
Rupiah dan Rupee, Ini Saran Agar Pelemahan Tidak Makin Tajam
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
03 July 2018 14:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini membuat mata uang kawasan Asia kelimpungan. Mata uang Indonesia dan India dinilai menjadi yang paling berisiko.
Hal tersebut dilansir dari riset Radhika Rao, Ekonom DBS, yang diberi tajuk "Indonesia and India: Back in the Same Boat" yang diterima Selasa (3/7/2018). Sejak awal tahun, rupiah dan rupee terdepresiasi masing-masing sebesar 5 dan 7,4%. Rupiah berada di posisi terlemah sejak Oktober 2015, sementara rupee sejak Januari 2017.
"Kesamaan ini menciptakan analogi bahwa Indonesia dan India berada di perahu yang sama. Penyebab dari anjloknya kedua mata uang ini akibat kuatnya faktor eksternal. Mulai dari faktor kenaikan suku bunga acuan di AS, Pelemahan mata uang yuan hingga gesekan perdagangan antara AS dan China," sebut Rao.
Bagi Indonesia dan india, lanjut Rao, hal ini menjadi berita buruk. Pasalnya, dengan kondisi cadangan devisa kedua yang semakin terkuras, maka aliran modal asing dari pasar saham pun menjadi andalan. Padahal dalam situasi dunia yang penuh ketidakpastian, investor cenderung menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang.
Data di atas memperlihatkan cadangan devisa kedua negara mulai berkurang memasuki April 2018. Hal ini disebabkan dampak faktor eksternal yang mulai terasa, terutama kenaikan suku bunga acuan di AS pada Maret 2018 serta perang dagang AS dan China. Berbagai sentimen negatif ini semakin membuat rupiah dan rupee tidak memiliki pijakan untuk menguat.
Untuk itu, DBS menyebut beberapa strategi yang bisa dilakukan India dan Indonesia:
Pertama, kebijakan moneter yang lebih ketat. Hal ini diperlukan guna memberikan sentimen penguatan bagi mata uang domestik. Indonesia telah lebih dahulu melakukan hal itu, di mana Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps sejak Mei lalu.
Namun kebijakan itu belum mampu meredakan tekanan terhadap rupiah. Dolar AS yang begitu perkasa menjadikan obat kuat dari BI tidak ampuh. Oleh karena itu, Rao menyarankan ke depan BI mungkin perlu lebih hawkish.
Sementara India, sikap Reserve Bank of India (RBI) mulai terindikasi hawkish. Bulan lalu, RBI menaikkan suku bunga acuan 25 bps guna mencegah pelemahan rupee yang semakin dalam. Seperti hal rupiah, obat tersebut masih kurang mujarab.
"Oleh sebab itu, RBI perlu lebih hawkish lagi. Kenaikan hingga 50 bps masih mungkin dilakukan mengingat penguatan dolar AS masih berpotensi terjadi," sebut Rao.
Kedua, mencegah defisit neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan menjadi salah satu biang keladi yang menyebabkan mata uang domestik tertekan.
Harga minyak yang terus terkerek naik membuat impor meningkat sehingga menguras ketersediaan devisa. Akibatnya, mata uang pun melemah karena minimnya sokongan devisa.
"Untuk itu masing-masing negara perlu meningkatkan ekspor, khususnya non-migas, guna mencegah defisit perdagangan," tegas Rao.
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Hal tersebut dilansir dari riset Radhika Rao, Ekonom DBS, yang diberi tajuk "Indonesia and India: Back in the Same Boat" yang diterima Selasa (3/7/2018). Sejak awal tahun, rupiah dan rupee terdepresiasi masing-masing sebesar 5 dan 7,4%. Rupiah berada di posisi terlemah sejak Oktober 2015, sementara rupee sejak Januari 2017.
"Kesamaan ini menciptakan analogi bahwa Indonesia dan India berada di perahu yang sama. Penyebab dari anjloknya kedua mata uang ini akibat kuatnya faktor eksternal. Mulai dari faktor kenaikan suku bunga acuan di AS, Pelemahan mata uang yuan hingga gesekan perdagangan antara AS dan China," sebut Rao.
![]() |
Data di atas memperlihatkan cadangan devisa kedua negara mulai berkurang memasuki April 2018. Hal ini disebabkan dampak faktor eksternal yang mulai terasa, terutama kenaikan suku bunga acuan di AS pada Maret 2018 serta perang dagang AS dan China. Berbagai sentimen negatif ini semakin membuat rupiah dan rupee tidak memiliki pijakan untuk menguat.
Untuk itu, DBS menyebut beberapa strategi yang bisa dilakukan India dan Indonesia:
Pertama, kebijakan moneter yang lebih ketat. Hal ini diperlukan guna memberikan sentimen penguatan bagi mata uang domestik. Indonesia telah lebih dahulu melakukan hal itu, di mana Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps sejak Mei lalu.
Namun kebijakan itu belum mampu meredakan tekanan terhadap rupiah. Dolar AS yang begitu perkasa menjadikan obat kuat dari BI tidak ampuh. Oleh karena itu, Rao menyarankan ke depan BI mungkin perlu lebih hawkish.
Sementara India, sikap Reserve Bank of India (RBI) mulai terindikasi hawkish. Bulan lalu, RBI menaikkan suku bunga acuan 25 bps guna mencegah pelemahan rupee yang semakin dalam. Seperti hal rupiah, obat tersebut masih kurang mujarab.
"Oleh sebab itu, RBI perlu lebih hawkish lagi. Kenaikan hingga 50 bps masih mungkin dilakukan mengingat penguatan dolar AS masih berpotensi terjadi," sebut Rao.
Kedua, mencegah defisit neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan menjadi salah satu biang keladi yang menyebabkan mata uang domestik tertekan.
Harga minyak yang terus terkerek naik membuat impor meningkat sehingga menguras ketersediaan devisa. Akibatnya, mata uang pun melemah karena minimnya sokongan devisa.
"Untuk itu masing-masing negara perlu meningkatkan ekspor, khususnya non-migas, guna mencegah defisit perdagangan," tegas Rao.
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular