Jokowi Sebut Ekonomi Sedang Sulit, Benarkah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 July 2018 14:29
Jokowi Sebut Ekonomi Sedang Sulit, Benarkah?
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, saat ini ekonomi dunia sedang berada pada masa yang sulit. Selain sulit, situasi juga penuh ketidakpastian. 

"Kita harus bicara apa adanya bahwa situasi ekonomi dunia sekarang ini masih betul-betul pada posisi yang sangat sulit. Saya kira Bapak-Ibu semuanya, bupati, juga merasakan betapa ketidakpastian ekonomi dunia itu betul-betul sulit dikalkulasi dan sulit dihitung," kata Jokowi di depan para bupati se-Indonesia, Kamis (5/7/2018). 


Apa yang dikatakan Jokowi memang benar. Apa yang terjadi saat ini bertolak belakang dengan proyeksi tentang 2018 yang dibuat akhir tahun lalu. 

Pada akhir 2017, dunia sepertinya sepakat bahwa 2018 adalah harapan. Dia menjadi titik pemulihan ekonomi, langkah awal untuk tinggal landas. 

Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump, menerapkan pemotongan tarif pajak yang diharapkan membuat ekonomi Negeri Paman Sam melaju kencang. Trump juga memberi stimulus fiskal dengan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur. 

Eropa dan Jepang pun diperkirakan semakin membaik. Investor pun memperkirakan bank sentral di dua kawasan itu mulai bicara pengetatan moneter. Artinya, Benua Biru dan Negeri Matahari Terbit tengah bersiap keluar dari stagnasi.  

Pembacaan ini membangkitkan optimisme dari para pelaku pasar. Pasar saham mengalami reli panjang dan terus menanjak.  

Di Wall Street, tiga indeks utama melonjak pada 2017. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 25%, S&P 500 menguat 19%, dan Nasdaq bertambah 28%. 

Tidak hanya di AS, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun meroket. Sepanjang 2017, IHSG menguat 19,21%. 

Investor memperkirakan euforia ini akan berlanjut hingga 2018. Dunia akan baik-baik saja...
Sampai awal tahun, semua masih lancar jaya. Pasar saham terus berhenti menanjak, imbal hasil (yield) obligasi turun, mata uang terapresiasi. Semua senang. 

Namun pelaku pasar mulai memperhatikan ada yang tidak beres saat 22 Januari 2018, Trump mengenakan bea masuk untuk impor mesin cuci dan panel surya. Dari sinilah pasar mulai mempopulerkan istilah perang dagang. 

Mungkin pelaku pasar sempat lupa bahwa Trump memegang teguh prinsip America First. Artinya keuntungan buat AS adalah segalanya, yang lain mungkin saja masa bodoh. Interpretasi dari prinsip ini adalah kebijakan proteksionis demi melindungi industri dalam negeri AS. 

Kebanyakan serangan AS ditujukan kepada China. Trump menilai selama ini China sudah menikmati surplus perdagangan yang besar dari AS. Oleh karena itu, China harus diberi 'pelajaran'. 

Namun belakangan target Trump bukan hanya China, bahkan negara-negara sekutu AS pun diserangnya. Kanada, Meksiko, sampai Uni Eropa sudah merasakan dampaknya. Trump mengenakan bea masuk 25% untuk baja yang berasal dari negara-negara tersebut. 

Namanya perang ya harus saling melawan. Diserang oleh AS, negara-negara yang menjadi korban pun tak tinggal diam. Mereka balas mengenakan bea masuk kepada produk-produk AS. Perang dagang sudah terjadi dalam skala global.  

Perang dagang menyebabkan prospek perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia di ujung tanduk. Perlahan tapi pasti, optimisme pelaku pasar mulai turun. Ternyata 2018 tak seindah perkiraan. 


Tidak hanya perang dagang, tetapi ada risiko besar lain yang mungkin kurang dilihat sebelumnya oleh pasar. Meski terlibat perang dagang dengan berbagai negara, tetapi ternyata perekonomian AS justru melaju kencang. Salah satunya didorong oleh stimulus fiskal dari Trump. 

The Federal Reserve, Bank Sentral AS, memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,8% pada 2018. Lebih baik ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. 

Seiring laju pertumbuhan ekonomi, inflasi pun terakselerasi. Inflasi di Negeri Paman Sam sudah stabil di kisaran 2% sejak kuartal III-2013, sudah memenuhi target The Fed. Angka pengangguran pun terus turun ke 3,8% pada April 2018, terendah sejak 18 tahun lalu. 

Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan angka pengangguran yang membaik bisa membuat perekonomian AS mengalami overheating bila tidak dikendalikan. Cara yang paling ampuh untuk agak mengerem perekonomian adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. 

Sejak akhir tahun lalu, pasar sudah memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali sepanjang 2018. Namun semakin lama, sepertinya perekonomian AS semakin membaik sehingga mungkin perlu kenaikan dosis pengetatan moneter. 

Benar saja. Dalam rapat edisi Juni, The Fed memberi kode keras bahwa kemungkinan suku bunga acuan bisa naik empat kali sepanjang 2018. Pada akhir tahun, median proyeksi suku bunga berada di 2,25-2,5%. 

The Fed yang kian agresif ternyata tanpa lawan. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) baru mulai mengurangi stimulus fiskal pada September dan mengakhirinya pada akhir 2018. Untuk kenaikan suku bunga, paling cepat dieksekusi pada pertengahan 2019 meski pasar memperkirakan kebijakan itu baru ditempuh setidaknya September atau mundur tiga bulan. 

Sementara Jepang malah agak mengendur. Laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2018 justru melambat, yang menadakan periode stagnasi masih menghantui. 

Oleh karena itu, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar dan suku bunga acuan ultra rendah. Sampai kapan? BoJ hanya meminta pelaku pasar bersabar. 

Situasi ini membuat AS lagi-lagi menjadi darling-nya investor global. Berinvestasi di AS akan mendapatkan keuntungan lebih karena tren suku bunga yang cenderung naik. Ini yang tidak bisa diberikan oleh negara-negara maju lainnya. 

Dampaknya, dolar AS menguat luar biasa karena minat investor yang berjubel. Penguatan greenback berujung pada tekanan terhadap hampir seluruh mata uang, tidak terkecuali rupiah. Berbagai masalah di luar negeri itu masuk ke Indonesia melalui rupiah. Akibat huru-hara ekonomi global, investor cenderung enggan masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Minimnya aliran modal membuat rupiah semakin tertekan. Pasalnya, saat ini rupiah praktis hanya mengandalkan arus modal di sektor keuangan (hot money) untuk menguat. Aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa sudah lama mengering, ditunjukkan dari transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit sejak 2011.

Rupiah pun rentan melemah kala modal asing seret. Benar saja. Sepanjang tahun, rupiah sudah melemah 5,7% terhadap dolar AS. Salah satu penyebabnya adalah modal asing yang meninggalkan Indonesia.

Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 50,23 triliun sejak awal tahun. Sementara di pasar obligasi, kepemilikan asing berkurang Rp 7,81 triliun. 

Pelemahan rupiah menciptakan lingkaran setan. Kala rupiah melemah, berinvestasi di aset berbasis mata uang tersebut menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Akhirnya investor (terutama asing) kembali melepas aset-aset rupiah karena tidak mau rugi.

Kala aset-aset ini dilepas, yang ada rupiah semakin melemah. Begitu terus siklusnya. 

Oleh karena itu, wajar bila Presiden Jokowi waspada. Situasi dunia memang tidak mudah, dan bagi Indonesia hal itu sudah berdampak kepada nilai tukar rupiah. 

Ada baiknya pemerintah (bukan hanya Bank Indonesia) ikut menjaga stabilitas rupiah. Cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyusun kebijakan yang bisa mengurangi impor sehingga tidak menguras devisa. 

Namun yang ada adalah pemerintah malah berencana menambah subsidi bahan bakar solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 1.500-2.000/liter. Kala subsidi naik, maka harga tidak akan naik bahkan ada kemungkinan turun. Ini membuat konsumsi solar meningkat sehingga impor pun membengkak. 

Sebagai informasi, neraca perdagangan migas Indonesia periode Januari-Mei 2018 mencatat defisit yang besar yaitu US$ 5,03 miliar. Jika impor migas naik, maka defisit ini akan semakin dalam. 

Tingginya kebutuhan impor migas tentu akan mempengaruhi arus devisa dalam negeri. Akan semakin banyak devisa yang melayang ke luar negeri untuk mengimpor migas sehingga pasokannya di dalam negeri menjadi terkuras. Hasilnya tentu adalah rupiah akan semakin rentan terhadap depresiasi. 

Jadi bagaimana, Pak Jokowi...? 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular