
Mau Indonesia Bebas Utang Luar Negeri? Ayo Menabung!
Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 July 2018 15:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang luar negeri adalah hal yang lumayan sensitif. Selain kurang populis secara politis, utang luar negeri juga memiliki risiko besar bagi perekonomian nasional.
Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada posisi Mei 2018 sebesar US$ 358,6 miliar atau sekira Rp 5.155,59 triliun dengan kurs yang sekarang. Jumlah tersebut naik 6,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menurut BI, jumlah tersebut masih cukup sehat karena ULN stabil di kisaran 34% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, ULN juga didominasi oleh yang jangka panjang yaitu 86,3%.
Namun, tetap saja perkembangan ULN perlu terus dicermati. Pasalnya, ULN mengandung risiko besar yaitu selisih kurs. Saat rupiah melemah, maka pembayaran ULN akan meningkat. Padahal nilai pinjamannya tidak berubah.
Inilah dilemanya. Tahun ini, rupiah lumayan tertekan. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 6,2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mencatat depresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
Indonesia punya trauma mendalam mengenai penarikan utang luar negeri berlebihan yang dikombinasikan dengan pelemahan kurs. Hasilnya adalah krisis ekonomi 1997-1998, yang akrab disebut krisis moneter (krismon). Krisis ekonomi tersebut kemudian bertansformasi menjadi krisis sosial-politik yang menyebabkan keruntuhan rezim Orde Baru yang berkuasa nyaris 32 tahun.
Tentu potensi ke arah sana masih jauh. Namun tidak ada salahnya kita terus mawas diri. Utang luar negeri yang terus meningkat plus depresiasi rupiah yang terjadi saat ini jangan sampai menjadi pemicu masalah yang lebih besar.
Domestik Belum Mumpuni
Indonesia masih cukup tergantung pembiayaan asing karena kapasitas dari dalam negeri belum mumpuni. Di perekonomian Indonesia, perbankan masih dominan sebagai sumber utama pembiayaan. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset perbankan dalam sistem keuangan punya porsi 78% sementara industri non bank hanya 22%.
Meski dominan, tetapi aset perbankan yang mencapai Rp 7.546,27 triliun baru sekitar 55% terhadap PDB nasional. Di antara sejumlah negara tetangga, Indonesia menjadi yang paling rendah di mana Filipina mencapai 94%, Thailand 124%, Malaysia 195%, dan Singapura 279%.
Hal ini dipengaruhi oleh literasi keuangan yang masih relatif minim. Berdasarkan survei OJK pada 2016, baru 29,66% penduduk yang punya literasi keuangan baik. Sementara Bank Dunia mencatat baru 36% penduduk dewasa yang memiliki rekening bank.
Sumber pembiayaan bank yang terbatas membuat penyalurannya pun terbatas. Saat ini, rasio penyaluran kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) sudah 91,99%. Artinya, mungkin agak sulit menggenjot kredit perbankan dengan kondisi saat ini karena penyalurannya pun sudah sebatas leher.
Oleh karena itu, kunci untuk meningkatkan pembiayaan dari perbankan adalah mendongkrak jumlah simpanan nasabah. Dengan begitu, bank akan memiliki lebih banyak sumber dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit.
Total simpanan nasabah atau Dana Pihak Ketiga (DPK) per Mei 2018 adalah Rp 5.094,58 triliun. Terlihat besar, tetapi nilai ini tidak sampai 40% dari PDB Indonesia. Sangat jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 123,89%, Singapura 120,11%, Thailand 116,16%, bahkan Filipina yang sudah 62,89%.
Menabung Itu Kuno?
Sebagian orang berpendapat bahwa menabung sudah kuno dan sekarang adalah saatnya berinvestasi. Bagi negara yang sudah tuntas dengan tahapan menabung, mungkin itu benar. Namun Indonesia belum 100% selesai di tahapan menabung. Masih banyak masyarakat yang belum tersentuh oleh sistem perbankan sehingga mereka perlu dijamah terlebih dulu.
Selain untuk mempersiapkan kebutuhan masa mendatang, perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menabung di bank berarti memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Sebab, perbankan akan memiliki kapasitas lebih banyak dalam menyalurkan pembiayaan ekonomi.
Untuk mengurangi potensi terjadinya guncangan seperti 1997-1998, Indonesia perlu memperkuat ketahanan ekonomi domestik. Salah satunya adalah dengan meningkatkan sumber pendanaan pembangunan dari dalam negeri. Sumber yang paling potensial adalah DPK perbankan nasional.
Terbatasnya DPK membuat perbankan pun terbatas dalam menyalurkan kredit. Akibatnya, mau tidak mau dan suka tidak suka Indonesia masih tergantung kepada pembiayaan asing dengan segala risikonya.
Oleh karena itu, seluruh masyarakat perlu berperan untuk menjaga kesehatan ekonomi Indonesia. Ekonomi akan jauh lebih stabil bila Indonesia tidak lagi bergantung kepada sumber pembiayaan asing. Tidak perlu cemas saat ekonomi global sedang diterpa badai, karena Indonesia memiliki akar yang kuat. Akar itu adalah tabungan masyarakat yang menjadi modal besar dalam pembangunan.
Jadi, jangan ragu atau malu untuk menabung. Jangan takut dibilang ketinggalan zaman. Sebab mereka yang menabung berarti memberi sumbangsih untuk menuju ekonomi Indonesia yang berdikari tanpa tergantung oleh utang luar negeri.
Tenang, Menabung di Bank Itu Aman
Mungkin bagi sebagian orang, yang pernah merasakan krisis pada tahun 1998 mengalami sedikit trauma terhadap bank. Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.
Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.
Sejak 13 Oktober 2008, saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank via LPS adalah paling banyak sebesar Rp 2 miliar. Maka siapapun yang menabung di bank dan memenuhi 3T atau 3 kritria simpanan layak bayar maka akan dijamin dananya.
"Jadi 3T ini yakni tercatat dalam pembukan bank, tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank. Maka syarat utama ini yang jadi dasar untuk penjaminan dana nasabah," kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Halim Alamsyah.
Nah, data terakhir per 18 Juli 2018, LPS telah menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin (bps) sejalan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan ini berarti bunga deposito rupiah yang dijamin LPS maksimal 6,25% dengan besaran maksimal Rp 2 miliar. Adapun suku bunga valuta asing yang dijamin maksimal 1,5% sementara suku bunga deposito bank perkreditan rakyat (BPR) 8,75%.
Halim mengatakan ada beberapa pertimbangan menaikkan suku bunga penjaminan LPS. Pertama, kenaikan suku bunga sebagai respons suku bunga kebijakan moneter BI.
Kedua, stabilitas risiko likuiditas di mana ada tendensi risiko agak meningkat.
"Secara umum rasio likuiditas diperkirakan akan naik. Suku bunga di AS, penguatan dolar, volatilitas global serta kenaikan bunga acuan Mei adalah faktor yang membuat adanya kondisi likuiditas mengetat di dalam negeri," ujar Halim.
Sebelumnya, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 5,25% dalam rapat dewan gubernur (RGD) bulan Juni. Upaya itu dilakukan untuk membantu menstabilkan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan terakhir.
Jadi jangan khawatir menabung di bank. Pasti Aman!
(aji/dru) Next Article Naik Lagi, Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 5.700 T
Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada posisi Mei 2018 sebesar US$ 358,6 miliar atau sekira Rp 5.155,59 triliun dengan kurs yang sekarang. Jumlah tersebut naik 6,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
![]() |
Menurut BI, jumlah tersebut masih cukup sehat karena ULN stabil di kisaran 34% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, ULN juga didominasi oleh yang jangka panjang yaitu 86,3%.
Inilah dilemanya. Tahun ini, rupiah lumayan tertekan. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 6,2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mencatat depresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
![]() |
Indonesia punya trauma mendalam mengenai penarikan utang luar negeri berlebihan yang dikombinasikan dengan pelemahan kurs. Hasilnya adalah krisis ekonomi 1997-1998, yang akrab disebut krisis moneter (krismon). Krisis ekonomi tersebut kemudian bertansformasi menjadi krisis sosial-politik yang menyebabkan keruntuhan rezim Orde Baru yang berkuasa nyaris 32 tahun.
Tentu potensi ke arah sana masih jauh. Namun tidak ada salahnya kita terus mawas diri. Utang luar negeri yang terus meningkat plus depresiasi rupiah yang terjadi saat ini jangan sampai menjadi pemicu masalah yang lebih besar.
Domestik Belum Mumpuni
Indonesia masih cukup tergantung pembiayaan asing karena kapasitas dari dalam negeri belum mumpuni. Di perekonomian Indonesia, perbankan masih dominan sebagai sumber utama pembiayaan. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset perbankan dalam sistem keuangan punya porsi 78% sementara industri non bank hanya 22%.
Meski dominan, tetapi aset perbankan yang mencapai Rp 7.546,27 triliun baru sekitar 55% terhadap PDB nasional. Di antara sejumlah negara tetangga, Indonesia menjadi yang paling rendah di mana Filipina mencapai 94%, Thailand 124%, Malaysia 195%, dan Singapura 279%.
Hal ini dipengaruhi oleh literasi keuangan yang masih relatif minim. Berdasarkan survei OJK pada 2016, baru 29,66% penduduk yang punya literasi keuangan baik. Sementara Bank Dunia mencatat baru 36% penduduk dewasa yang memiliki rekening bank.
Sumber pembiayaan bank yang terbatas membuat penyalurannya pun terbatas. Saat ini, rasio penyaluran kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) sudah 91,99%. Artinya, mungkin agak sulit menggenjot kredit perbankan dengan kondisi saat ini karena penyalurannya pun sudah sebatas leher.
![]() |
Oleh karena itu, kunci untuk meningkatkan pembiayaan dari perbankan adalah mendongkrak jumlah simpanan nasabah. Dengan begitu, bank akan memiliki lebih banyak sumber dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit.
Total simpanan nasabah atau Dana Pihak Ketiga (DPK) per Mei 2018 adalah Rp 5.094,58 triliun. Terlihat besar, tetapi nilai ini tidak sampai 40% dari PDB Indonesia. Sangat jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 123,89%, Singapura 120,11%, Thailand 116,16%, bahkan Filipina yang sudah 62,89%.
![]() |
Menabung Itu Kuno?
Sebagian orang berpendapat bahwa menabung sudah kuno dan sekarang adalah saatnya berinvestasi. Bagi negara yang sudah tuntas dengan tahapan menabung, mungkin itu benar. Namun Indonesia belum 100% selesai di tahapan menabung. Masih banyak masyarakat yang belum tersentuh oleh sistem perbankan sehingga mereka perlu dijamah terlebih dulu.
Selain untuk mempersiapkan kebutuhan masa mendatang, perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menabung di bank berarti memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Sebab, perbankan akan memiliki kapasitas lebih banyak dalam menyalurkan pembiayaan ekonomi.
Untuk mengurangi potensi terjadinya guncangan seperti 1997-1998, Indonesia perlu memperkuat ketahanan ekonomi domestik. Salah satunya adalah dengan meningkatkan sumber pendanaan pembangunan dari dalam negeri. Sumber yang paling potensial adalah DPK perbankan nasional.
Terbatasnya DPK membuat perbankan pun terbatas dalam menyalurkan kredit. Akibatnya, mau tidak mau dan suka tidak suka Indonesia masih tergantung kepada pembiayaan asing dengan segala risikonya.
Oleh karena itu, seluruh masyarakat perlu berperan untuk menjaga kesehatan ekonomi Indonesia. Ekonomi akan jauh lebih stabil bila Indonesia tidak lagi bergantung kepada sumber pembiayaan asing. Tidak perlu cemas saat ekonomi global sedang diterpa badai, karena Indonesia memiliki akar yang kuat. Akar itu adalah tabungan masyarakat yang menjadi modal besar dalam pembangunan.
Jadi, jangan ragu atau malu untuk menabung. Jangan takut dibilang ketinggalan zaman. Sebab mereka yang menabung berarti memberi sumbangsih untuk menuju ekonomi Indonesia yang berdikari tanpa tergantung oleh utang luar negeri.
Tenang, Menabung di Bank Itu Aman
Mungkin bagi sebagian orang, yang pernah merasakan krisis pada tahun 1998 mengalami sedikit trauma terhadap bank. Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.
Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.
Sejak 13 Oktober 2008, saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank via LPS adalah paling banyak sebesar Rp 2 miliar. Maka siapapun yang menabung di bank dan memenuhi 3T atau 3 kritria simpanan layak bayar maka akan dijamin dananya.
"Jadi 3T ini yakni tercatat dalam pembukan bank, tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank. Maka syarat utama ini yang jadi dasar untuk penjaminan dana nasabah," kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Halim Alamsyah.
Nah, data terakhir per 18 Juli 2018, LPS telah menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin (bps) sejalan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan ini berarti bunga deposito rupiah yang dijamin LPS maksimal 6,25% dengan besaran maksimal Rp 2 miliar. Adapun suku bunga valuta asing yang dijamin maksimal 1,5% sementara suku bunga deposito bank perkreditan rakyat (BPR) 8,75%.
Halim mengatakan ada beberapa pertimbangan menaikkan suku bunga penjaminan LPS. Pertama, kenaikan suku bunga sebagai respons suku bunga kebijakan moneter BI.
Kedua, stabilitas risiko likuiditas di mana ada tendensi risiko agak meningkat.
"Secara umum rasio likuiditas diperkirakan akan naik. Suku bunga di AS, penguatan dolar, volatilitas global serta kenaikan bunga acuan Mei adalah faktor yang membuat adanya kondisi likuiditas mengetat di dalam negeri," ujar Halim.
Sebelumnya, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 5,25% dalam rapat dewan gubernur (RGD) bulan Juni. Upaya itu dilakukan untuk membantu menstabilkan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan terakhir.
Jadi jangan khawatir menabung di bank. Pasti Aman!
(aji/dru) Next Article Naik Lagi, Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 5.700 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular