Internasional

Besok Trump dan Kim Bertemu, Ini yang Perlu Anda Ketahui

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
11 June 2018 18:45
Besok Trump dan Kim Bertemu, Ini yang Perlu Anda Ketahui
Foto: REUTERS/Jonathan Ernst
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertemuan perdana dalam sejarah antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong Un, akan diselenggarakan di Singapura, dengan potensi konsekuensi besar untuk masyarakat Asia dan internasional.

Trump dan Kim, yang tiba secara terpisah di negara tetangga Indonesia pada hari Minggu (10/6/2018), dijadwalkan untuk bertatap muka hari Selasa (12/6/2018) pagi di Capella Hotel, sebuah hotel mewah di pulau resor Sentosa.

Washington berharap diskusi bilateral dengan pemerintah Kim pada akhirnya bisa berujung pada denuklirisasi Korut. Pasalnya, program senjata nuklir negara itu telah menjadi ancaman bagi tetangga, seperti Korea Selatan dan Jepang, bahkan berpotensi mengancam daratan AS.

Selama beberapa dekade, Pyongyang menggambarkan negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu sebagai agresor imperialis atau bangsa penjajah terkait perannya di Perang Korea. Korut juga terus-menerus menyalahkan Washington atas buruknya situasi ekonomi negara itu akibat sanksi internasional.


Negara terisolasi itu sudah lama mengatakan memiliki alasan untuk mengembangkan nuklir karena "ancaman nuklir langsung dan ekstrem" dari AS yang memaksa rezim untuk berubah.

Sejarah itu pun membuat pertemuan di hari Selasa dianggap sebagai gebrakan diplomatis. Meskipun begitu, banyak pakar mengatakan pertemuan itu adalah kesalahan pihak Washington karena melegitimasi rezim Kim dan memposisikannya setara dengan Trump.

Ke depan, para analis geopolitik mengatakan tujuan realistisnya adalah kedua pihak menyepakati langkah pembangunan kepercayaan awal yang akan mempersempit besarnya defisit kepercayaan antara kedua negara saat ini.

Berikut adalah poin penting yang perlu diketahui di balik momen bersejarah ini, dilansir dari CNBC International.
Para pakar kebijakan dan keamanan nuklir tidak serta-merta percaya Pyongyang akan melepaskan teknologi yang menjadi pusat identitas Korut itu.

Dulu, Pyongyang berkata kemungkinan akan melakukan denuklirisasi hanya jika ketentuan tertentu dipenuhi. Di antaranya termasuk mengakhiri kehadiran militer AS di Korea Selatan (Korsel) serta mengakhiri payung nuklir regional AS, sebuah rancangan keamanan di mana Washington menjanjikan pembalasan serupa atas nama sekutu dekatnya jika diserang dengan senjata nuklir.

"Risiko lebih besar adalah jika kita memperoleh kesepakatan politik di pertemuan ini dan secara umum terlihat bagus, tapi ternyata detailnya berantakan. Mungkin [akan ketahuan] bukan dalam hitungan enam bulan ataupun satu tahun, tapi lima tahun," kata Michael Kovrig, Senior Advisor International Crisis Group, kepada CNBC International hari Senin (11/6/2018).

"Maka dari itu kita butuh proses bertahap dan jelas yang bisa dilakukan [dan] menciptakan lingkungan keamanan di mana Korut juga sebenarnya mau mengambil langkah, serta Amerika Serikat berada di posisi untuk memantau dan memeriksa langkah-langkah itu."

Bahkan jika di pertemuan itu Korut menyatakan berkomitmen pada denuklirisasi, itu tidak menjamin apapun. Rezim itu sudah pernah membuat komitmen sebelumnya, dan memantau pemenuhan kesepakatan itu akan menjadi sebuah tantangan tersendiri.


Definisi itu penting

Menjelang pertemuan, banyak yang berpendapat kemauan Korut untuk melakukan "denuklirisasi" adalah demi memperoleh keringanan tekanan sanksi dari AS maupun internasional.

Namun, banyak pula yang menilai kedua belah pihak akan menjalankan definisi ketentuan penting yang berbeda.

Bagi AS, denuklirisasi itu berarti Korut melepaskan senjata nuklirnya. Namun, bagi Pyongyang "denuklirisasi" juga termasuk berakhirnya persekutuan Amerika di kawasan itu dan penarikan pasukan militer dari Korsel.

"Itu adalah ungkapan berbeda dari denuklirisasi Semenanjung Korea yang sangat luas," kata Victor Cha, seorang profesor Georgetown University dan senior advisor Center for Strategic and International Studies, di sebuah kesempatan di Washington. Penawaran Kim untuk berdiskusi hanyalah cara untuk memperoleh konsesi, menurut beberapa strategis. Mereka berkata pemimpin yang masih tergolong milenial itu hanya mengulang pendekatan para pendahulunya dalam melakukan upaya perdamaian.

Gagalnya negosiasi selama bertahun-tahun, terutama selama Perbincangan Enam Pihak (Six-Party Talks) 2003-2009, mengindikasikan pola lama Korut dalam menawarkan diskusi demi memperoleh sumber daya, bantuan, meringankan sanksi atau hanya mengulur waktu untuk program nuklirnya.


Seluruh Asia memantau dengan ketat

Hasil pertemuan di hari Selasa sangat penting untuk seluruh kawasan, khususnya Seoul, Tokyo, dan Beijing.


Jika Korut bersikeras menarik pasukan AS di Korsel sebagai ganti dari pelucutan senjata, hal itu bisa memberi sinyal ke negara-negara Asia bahwa Washington tidak lagi menjadi pasukan militer yang stabil di kawasan itu. Sementara, hal itu bisa membuat Korsel dan Jepang terpapar misil jarak dekat Korut.

Meskipun begitu, berkurangnya kehadiran Amerika dinilai memberi keuntungan bagi Beijing dan Moskow yang sama-sama ingin mencegah dominasi AS di Asia Utara.
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular