Liputan Khusus

Mereguk Manis Infrastruktur Jokowi

Arif Gunawan & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 June 2018 11:04
Tantangan Proyek Infrastruktur
Foto: CNBC Indonesia/Monica Wareza

Namun, tidak serta-merta proyek infrastruktur berjalan tanpa risiko. Empat akademisi dari Universitas Oxford, dalam penelitian mereka yang dipublikasikan pada 2016 justru menemukan korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi infrastruktur dalam kasus China.

Tim peneliti Oxford kala itu meneliti ledakan investasi infrastruktur di China dengan fokus pada manfaat yang dihasilkan oleh 95 proyek besar di negara komunis tersebut. Proyek-proyek tersebut dibangun pada kurun waktu 1984 dan 2008.

Hasilnya, hanya 28%, atau kurang dari sepertiga sampel proyek dalam penelitian itu secara nyata memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Sebaliknya, ditemukan korelasi kuat antara ledakan investasi dengan kenaikan beban utang dan kerentanan ekonomi.

Kesimpulan penelitian yang dirilis pada 2016 tersebut cukup tegas, “Pertanyaan apakah investasi di infrastruktur berujung pada pertumbuhan ekonomi (dalam studi kasus China), harus dijawab dengan negatif.”

Bagaimana itu bisa terjadi? Jawabannya, menurut keempat akademisi itu, terletak pada struktur pendanaan proyek infrastruktur: apakah menciptakan beban baru bagi anggaran negara dan para pembayar pajak, ataukah masih dalam batas wajar dan mendukung kesinambungan ekonomi.

Dalam kasus China, investasi di proyek yang tak produktif pada awalnya berujung pada booming ekonomi, selama proyek konstruksi jalan terus, hingga kemudian persoalan muncul ketika manfaat yang ditargetkan gagal mewujud dan proyek tersebut berubah menjadi beban ekonomi.

Jika investasi itu dibiayai dari utang, investasi yang berlebihan di proyek yang tak produktif berujung pada timbunan beban utang, ekspansi moneter, ketakstabilan pasar keuangan, dan kerentanan ekonomi.

“Kami menyimpulkan bahwa investasi infrastruktur yang tidak dikelola dengan baik menjadi penjelasan utama di balik persoalan keuangan dan ekonomi di China. Kecuali negara itu mengubah investasi infrastruktur menjadi lebih berkualitas, China kami prediksi mengarah pada krisis ekonomi dan keuangan yang dipicu infrastruktur dan berpeluang menulari ekonomi dunia,” demikian simpulan riset tersebut.

Namun kini, dua tahun setelah riset tersebut dirilis, kita melihat perekonomian China berjalan aman-aman saja, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8% pada triwulan pertama 2018, dan diprediksi berlabuh di level 6,5% pada akhir tahun ini. China terlihat telah membenahi program infrastrukturnya dan menekan risiko yang mengancam.

Octasiano Miguel Valerio Mendoza dalam studi yang dipublikasikan Asian Development Bank (ADB) Institute mengonfirmasi perubahan investasi infrastruktur di China. Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 2017, ADB menemukan bahwa investasi infrastruktur di negara denga perekonomian terbesar kedua di dunia ini memainkan peran kunci membangun perkotaan dan memangkas disparitas ekonomi warga urban.

Dengan menggunakan 10 indikator infrastruktur dan mengacu survei China Household Income Project (CHIP), Mendoza menelisik hubungan antara infrastruktur dan kesenjangan di China pada periode 2005-2013.

Sejauh mana proyek jalan memacu pertumbuhan ekonomi, jawabannya bisa kita temukan dalam penelitian berjudul “Highways, Market Access, and Urban Growth in China.” Di situ, Nathaniel Baum-Snow (University of Toronto), Vernon Henderson (London School of Economics), Matthew A. Turner (Brown University), Qinghua Zhang (Peking University), dan Loren Brandt (University of Toronto) menguak bahwa ketersediaan akses jalan di China memicu pertumbuhan kawasan perkotaan di Negeri Tirai Bambu.

Dalam penelitian yang dirilis International Growth Center (IGC) pada 10 Januari 2016 itu disebutkan bahwa setiap 10% ekspansi jalan mengurangi populasi penduduk di kota kecil sebesar 1,6% karena faktor migrasi, dan menaikkan jumlah penduduk di perkotaan sebesar 2,5%.

Di sisi lain, setiap 10% pengurangan waktu tempuh ke pelabuhan internasional berujung pada kenaikan PDB sebesar 1,6% di China, kenaikan populasi sebesar 1%, dan pertumbuhan PDB per kapital sebesar 0,5%.

Investasi rezim komunis di sektor infrastruktur ini terbukti berkorelasi kuat dengan penurunan kesenjangan di negara tersebut, dengan besaran antara 4% hingga 49%. Sementara itu, penggunaan fasilitas transit di Negeri Panda itu terkait erat dengan penurunan kesenjangan pendapatan di perkotaan dalam 2 dan 3 tahun setelah proyek selesai.

China tidaklah sendiri. Indonesia saat ini juga menggenjot proyek infrastruktur.

Upaya Presiden Joko Widodo untuk menggulirkan proyek infrastruktur ini tidak muncul dari ruang hampa, karena negara di seluruh dunia juga tengah melakukannya guna memperkuat daya saingnya. Penelitian Tusk Advisory mengonfirmasi tersebut di mana kenaikan investasi infrastruktur berujung pada pertumbuhan ekonomi lebih besar.

Mereguk Manis Infrastruktur JokowiFoto: CNBC Indonesia



Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pada 2030, kebutuhan infrastruktur untuk transportasi, listrik, air dan telekomunikasi akan melebihi US$70 triliun di seluruh dunia.

Tidak heran, saat ini kita melihat lompatan investasi infrastruktur di seluruh dunia, yang menurut riset Heinrich Boell Foundation, merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Antara tahun 2015 dan 2025, negara-negara di seluruh dunia diprediksi membelanjakan dana antara US$6 triliun hingga US$9 triliun pertahun—atau setara dengan 8% dari PDB dunia—di proyek infrastruktur.

Lalu bagaimana dengan program infrastruktur di Indonesia? Akankah berakhir happy ending seperti di China? Mengutip penelitian dengan model regreasi Tusk Advisory yang menunjukkan bahwa program infrastruktur nasional memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kesenjangan, maka efek positif tersebut jelas memang ada.

Hanya saja, risiko tetap harus diantisipasi. Firma konsultan global Ernst & Young (EY) menilai ada faktor ketidakpastian, inefisiensi dan risiko kegagalan dalam semua program infrastruktur yang perlu untuk dimitigasi.

Dalam studi EY terhadap proyek di sektor pertambangan dan logam, dari 108 proyek bernilai US$1 miliar lebih di seluruh dunia, 69% di antaranya mencatatkan kenaikan biaya di atas perkiraan dan separuh lainnya mengalami penundaan jadwal penyelesaian.

Perusahaan ini mencatat setidaknya ada 6 kunci yang harus diperhatikan pemilik, investor, dan operator, salah satunya adalah risiko kenaikan utang dan anjloknya penerimaan di sektor publik karena investor swasta menuntut margin tinggi dan menekan keuangan perseroan.

Ini sejalan dengan peringatan yang diberikan Standard & Poor’s (S&P) pada Maret lalu tentang kenaikan beban perusahaan pelat merah akibat proyek infrastruktur. Perusahaan pemeringkat itu mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan naiknya arus kas negatif di perusahaan-perusahaan BUMN karya karena ngos-ngosan mengongkosi proyek infrastruktur.

Dan pemerintah terlihat menangkap pesan itu.

Menteri Basuki bekerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya memperketat pengawasan kondisi BUMN karya.

Pengawasan dilakukan baik terhadap kapasitas perusahaan dalam mengerjakan proyek infrastruktur hingga kondisi keuangan.

Dengan demikian, harapan kuat muncul bahwa manisnya proyek infrastruktur yang sedang dinikmati ini dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dan mempermudah kehidupan masyarakat. **

(hps)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular