Memaknai Kemacetan Mudik Lebaran 2018

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 June 2018 16:53
Memaknai Kemacetan Mudik Lebaran 2018
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Prediksi pemerintah terkait puncak arus mudik tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika semula hanya ada satu peak season dalam 1 periode mudik, kali ini dua peak season terjadi berkat cuti bersama ekstra panjang.

Pemerintah sebelumnya memprediksi puncak mudik yang menjadi bagian dari tradisi unik Lebaran di Nusantara terjadi pada Sabtu (9/6/2018) dan Minggu, karena pada Senin (11/6/2018) para pegawai negeri sipil (PNS) sudah libur.

Namun, kemudian Kementerian Perhubungan merilis prediksi tambahan puncak arus mudik yakni pada Selasa (12/6/2018) dan Rabu (H-3 dan H-2 Lebaran). Maka, jadi lah Lebaran 2018 ini istimewa karena memiliki dua puncak arus mudik.

Penulis, yang notabene juga merupakan karyawan swasta, berkesempatan merasakan sendiri puncak kedua arus mudik tahun ini ketika meninggalkan Jakarta pada Selasa malam (12/6/2018), pukul 21:00 WIB.

Semula, perkiraan waktu tempuh adalah 6 jam, mengacu pada kesaksian beberapa kawan penulis yang mudik pada hari-hari sebelumnya. Aplikasi googlemap (gmap) juga memberi prediksi yang sama.

Pada Selasa sore pukul 16:00 WIB, aplikasi gmap menyebutkan waktu tempuh Jakarta menuju Kendal (tempat tujuan mudik penulis) hanyalah 6 jam 49 menit, dengan titik kemacetan ada di ruas tol Jakarta-Cikampek sepanjang 4 km.

Namun pada pukul 20:00, aplikasi yang sama memberikan update bahwa waktu tempuh melar menjadi 7 jam 38 menit, dengan catatan titik macet di tol Jakarta-Cikampek menjadi 11 km.

Puncaknya ketika penulis mengemudi hingga titik tersebut, jalur merah kemacetan menjadi 20 km. Hanya dalam hitungan jam!

Problemnya di mana? Aplikasi tersebut menunjukkan tiga jalur merah (yang mengindikasikan padatnya populasi mobil yang bergerak dalam kecepatan rendah), yakni rest area jalan tol CIkampek, dan dua titik di tol Cipali karena ada kecelakaan.

Fenomena ini terjadi karena karyawan swasta di Ibu Kota baru baru mendapatkan cuti mereka pada Rabu (13/6/2018).

Karenanya, pada Selasa malam sebelum cuti bersama itu, selepas bubar kantor mereka beramai-ramai meninggalkan Jakarta, menciptakan bola salju di jalur mudik yang kian malam kian membesar.

Perlu 2 jam bagi penulis untuk melewati lalu lintas padat merayap di CIkampek, dengan laju kecepatan kendaraan rata-rata 15 km/jam.

Beberapa rest area di jalan tol berikutnya menjadi ranjau-ranjau bottleneck karena banyaknya pengemudi yang melambat masuk ke rest area atau bahkan parkir di bahu jalan sekitar rest area menciptakan ketersendatan selama parkir dan "take off".

Walhasil, penulis berhasil sampai di Kendal pada pagi hari pukul 09:00. Secara total, penulis perlu 12 jam perjalanan untuk mudik dari Jakarta-Kendal, atau molor dua kali lipat dari prediksi awal sekitar 6 jam.

Kendati demikian, berdasarkan pengamatan penulis, pemerintah benar-benar menyiapkan mudik nasional tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan mudik tahun 2016 ketika 12 orang meninggal saat macet berjam-jam di Brexit (Brebes Timur Exit).

Meski kurang ciamik memprediksi puncak arus mudik, setidaknya penanganan peak season kedua arus mudik pada Selasa malam terlihat cukup responsif. Beberapa anggota kepolisian malam itu lalu-lalang menertibkan jalur mudik.

Sebuah mobil penumpang yang terguling di tol Cipali juga bisa dievakuasi ke bahu jalan hanya dalam beberapa menit, dengan korban minimal.

Apa penyebab sebetulnya penumpukan kendaraan pemudik sejak kemarin malam hingga hari ini?
‘Prediksi tambahan’ oleh pemerintah itu—yang tak lain adalah konsekuensi dari melesetnya prediksi awal—mencerminkan dua kabar: baik dan buruk.

Kabar baiknya, fenomena puncak arus mudik pada Selasa dan Rabu menunjukkan bahwa mesin utama pergerakan sektor riil di Indonesia adalah pekerja swasta, dan bukannya PNS. Di negara maju, misalnya Amerika Serikat (AS) konsumsi swasta mendorong sekitar 70% produk domestik bruto (PDB).

Dalam kasus arus mudik tahun ini, kalah padatnya puncak arus mudik pertama (Sabtu-Minggu) setelah PNS mendapatkan cuti bersama Lebaran dibandingkan arus mudik kedua (Selasa-Rabu) menunjukkan bahwa karyawan swasta yang merajai arus mudik, arus yang membawa aliran dana triliunan rupiah ke daerah-daerah.

Ini tentu tidaklah mengherankan karena jumlah PNS di seluruh Indonesia hanyalah 4,5 juta orang, atau hanya 8% dari jumlah pekerja swasta di sektor formal yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 51,87 juta orang.

Jika dibandingkan dengan total pekerja di Indonesia yang mencapai 124,54 juta orang, maka porsi PNS hanyalah 3,6%.
Ini jelas merupakan kabar baik karena negara-negara berekonomi maju memang lebih banyak didorong kontribusi pekerja swasta dibandingkan dengan PNS dalam hal penerimaan pajak maupun konsumsi rumah tangga. Investasi dan konsumsi swasta mendominasi komponen pembentukan produk domestik bruto (PDB).

Lalu di mana kabar buruknya? Lagi-lagi terletak pada prediksi pemerintah yang mengira puncak arus mudik pada Sabtu dan Minggu.

Prediksi ini mengindikasikan bahwa PNS dianggap menjadi pendorong utama aktivitas mudik. Jika diteropong dengan lensa ekonomi makro, ekspektasi ini mengindikasikan bahwa PNS masih dianggap sebagai panglima dalam ekonomi.

Ini mengingatkan penulis pada guyonan Orde Baru. Pada masa itu, tebak-tebakan mengenai siapa presiden baru tidak menjadi isu nasional karena semua tahu Golkar pasti menang di tiap pemilu dan Suharto akan jadi presiden lagi. Karenanya, tebak-tebakan beralih pada 3 isu: togel, siapa wakil presiden yang baru, dan berapa persen kenaikan gaji PNS tahun ini.

Kenapa kenaikan gaji PNS menjadi penting diperbincangkan? Karena pada masa itu gaji PNS menjadi semacam indikator kesejahteraan masyarakat.

Setiap kenaikan gaji PNS, otomatis diikuti kenaikan harga barang-barang pokok. Praktis, gaji PNS menjadi pendorong inflasi. Tidak seperti sekarang di mana inflasi menjadi acuan persentase kenaikan gaji PNS.
“Jika PNS sejahtera, maka semua sejahtera,” demikianlah adagium yang berkembang pada masa itu, hingga menjadikan PNS, selain tentara, menjadi profesi yang sangat diidolakan.

Ironisnya, pandangan sepertiini masih banyak berkembang di masyarakat milenial sekarang.
Jika memang benar demikian cara berpikir pemerintah, maka tidak mengherankan di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga, pemerintah memberikan tunjangan hari raya (THR) bernilai fantastis (tiga kali gaji) untuk PNS tahun ini.

"Anggarannya lebih besar, karena itu kan ada tambahan untuk pensiunan. Sehingga, itu diharapkan membantu daya beli masyarakat untuk tingkatkan ekonomi," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani pada Senin (16/4/2018).

Dari situ, terlihat bahwa kenaikan spending ammo di kalangan PNS dinilai memiliki efek bergulir seperti yang diyakini di era Orde Baru.
Padahal, karyawan swasta seperti terpotret dari dominasi mereka dalam arus mudik tahun ini merupakan mesin pendorong penting konsumsi rumah tangga di PDB.

Mereka perlu mendapat insentif yang memacu konsumsinya sehingga membantu menggulirkan roda ekonomi.
Adakah insentif itu? Kita tunggu saja, setidaknya sampai Lebaran tahun depan karena Lebaran tahun ini sudah di depan mata.

Selamat Hari Raya Idul Fiitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin…”


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular