Jokowi Sebut Ekonomi Sedang Sulit, Benarkah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 July 2018 14:29
Rupiah yang Perlu Dijaga
Foto: CNBC Indonesia/Exist In Exist
Berbagai masalah di luar negeri itu masuk ke Indonesia melalui rupiah. Akibat huru-hara ekonomi global, investor cenderung enggan masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Minimnya aliran modal membuat rupiah semakin tertekan. Pasalnya, saat ini rupiah praktis hanya mengandalkan arus modal di sektor keuangan (hot money) untuk menguat. Aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa sudah lama mengering, ditunjukkan dari transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit sejak 2011.

Rupiah pun rentan melemah kala modal asing seret. Benar saja. Sepanjang tahun, rupiah sudah melemah 5,7% terhadap dolar AS. Salah satu penyebabnya adalah modal asing yang meninggalkan Indonesia.

Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 50,23 triliun sejak awal tahun. Sementara di pasar obligasi, kepemilikan asing berkurang Rp 7,81 triliun. 

Pelemahan rupiah menciptakan lingkaran setan. Kala rupiah melemah, berinvestasi di aset berbasis mata uang tersebut menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Akhirnya investor (terutama asing) kembali melepas aset-aset rupiah karena tidak mau rugi.

Kala aset-aset ini dilepas, yang ada rupiah semakin melemah. Begitu terus siklusnya. 

Oleh karena itu, wajar bila Presiden Jokowi waspada. Situasi dunia memang tidak mudah, dan bagi Indonesia hal itu sudah berdampak kepada nilai tukar rupiah. 

Ada baiknya pemerintah (bukan hanya Bank Indonesia) ikut menjaga stabilitas rupiah. Cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyusun kebijakan yang bisa mengurangi impor sehingga tidak menguras devisa. 

Namun yang ada adalah pemerintah malah berencana menambah subsidi bahan bakar solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 1.500-2.000/liter. Kala subsidi naik, maka harga tidak akan naik bahkan ada kemungkinan turun. Ini membuat konsumsi solar meningkat sehingga impor pun membengkak. 

Sebagai informasi, neraca perdagangan migas Indonesia periode Januari-Mei 2018 mencatat defisit yang besar yaitu US$ 5,03 miliar. Jika impor migas naik, maka defisit ini akan semakin dalam. 

Tingginya kebutuhan impor migas tentu akan mempengaruhi arus devisa dalam negeri. Akan semakin banyak devisa yang melayang ke luar negeri untuk mengimpor migas sehingga pasokannya di dalam negeri menjadi terkuras. Hasilnya tentu adalah rupiah akan semakin rentan terhadap depresiasi. 

Jadi bagaimana, Pak Jokowi...? 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/wed)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular