan adalah blok tersubur di Indonesia. Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sampai April 2018 tercatat produksi minyak di blok Rokan mencapai 210.280,60 BOPD, dan produksi gas-nya sebesar 24,26 MMSCFD.
Dengan potensi tersebut, syahdan, blok yang habis kontraknya pada 2021 mendatang, menjadi rebutan dua perusahaan migas besar, yakni Chevron Pasific Indonesia, yang saat ini merupakan kontraktor eksisting, dan PT Pertamina (Persero). Keduanya sudah memasukkan proposal lengkap terkait usulan pengelolaan blok Rokan sejak bulan lalu.
"Untuk ke depannya, 100% pengelolaan kepada Pertamina," kata Arcandra.
Arcandra melanjutkan, sesuai dengan peraturan menteri nantinya sebesar 10% saham tersebut wajib dilungsurkan Pertamina untuk Pemerintah Daerah lewat BUMD yang ditunjuk. Adapun Pertamina akan resmi mengelola blok Rokan per tanggal 8 Agustus 2021.
Terdapat 3 hal yang jadi pertimbangan pemerintah menyerahkan blok Rokan ke Pertamina. Pertama adalah besaran bonus tanda tangan senilai Rp 11,3 triliun, komitmen kerja pasti Rp 7,2 triliun, dan potensi pendapatan negara dalam 20 tahun ke depan senilai US$ 57 miliar atau Rp 825 triliun.
Dalam pengelolaan blok Rokan, lanjut Arcandra, Pertamina akan menggunakan skema gross split. Tetapi, Pertamina meminta diskresi tambahan split sebesar 8% untuk kelola blok minyak dengan rerata produksi 210 ribu barel per hari ini dan cadangan kisaran 500 juta barel hingga 1,5 miliar barel . "Pemerintah sepakat dengan usulan Pertamina, nanti detilnya kita bicarakan."
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menambahkan ke depan, hingga masa transisi tiba Pertamina bisa mulai kerjasama dengan Chevron selaku eksisting kontraktor. "Pertamina sebagai future kontraktor untuk melakukan transisi sampai kontrak-kontrak habis," katanya.
Blok Rokan adalah blok terbesar di RI yang selama 94 tahun terakhir dikuasai oleh Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan migas asal Amerika Serikat ini, pertama kali datang ke Sumatra dan ekspedisi di lokasi tersebut pada 1924. Dan, melakukan produksi pertama pada 1952.
Produksi di PSC Rokan dimulai pada Mei 1952, saat lapangan Minas beroperasi dengan tingkat produksi awal 15.000 barel/hari. Tingkat produksi ini kemudian melesat menjadi lebih dari 100.000 barel/hari, saat pengiriman produksi dipindah dari Pakning ke Dumai. Tidak lama, produksi skala penuh di Duri dimulai pada tahun 1957.
Selama akhir 1960-an hingga awal 1970-an, lapangan minyak yang jumlahnya tak terhitung mulai terkoneksi dengan berkembangnya pembangunan infrastruktur jalur pipa. Pada Mei 1973, produksi memuncak hingga hampir mencapai 1.000.000 barel/hari.