
Penjelasan Lengkap BI Kenapa Dolar AS 'Super Perkasa'
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
03 July 2018 14:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan kondisi global memang tengah mengalami perubahan signifikan yang membuat mata uang dolar AS terus menguat. Tak hanya saat ini, bahkan dalam beberapa waktu ke depan dolar AS masih akan bergejolak.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan terjadi perubahan kebijakan moneter di berbagai negara. Hal ini mendorong mengetatnya likuiditas global dan tingginya ketidakpastian dunia.
"Yang jelas terlihat kenaikan Fed Fund Rate 4 kali tahun ini dan probability tahun depan 3 kali jadi bayangkan bisa 7 kali kenaikan rate (suku bunga). Artinya masih 5 kali lagi yang belum," papar Mirza dalam FGD dengan Media di Gedung BI, Selasa (3/7/2018).
Menurut Mirza, dengan kenaikan FFR tersebut beriringan dengan imbal hasil US Treasury Bond juga terus meningkat. Bahkan, yield 10 tahun US Treasury Bond masih bisa mencapai 3,42%.
"Ke depan bisa 2,93% dan terus naik bisa hingga 3,42%," tutur Mirza.
Ketidakpastian ekonomi global masih tinggi ini ditambah dengan aksi dari bank sentral China (PBoC) yang menurunkan GWM dan kebijakan ECB yang menurunkan net pembelian aset. Belum lagi, perang dagang AS dan China.
"Ketidakpastian global tersebut berdampak negatif ke pasar keuangan dunia. Ini yang menyebabkan mata uang negara berkembang melemah. Termasuk rupiah. Dipicu penguatan dolar secara luas," terangnya.
"Ke depan juga akan terjadi tren pengetatan likuiditas global," imbuh Mirza.
Jamu Pahit dan Jamu Manis
Di tempat yang sama Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan kenaikan 50 bps dari bunga acuan BI memang mengantisipasi kondisi gejolak eskternal tersebut. Namun memang tak hanya untuk stabilitas, BI juga memikirkan growth (pertumbuhan ekonomi) di dalam negeri.
"Kenaikan 50 bps itu merupakan jamu pahit tapi kita tahu kita berikan juga jamu manis biar tak berdampak ke dalam negeri," kata Perry.
Jamu manis tersebut, sambung Perry, adalah dengan menerapkan pelonggaran loan to value (LTV) sektor properti. Di mana nantinya akan mendongkrak pertumbuhan lewat domino effect dari pembangunan rumah dan geliat kredit.
"Ini tak hanya dorong kredit properti tapi bagaimanapun membuat yang belum punya rumah bisa memiliki rumah pertamanya karena ada pelonggaran uang muka," tuturnya.
(roy) Next Article 6 Uang Rupiah Ini Tak Laku Tahun Depan, Intip Penampakannya
Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan terjadi perubahan kebijakan moneter di berbagai negara. Hal ini mendorong mengetatnya likuiditas global dan tingginya ketidakpastian dunia.
"Ke depan bisa 2,93% dan terus naik bisa hingga 3,42%," tutur Mirza.
Ketidakpastian ekonomi global masih tinggi ini ditambah dengan aksi dari bank sentral China (PBoC) yang menurunkan GWM dan kebijakan ECB yang menurunkan net pembelian aset. Belum lagi, perang dagang AS dan China.
"Ketidakpastian global tersebut berdampak negatif ke pasar keuangan dunia. Ini yang menyebabkan mata uang negara berkembang melemah. Termasuk rupiah. Dipicu penguatan dolar secara luas," terangnya.
"Ke depan juga akan terjadi tren pengetatan likuiditas global," imbuh Mirza.
Jamu Pahit dan Jamu Manis
Di tempat yang sama Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan kenaikan 50 bps dari bunga acuan BI memang mengantisipasi kondisi gejolak eskternal tersebut. Namun memang tak hanya untuk stabilitas, BI juga memikirkan growth (pertumbuhan ekonomi) di dalam negeri.
"Kenaikan 50 bps itu merupakan jamu pahit tapi kita tahu kita berikan juga jamu manis biar tak berdampak ke dalam negeri," kata Perry.
Jamu manis tersebut, sambung Perry, adalah dengan menerapkan pelonggaran loan to value (LTV) sektor properti. Di mana nantinya akan mendongkrak pertumbuhan lewat domino effect dari pembangunan rumah dan geliat kredit.
"Ini tak hanya dorong kredit properti tapi bagaimanapun membuat yang belum punya rumah bisa memiliki rumah pertamanya karena ada pelonggaran uang muka," tuturnya.
(roy) Next Article 6 Uang Rupiah Ini Tak Laku Tahun Depan, Intip Penampakannya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular