Liputan Khusus

Mereguk Manis Infrastruktur Jokowi

Arif Gunawan & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 June 2018 11:04
Mereguk Manis Infrastruktur Jokowi
Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR
Jakarta, CNBC Indonesia - Program percepatan infrastruktur Presiden Jokowi mulai terasa manfaatnya dalam bisnis keseharian. Namun, pengawasan harus diperkuat agar tak menjadi bumerang.

"Proyek jalan tol yang baru membantu menyerap tambahan populasi mobil yang melintas, sehingga kepadatan di jalur pantai Utara (Pantura) tidak terlalu parah," tutur Direktur Utama perusahaan truk ekspedisi PT Lookman Djaja Kyatmaja Lookman.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) ini merespons positif upaya pemerintah menciptakan jalur tol terintegrasi lintas Jawa, sehingga kepadatan lalu lintas Pantura yang menjadi salah satu nadi perekonomian di Jawa tidak menjadi kian parah.

"Ibaratnya, jika semula populasi pengguna jalur Pantura adalah 10, maka pertumbuhan ekonomi membuat populasi itu naik menjadi 20. Nah, jalan tol yang baru menyerap tambahan itu. Jadi kepadatan memang tidak berkurang drastis, tetapi juga tidak menjadi kian parah," tuturnya tersebut.

Menurut data Aptrindo, Indonesia yang notabene merupakan negara maritim saat ini 91,2% dari aktivitas pengiriman barangnya dilakukan dengan menggunakan truk baik dengan trayek lintas kota, maupun lintas provinsi (menyeberangi lautan dengan menumpang kapal feri).

Kyatmaja berharap proyek infrastruktur yang ada bisa memberikan manfaat komersial juga bagi pengusaha, dalam bentuk penurunan biaya trannsportasi dan logistik. Harapan itu disampaikan menyusul janji pemerintah menurunkan biaya logistik guna menciptakan daya saing ekonomi.

"Saat ini, tarif masuk ke jalan-jalan tol yang baru terhitung mahal untuk truk, sehingga yang menggunakan jalan-jalan tol yang baru kebanyakan adalah mobil penumpang bukan truk," ujarnya.

Bagai gayung bersambut, keluhan Kyatmaja ini direspons cepat oleh pemerintah.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono telah menerbitkan peraturan harmonisasi tarif di 39 ruas tol.

Bentuk harmonisasi ini adalah menyederhanakan golongan kendaraan dari sebelumnya 5 golongan menjadi 3 golongan: Golongan I, II dan III.
Golongan IV dan V, yang merupakan angkutan logistik digabung menjadi satu sehingga tarif Golongan V dihapus.

Artinya, tarif tol menjadi semakin murah bagi kendaraan logistik.

"Jadi, ada 39 ruas tol yang di atas Rp 1.000 dan kita evaluasi, [Selain penyederhanaan golongan] dari 39 itu 36 diealuasi tarifnya bisa hanya dikompensai dengan tambahan konsesi itu, yang tiga ruas itu yang ditambah konsesi plus insentif pajak," jelasnya.

Keberadaan jalan tol seharusnya memang membuat biaya operasional semakin murah khususnya di sektor angkutan barang.
Manfaat pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, dalam perekonomian memang sudah tidak terbantahkan dan seharusnya membuat biaya operasional semakin murah.

Daerah yang memiliki ketersediaan infrastruktur memadai pada umumnya memiliki nilai valuasi lahan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Manfaat ini menjadi satu dari 10 manfaat program infrastruktur sebagaimana dipaparkan dalam riset firma konsultan global Tusk Advisory.

Sepuluh Manfaat Investasi Infrastruktur

Mereguk Manis Infrastruktur JokowiFoto: CNBC Indonesia

Pelaku usaha properti juga mengakui bahwa proyek infrastruktur (terutama infrastruktur jalan), membuat valuasi aset tak bergerak di sebuah daerah meningkat, dan menjadikan daerah tersebut menjadi kian menarik bagi bisnis pengembangan perumahan (real estate).

"Proyek rumah untuk rakyat kecil prospeknya semakin besar, terutama bagi kami pengembang yang fokus di wilayah di luar Jawa," tutur pengusaha real estate Eddy Hussy yang sempat menjadi Ketua Real Estate Indonesia (REI) 2013-2016 tersebut.

Manfaat tersebut belum memasukkan keseluruhan dampak investasi infrastruktur yang nilainya mencapai Rp 4.700 triliun. Sampai dengan Desember 2017, sepertiga dari angka tersebut telah mewujud dalam proses konstruksi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat tingkat keterlibatan swasta mencapai di atas 70% dari total proyek tersebut.
Setahun sejak menjabat, gebrakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di bidang infrastruktur berhasil mencuri perhatian global.

Selain jalan tol dan jalan nasional, RI juga membangun jembatan, underpass/flyover, bendungan dan lain sebagaimanya.

Adapun pada periode 2015 hingga 2017, Kementerian PUPR telah membangun sebanyak 356 jembatan diberbagai wilayah di Indonesia dengan total panjang 22.809 meter.

Tahun 2018, pembangunan ditargetkan sebanyak 174 buah dengan total panjang 13.639 meter.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga membangun flyover dan underpass untuk mengurai kemacetan di kawasan perkotaan.

Pada 2015 – 2017, telah dibangun 40 underpass/flyover dengan total panjang 11.325 meter dan pada tahun ini rencananya dibangun 18 underpass/flyover sepanjang 2.691 meter.

“Kehadiran infrastruktur jembatan, flyover dan underpas disamping memperlancar arus lalu lintas juga perlu dibuat indah dengan memasukan elemen budaya lokal sehingga bisa menjadi kebanggaan masyarakat dan menambah estetika kota,” jelas Menteri PUPR Basuki Hadimuljono beberapa waktu lalu.

Pembangunan jembatan, flyover dan underpass ini membuat sejumlah pihak mengakui keseriusan Indonesia membangun infrastruktur.

Firma konsultan global PriceWaterhouseCoopers (PwC), misalnya, merilis laporan riset berjudul “Indonesian Infrastructure: Stable Foundation for Growth” pada 2016.

Laporan tersebut berisikan tentang bagaimana keseriusan pemerintah mendorong proyek infrastruktur, dan sejauh mana kemajuan program tersebut.

“Menyusul indikasi bahwa beberapa skema pendanaan dan persiapan administratif mencatatkan kemajuan, maka ini menciptakan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan belanja pada 2016 dan periode selanjutnya,” tulis PwC dalam laporan tersebut.

Per Desember 2017, pemerintah telah menyelesaikan 62 proyek dengan nilai US$4,2 miliar (atau Rp56,28 triliun). Selain itu, 224 proyek saat ini sedang dibangun, dengan estimasi nilai US$99,2 miliar (Rp1.329 triliun). Secara total, proyek infrastruktur Indonesia yang telah selesai maupun sedang dibangun mencapai US$103,4 miliar (Rp1.385 triliun).

Indonesia sepertinya juga tidak berhenti menggenjot pembangunan infrastruktur.

Pada awal tahun ini, Kementerian PUPR meluncurkan sembilan aplikasi online E-Government untuk meningkatkan kinerja.

Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Anita Firmanti mengatakan sistem digital ini digunakan agar layanan juga lebih efektif dan efisien.

“Dalam rangka tindak lanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kami berusaha keras mengaplikasikan digital system dalam seluruh layanan kami. Di PUPR sebenarnya ada 290 aplikasi E-Gov, namun pada pagi ini kami luncurkan 9 aplikasi yang dilakukan Setjen,” jelas Anita.

Sembilan aplikasi yang diluncurkan itu antara lain e-monitoring, pemantauan dan evaluasi anggaran terpadu, e-HRM, e-kinerja, tata naskah dinas elektronik, jaringan dokumen dan informasi hukum PUPR, e-BMN, info publik dan portal sistem informasi geografis infrastruktur.

Salah satu proyek yang menjadi milestone adalah jaringan tol Trans Jawa, yang pada tahun ini dijadwalkan bisa beroperasi, menghubungkan kota Serang di ujung Barat Pulau Jawa dengan kota Banyuwangi di ujung Timur Pulau Jawa.

Bahkan pada mudik Lebaran 2018, Menteri Basuki siap mengoperasikan tol Trans Jawa dari Serang hingga Surabaya meskipun sejumlah ruas masih bersifat fungsional.

“Jalan tol kita yang di Pemalang ini sudah akan operasional, kemudian sampai Semarang itu nanti akan fungsional, Salatiga – Solo ini semua sudah akan fungsional.”

“Sragen – Ngawi juga sudah siap untuk dilayakfungsikan dan Ngawi – Wilangan sudah diresmikan Presiden. Selanjutnya, Wilangan – Kertosono kita upayakan agar bisa fungsional,” jelas Menteri Basuki.

Mereguk Manis Infrastruktur JokowiFoto: CNBC Indonesia


Adapun firma konsultan global Tusk Advisory menilai apabila proyek Tol Trans Jawa senilai US$103,4 miliar itu dapat selesai tepat waktu pada tahun 2019-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terkatrol mencapai 7,2% di 2023.

Bahkan, apabila sisa proyek strategis nasional senilai US$238 miliar dapat selesai setengahnya (US$119 miliar) pada 2023, pertumbuhan ekonomi RI dapat melesat 9% pada 2030.

Selain dari sisi pertumbuhan ekonomi, Tusk Advisory dalam laporan berjudul “The Launch of The Impact of Indonesia's Infrastructure Delivery Report” meyakini bahwa investasi infrastruktur tambahan senilai US$119 miliar hingga 2023 tersebut, dapat menekan angka kemiskinan yang saat ini di kisaran 10,9% menjadi 8% pada 2030.

Rasio Gini, indeks yang mengukur ketimpangan, juga diramalkan turun sebanyak 2 poin pada tahun 2030, dengan skenario yang sama.

Mereguk Manis Infrastruktur JokowiFoto: CNBC Indonesia


"Selain meningkatkan pertumbuhan PDB, (pembangunan infrastruktur) menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, sehingga merupakan indikator yang kelas bahwa investasi di sektor infrastruktur juga dapat meningkatkan pemerataan pendapatan bagi masyarakat Indonesia," ujar Raj Kannan, Presiden Direktur Tusk Advisory pada Rabu (18/4).

Hampir semua studi internasional memang berujung pada kesimpulan bahwa dampak reformasi agraria menghasilkan penurunan angka kemiskinan.

Studi Kwon (2005) di Indonesia, sebagaimana dikutip Tusk, menunjukkan adanya hubungan erat antara pengentasan kemiskinan dengan pembangunan sektor transportasi.

Investasi di sektor tersebut membantu memperbaiki pertumbuhan ekonomi daerah dengan elastisitas penurunan kemiskinan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) provinsi sebesar 0,33 untuk jalan yang buruk dan 0,9 untuk jalan yang bagus.

Menurut Tusk Advisory, proyek yang sedang dicanangkan pemerintah sekarang cukup untuk mengurangi kemiskinan. Secara umum, variabel yang memengaruhi laju kemiskinan adalah pertumbuhan populasi, investasi infrastruktur, dan industri bernilai tambah (value-added).

Mengacu pada kemiskinan sebesar 10,9% (2016), Tusk memperkirakan proyek infrastruktur yang sedang digarap sekarang jika dituntaskan bisa mengurangi kemiskinan hingga 1,4% menjadi 9,5%. Jika semua proyek tersebut diselesaikan, maka angka kemiskinan bisa berkurang sekitar 3% menjadi ke kisaran di bawah 8%.

Namun, tidak serta-merta proyek infrastruktur berjalan tanpa risiko. Empat akademisi dari Universitas Oxford, dalam penelitian mereka yang dipublikasikan pada 2016 justru menemukan korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi infrastruktur dalam kasus China.

Tim peneliti Oxford kala itu meneliti ledakan investasi infrastruktur di China dengan fokus pada manfaat yang dihasilkan oleh 95 proyek besar di negara komunis tersebut. Proyek-proyek tersebut dibangun pada kurun waktu 1984 dan 2008.

Hasilnya, hanya 28%, atau kurang dari sepertiga sampel proyek dalam penelitian itu secara nyata memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Sebaliknya, ditemukan korelasi kuat antara ledakan investasi dengan kenaikan beban utang dan kerentanan ekonomi.

Kesimpulan penelitian yang dirilis pada 2016 tersebut cukup tegas, “Pertanyaan apakah investasi di infrastruktur berujung pada pertumbuhan ekonomi (dalam studi kasus China), harus dijawab dengan negatif.”

Bagaimana itu bisa terjadi? Jawabannya, menurut keempat akademisi itu, terletak pada struktur pendanaan proyek infrastruktur: apakah menciptakan beban baru bagi anggaran negara dan para pembayar pajak, ataukah masih dalam batas wajar dan mendukung kesinambungan ekonomi.

Dalam kasus China, investasi di proyek yang tak produktif pada awalnya berujung pada booming ekonomi, selama proyek konstruksi jalan terus, hingga kemudian persoalan muncul ketika manfaat yang ditargetkan gagal mewujud dan proyek tersebut berubah menjadi beban ekonomi.

Jika investasi itu dibiayai dari utang, investasi yang berlebihan di proyek yang tak produktif berujung pada timbunan beban utang, ekspansi moneter, ketakstabilan pasar keuangan, dan kerentanan ekonomi.

“Kami menyimpulkan bahwa investasi infrastruktur yang tidak dikelola dengan baik menjadi penjelasan utama di balik persoalan keuangan dan ekonomi di China. Kecuali negara itu mengubah investasi infrastruktur menjadi lebih berkualitas, China kami prediksi mengarah pada krisis ekonomi dan keuangan yang dipicu infrastruktur dan berpeluang menulari ekonomi dunia,” demikian simpulan riset tersebut.

Namun kini, dua tahun setelah riset tersebut dirilis, kita melihat perekonomian China berjalan aman-aman saja, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8% pada triwulan pertama 2018, dan diprediksi berlabuh di level 6,5% pada akhir tahun ini. China terlihat telah membenahi program infrastrukturnya dan menekan risiko yang mengancam.

Octasiano Miguel Valerio Mendoza dalam studi yang dipublikasikan Asian Development Bank (ADB) Institute mengonfirmasi perubahan investasi infrastruktur di China. Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 2017, ADB menemukan bahwa investasi infrastruktur di negara denga perekonomian terbesar kedua di dunia ini memainkan peran kunci membangun perkotaan dan memangkas disparitas ekonomi warga urban.

Dengan menggunakan 10 indikator infrastruktur dan mengacu survei China Household Income Project (CHIP), Mendoza menelisik hubungan antara infrastruktur dan kesenjangan di China pada periode 2005-2013.

Sejauh mana proyek jalan memacu pertumbuhan ekonomi, jawabannya bisa kita temukan dalam penelitian berjudul “Highways, Market Access, and Urban Growth in China.” Di situ, Nathaniel Baum-Snow (University of Toronto), Vernon Henderson (London School of Economics), Matthew A. Turner (Brown University), Qinghua Zhang (Peking University), dan Loren Brandt (University of Toronto) menguak bahwa ketersediaan akses jalan di China memicu pertumbuhan kawasan perkotaan di Negeri Tirai Bambu.

Dalam penelitian yang dirilis International Growth Center (IGC) pada 10 Januari 2016 itu disebutkan bahwa setiap 10% ekspansi jalan mengurangi populasi penduduk di kota kecil sebesar 1,6% karena faktor migrasi, dan menaikkan jumlah penduduk di perkotaan sebesar 2,5%.

Di sisi lain, setiap 10% pengurangan waktu tempuh ke pelabuhan internasional berujung pada kenaikan PDB sebesar 1,6% di China, kenaikan populasi sebesar 1%, dan pertumbuhan PDB per kapital sebesar 0,5%.

Investasi rezim komunis di sektor infrastruktur ini terbukti berkorelasi kuat dengan penurunan kesenjangan di negara tersebut, dengan besaran antara 4% hingga 49%. Sementara itu, penggunaan fasilitas transit di Negeri Panda itu terkait erat dengan penurunan kesenjangan pendapatan di perkotaan dalam 2 dan 3 tahun setelah proyek selesai.

China tidaklah sendiri. Indonesia saat ini juga menggenjot proyek infrastruktur.

Upaya Presiden Joko Widodo untuk menggulirkan proyek infrastruktur ini tidak muncul dari ruang hampa, karena negara di seluruh dunia juga tengah melakukannya guna memperkuat daya saingnya. Penelitian Tusk Advisory mengonfirmasi tersebut di mana kenaikan investasi infrastruktur berujung pada pertumbuhan ekonomi lebih besar.

Mereguk Manis Infrastruktur JokowiFoto: CNBC Indonesia



Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pada 2030, kebutuhan infrastruktur untuk transportasi, listrik, air dan telekomunikasi akan melebihi US$70 triliun di seluruh dunia.

Tidak heran, saat ini kita melihat lompatan investasi infrastruktur di seluruh dunia, yang menurut riset Heinrich Boell Foundation, merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Antara tahun 2015 dan 2025, negara-negara di seluruh dunia diprediksi membelanjakan dana antara US$6 triliun hingga US$9 triliun pertahun—atau setara dengan 8% dari PDB dunia—di proyek infrastruktur.

Lalu bagaimana dengan program infrastruktur di Indonesia? Akankah berakhir happy ending seperti di China? Mengutip penelitian dengan model regreasi Tusk Advisory yang menunjukkan bahwa program infrastruktur nasional memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kesenjangan, maka efek positif tersebut jelas memang ada.

Hanya saja, risiko tetap harus diantisipasi. Firma konsultan global Ernst & Young (EY) menilai ada faktor ketidakpastian, inefisiensi dan risiko kegagalan dalam semua program infrastruktur yang perlu untuk dimitigasi.

Dalam studi EY terhadap proyek di sektor pertambangan dan logam, dari 108 proyek bernilai US$1 miliar lebih di seluruh dunia, 69% di antaranya mencatatkan kenaikan biaya di atas perkiraan dan separuh lainnya mengalami penundaan jadwal penyelesaian.

Perusahaan ini mencatat setidaknya ada 6 kunci yang harus diperhatikan pemilik, investor, dan operator, salah satunya adalah risiko kenaikan utang dan anjloknya penerimaan di sektor publik karena investor swasta menuntut margin tinggi dan menekan keuangan perseroan.

Ini sejalan dengan peringatan yang diberikan Standard & Poor’s (S&P) pada Maret lalu tentang kenaikan beban perusahaan pelat merah akibat proyek infrastruktur. Perusahaan pemeringkat itu mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan naiknya arus kas negatif di perusahaan-perusahaan BUMN karya karena ngos-ngosan mengongkosi proyek infrastruktur.

Dan pemerintah terlihat menangkap pesan itu.

Menteri Basuki bekerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya memperketat pengawasan kondisi BUMN karya.

Pengawasan dilakukan baik terhadap kapasitas perusahaan dalam mengerjakan proyek infrastruktur hingga kondisi keuangan.

Dengan demikian, harapan kuat muncul bahwa manisnya proyek infrastruktur yang sedang dinikmati ini dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dan mempermudah kehidupan masyarakat. **

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular