
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBT
Arif Gunawan & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 16:01

Lantas, bagaimana jika dikomparasikan dengan struktur biaya global? Tim riset CNBC Indonesia melakukan perbandingan dengan mengacu pada analisis Levelized Cost of Electricity (LCOE), yang dirilis oleh Irena untuk tahun 2016.
Apabila menggunakan metode analisis komparatif dengan metode LCOE untuk rata-rata global, terlihat bahwa biaya pembangkitan listrik sumber EBT di Indonesia masih cukup kompetitif dengan margin yang cukup besar bagi investor, khususnya bagi jenis pembangkit listrik tenaga bayu, hidro, dan panas bumi.
Bahkan, margin tersebut bisa lebih tinggi dibandingkan dengan rerata global untuk pembangkit-pembangkit listrik di beberapa daerah. Namun, ceritanya berbeda jika meninjau pembangkit listrik surya. Sebagai catatan, analisis LCOE di atas belum memasukkan komponen baterai untuk menyimpan listrik, yang berarti biaya produksi untuk sumber EBT di atas bisa lebih tinggi.
Pembangkit listrik bersumber panel surya terlihat paling kurang menarik secara komersil di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata global. Misalnya, biaya pembangkitan listrik rata-rata dari sumber solar PV secara global berada di kisaran US$13,1 sen/kWh, sementara di Indonesia hanya mematok BPP nasional sebesar US$7,66 sen/kWh.
Untuk mendapatkan margin yang lebihi besar, bisa saja investor mengerjakan proyek di area-area terpencil (dengan BPP mencapai US$20 sen/kWh), tetapi Kementerian ESDM sendiri telah menggarisbawahi bahwa keterbatasan infrastruktur pendukung di area terpencil menjadi tantangan tersendiri bagi investor.
Berikut ini rinciannya, mengacu pada BPP Pembangkitan per daerah milik PLN yang menawarkan BPP sebesar 20 sen dolar AS per kWh. Mengacu pada ketentuan bahwa BPP pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 85% dari BPP wilayah, maka harga beli listrik EBT di daerah-daerah tersebut berada di level 17 sen dolar AS per kWh.
Untuk mempertajam analisis, tim riset CNBC Indonesia juga mengambil contoh BPP di salah satu negara di Asia, yang kira-kira struktur ekonomi dan demografinya sama dengan Indonesia, yakni India. Negeri Bollywood ini juga memiliki target ambisius untuk pengembangan EBT-nya, di mana menargetkan penggunaaan EBT hingga 175 GW pada 2022.
Tidak hanya itu, berdasarkan National Electricity Plan ke-3 (NEP3) 2016, India juga membidik bauran EBT (termasuk nuklir) mencapai 56,5% pada 2027. Yang menarik, India sedang berada dalam jalur yang benar untuk mencapai target tersebut. Per 2017, India di posisi lima dunia sebagai negara dengan kapasitas EBT terpasang (di luar hidro) terbesar, pada 46 GW.
Apabila ditelusuri, BPP di India (dengan menggunakan metode LCOE) relatif setara dengan BPP rata-rata global, termasuk di sumber panel surya dan panas matahari. Hal ini menjadi pemicu utama mengapa pembangkit listrik panel surya (beserta sumber tenaga angin) di India menjadi primadona sektor EBT.
Berdasarkan data Irena, kapasitas PLTS terpasang di India pada tahun 2017 mencapai 19,27 GW, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya sebesar 0,09 GW. Lalu bagaimana dengan Uni Emirat Arab (UEA), yang sempat menggegerkan dunia karena meneken PLTS dengan harga pembelian termurah yakni 2,4 sen US$ per kWh? Perlu dicatat, negara tersebut tidak menyediakan subsidi untuk pengembangan PLTS.
Menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, rahasia kesuksesan UEA tersebut terletak pada faktor ketersediaan lahan yang melimpah. Sebagai negara yang terletak di jazirah Arab nan bergurun-gurun, pemerintah hanya perlu menge-plot sekian persen dari ribuan hektare gurun di negaranya tanpa biaya pembebasan lahan.
Jangan lupakan juga faktor tingkat intensitas cahaya matahari. Menurut data Solargis, rerata solar irradiance (besarnya radiasi matahari di suatu wilayah) di kawasan jazirah Arab sangatlah tinggi, yakni di kisaran 2.000 in kWh per meter persegi (kWh/m2). Angka itu tercatat dua kali lebih besar dari radiasi matahari di negara lain seperti misalnya Jerman, yang saat ini menjadi negara dengan penggunaan energi matahari terbesar di Eropa.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah model tender yang diberlakukannya. Alih-alih menetapkan tarif dan mengundang peserta lelang, otoritas Abu Dhabi menetapkan kapasitas proyek terlebih dahulu, baru kemudian meminta peserta lelang mengajukan harga pembelian listriknya.
Faktor skala juga menjadi penentu. Proyek tersebut dilelang dengan kontrak berskala besar. Sebagaimana diketahui, semakin besar skala proyek PLTS, makin efisien pula ongkosnya. Proyek tersebut menggunakan skema BOO.
Selain itu, negara tersebut memberikan pembebasan pajak untuk proyek tersebut, termasuk juga menyediakan pendanaan berbunga murah di kisaran 4% per tahun, dan menerapkan teknologi yang efisien untuk pembangkitan listrik dalam jangka panjang produk China, yang dipasok oleh JinkoSolar selaku pemenang lelang. (ags/ags)
![]() |
Apabila menggunakan metode analisis komparatif dengan metode LCOE untuk rata-rata global, terlihat bahwa biaya pembangkitan listrik sumber EBT di Indonesia masih cukup kompetitif dengan margin yang cukup besar bagi investor, khususnya bagi jenis pembangkit listrik tenaga bayu, hidro, dan panas bumi.
Bahkan, margin tersebut bisa lebih tinggi dibandingkan dengan rerata global untuk pembangkit-pembangkit listrik di beberapa daerah. Namun, ceritanya berbeda jika meninjau pembangkit listrik surya. Sebagai catatan, analisis LCOE di atas belum memasukkan komponen baterai untuk menyimpan listrik, yang berarti biaya produksi untuk sumber EBT di atas bisa lebih tinggi.
Untuk mendapatkan margin yang lebihi besar, bisa saja investor mengerjakan proyek di area-area terpencil (dengan BPP mencapai US$20 sen/kWh), tetapi Kementerian ESDM sendiri telah menggarisbawahi bahwa keterbatasan infrastruktur pendukung di area terpencil menjadi tantangan tersendiri bagi investor.
Berikut ini rinciannya, mengacu pada BPP Pembangkitan per daerah milik PLN yang menawarkan BPP sebesar 20 sen dolar AS per kWh. Mengacu pada ketentuan bahwa BPP pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 85% dari BPP wilayah, maka harga beli listrik EBT di daerah-daerah tersebut berada di level 17 sen dolar AS per kWh.
![]() |
Untuk mempertajam analisis, tim riset CNBC Indonesia juga mengambil contoh BPP di salah satu negara di Asia, yang kira-kira struktur ekonomi dan demografinya sama dengan Indonesia, yakni India. Negeri Bollywood ini juga memiliki target ambisius untuk pengembangan EBT-nya, di mana menargetkan penggunaaan EBT hingga 175 GW pada 2022.
Tidak hanya itu, berdasarkan National Electricity Plan ke-3 (NEP3) 2016, India juga membidik bauran EBT (termasuk nuklir) mencapai 56,5% pada 2027. Yang menarik, India sedang berada dalam jalur yang benar untuk mencapai target tersebut. Per 2017, India di posisi lima dunia sebagai negara dengan kapasitas EBT terpasang (di luar hidro) terbesar, pada 46 GW.
![]() |
Apabila ditelusuri, BPP di India (dengan menggunakan metode LCOE) relatif setara dengan BPP rata-rata global, termasuk di sumber panel surya dan panas matahari. Hal ini menjadi pemicu utama mengapa pembangkit listrik panel surya (beserta sumber tenaga angin) di India menjadi primadona sektor EBT.
Berdasarkan data Irena, kapasitas PLTS terpasang di India pada tahun 2017 mencapai 19,27 GW, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya sebesar 0,09 GW. Lalu bagaimana dengan Uni Emirat Arab (UEA), yang sempat menggegerkan dunia karena meneken PLTS dengan harga pembelian termurah yakni 2,4 sen US$ per kWh? Perlu dicatat, negara tersebut tidak menyediakan subsidi untuk pengembangan PLTS.
![]() |
Menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, rahasia kesuksesan UEA tersebut terletak pada faktor ketersediaan lahan yang melimpah. Sebagai negara yang terletak di jazirah Arab nan bergurun-gurun, pemerintah hanya perlu menge-plot sekian persen dari ribuan hektare gurun di negaranya tanpa biaya pembebasan lahan.
Jangan lupakan juga faktor tingkat intensitas cahaya matahari. Menurut data Solargis, rerata solar irradiance (besarnya radiasi matahari di suatu wilayah) di kawasan jazirah Arab sangatlah tinggi, yakni di kisaran 2.000 in kWh per meter persegi (kWh/m2). Angka itu tercatat dua kali lebih besar dari radiasi matahari di negara lain seperti misalnya Jerman, yang saat ini menjadi negara dengan penggunaan energi matahari terbesar di Eropa.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah model tender yang diberlakukannya. Alih-alih menetapkan tarif dan mengundang peserta lelang, otoritas Abu Dhabi menetapkan kapasitas proyek terlebih dahulu, baru kemudian meminta peserta lelang mengajukan harga pembelian listriknya.
Faktor skala juga menjadi penentu. Proyek tersebut dilelang dengan kontrak berskala besar. Sebagaimana diketahui, semakin besar skala proyek PLTS, makin efisien pula ongkosnya. Proyek tersebut menggunakan skema BOO.
Selain itu, negara tersebut memberikan pembebasan pajak untuk proyek tersebut, termasuk juga menyediakan pendanaan berbunga murah di kisaran 4% per tahun, dan menerapkan teknologi yang efisien untuk pembangkitan listrik dalam jangka panjang produk China, yang dipasok oleh JinkoSolar selaku pemenang lelang. (ags/ags)
Next Page
Mencari Jalan Tengah
Pages
Most Popular