Internasional

Dikepung Pemberontakan, PM Inggris Menangkan Voting Brexit

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
18 July 2018 16:39
Dikepung Pemberontakan, PM Inggris Menangkan Voting Brexit
Foto: REUTERS/Yves Herman/Pool
London, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Inggris Theresa May kembali memenangkan pemungutan suara terkait Brexit di parlemen pada hari Selasa (17/7/2018). Ia saat ini tengah berjuang untuk menyatukan partainya yang terpecah akibat perdebatan terkait strateginya untuk meninggalkan Uni Eropa (UE).

Pemerintah Konservatif mengalahkan amandemen yang akan membuat Inggris terikat dalam blok dagang (customs union) dengan Uni Eropa jika kedua belah pihak gagal untuk menyetujui kesepakatan perdagangan bebas.

Jika amandemen tersebut disetujui, maka strategi Brexit May akan berantakan dan meningkatkan tekanan pada pemimpin yang sudah terkepung itu.

Pemerintah berhasil mengalahkan pemberontakan yang dilakukan oleh selusin anggota parlemen asal partai konservatif setelah menang dengan selisih enam suara, atau 307:301. Para pemberontak tersebut dilaporkan mengancam untuk menerbitkan mosi tidak percaya terhadap perdana menteri.

Kemenangan itu didukung oleh suara dari empat anggota parlemen Partai Buruh yang pro-Brexit.

Para menteri berpendapat amandemen itu akan mengekang kemampuan Inggris untuk membuat "kebijakan perdagangan yang independen" setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa pada Maret mendatang.

Menteri Perdagangan Internasional Liam Fox mengatakan kepada parlemen bahwa RUU perdagangan di masa depan pemerintah merupakan "sebuah RUU penting yang memberikan kesinambungan dan stabilitas".

"Ini akan menjadi langkah percaya diri pertama yang diambil Inggris dalam menjadikan dirinya sebagai negara yang independen dalam bidang perdagangan," tambahnya, dilansir dari AFP.


Pemerintah mengalami kekalahan dalam voting mengenai amandemen lain yang menyerukan partisipasi Inggris dalam jaringan pengaturan obat-obatan Eropa di masa depan. Amandemen ini dianggap tidak begitu penting.

Seluruh rancangan undang-undang perdagangan lolos dengan keunggulan 31 suara dan sekarang dikirim ke House of Lords untuk diadakan pemeriksaan lebih lanjut sebelum kembali ke Commons untuk pemungutan suara akhir.
May sedang berjuang untuk menyatukan Partai Konservatifnya di atas cetak biru Brexit yang secara resmi diluncurkan minggu lalu setelah berbulan-bulan menjadi perseteruan dalam kabinetnya.

Hal ini akan membuat Inggris meminta Uni Eropa untuk menyediakan wilayah perdagangan bebas bagi berbagai barang melalui "pengaturan pabean yang difasilitasi" bersama dengan "buku aturan umum".

Pendukung Brexit percaya hal itu membuat Inggris terlalu dekat dengan Uni Eropa, sementara orang-orang pro-Eropa berpikir bahwa mereka gagal melindungi sektor jasa yang dominan di negara itu, yang merupakan satu di antara banyak keluhan lainnya.

Serangan balasan itu telah membuat perdana menteri menghadapi desas-desus terus-menerus mengenai anggota parlemen Tory yang berencana untuk menggulingkannya.

Dua menteri top pro-Brexit, Boris Johnson dan David Davis, mengundurkan diri pekan lalu, sebagai bentuk protes, sementara beberapa pengunduran diri menteri muda juga telah terjadi, termasuk pengunduran diri dua pejabat lagi pada hari Senin.

Hari Selasa, merupakan hari kedua yang dijalani May sambil menghadapi pemberontakan dari para anggota parlemen Tory. Hari Senin, para anggota tersebut kalah dengan kekurangan tiga suara untuk memberlakukan perubahan pada Rancangan Undang-Undang bea cukai pasca-Brexit.

May menghindari kekalahan pada undang-undang yang diusulkan, bagian dari serangkaian RUU yang mengawasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dengan tunduk pada tekanan dari euroceptics garis keras di partainya sendiri.

Langkah itu membuat marah kaum Konservatif pro-Eropa sehingga menabur benih untuk pemberontakan yang gagal pada hari Selasa.


"Saya memulai minggu ini untuk mendukung perdana menteri. Kemarin saya mengubah itu," kata anggota parlemen Phillip Lee, yang mengundurkan diri sebagai menteri muda atas Brexit awal tahun ini, kepada anggota parlemen.

Di tengah-tengah kesuksesan langkah pemerintah di dewan legislatif minggu ini, dua mantan perdana menteri Inggris berbicara pada hari Selasa tentang dampak memecah-belah dari Brexit.

Menggambarkan pendekatan pemerintah sebagai "kekacauan total dan lengkap", Tony Blair mengatakan kepada AFP satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengadakan referendum lain tentang masalah ini.

"Karena hal ini dimulai dari referendum, maka jelasnya hanya bisa diselesaikan dengan pemungutan suara baru," kata Blair.

John Major, yang kehilangan kekuasaan pada 1997 setelah perbedaan pendapat Partai Konservatif atas Eropa selama bertahun-tahun, juga mendukung pemilihan kedua dan mengatakan posisinya lebih "sulit" hari ini.

"Theresa May berada dalam posisi yang lebih sulit daripada saya," katanya kepada ITV News.

"Menghadapi musuh yang lebih berkomitmen dan garis keras - dan lebih banyak mereka - daripada yang saya miliki."

Pemilih Inggris dalam referendum Juni 2016 memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, dan pada hari Selasa kampanye resmi Brexit Inggris, Vote Leave, didenda dan dilaporkan kepada polisi karena melanggar aturan pembelanjaan. Kabar itu menjadi masalah baru yang menambah tuntutan untuk diadakannya pemungutan suara kedua.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular