
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBT
Arif Gunawan & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 16:01

Di negara-negara yang menganut paham kapitalisme liberal seperti AS, Jerman, dan Belanda, industri pengembangan EBT mendapat tempat karena swasta bisa menjual langsung produk listrik EBT ke masyarakat sekitar. Solusi ini jelas tidak bisa diterapkan di Indonesia yang menerapkan monopsoni listrik.
Di dunia internasional, ada 3 skema pengadaan proyek (procurement) EBT yang paling jamak dipakai, yakni BOOT (build, own, operate, transfer/ pembangunan, pemilikan, pengoperasian, dan pengalihan), BOT (build, operate, transfer/ pembangunan, pengoperasian, dan pengalihan), dan BOO (build, own, operate/ pembangunan, pemilikan, dan pengoperasian).
BOOT adalah bentuk konsesi tertua, dimulai di era 1800-an untuk proyek rel kereta. Skema ini juga banyak dipakai di perusahaan pengembang atau operator EBT karena mereka tidak harus membayar biaya tahunan ke pemerintah selaku pemilik akhir, serta adanya mitigasi risiko karena melibatkan beberapa pihak.
Selain itu, kepastian proyek juga semakin jelas melalui pelibatan operator BOOT dalam desain, Sementara itu, skema BOT yang lahir di Turki pada (proyek pembangkit listrik nuklir) tahun 1984 memberikan keuntungan bagi pemerintah karena risiko bisnis proyek listrik tersebut sepenuhnya ditransfer ke sektor swasta.
Selain menerapkan BOT, Turki juga menerapkan BOO. Kebanyakan investor asing diarahkan memakai skema BOT dan menggarap pembangkit listrik tenaga angin, tetapi mereka umumnya lebih memilih BOO.
Menurut riset Ozdogan dan Birgonul (Universitas Salford) pada tahun 2000, tingkat realisasi BOT di Turki sangat rendah dan tidak diminati swasta. Penyebab utamanya adalah ketiadaan jaminan pemerintah atas risiko proyek itu. Selain itu, tingkat birokrasi yang berbelit—mirip dengan di Indonesia—menjadi halangan utama pengembangan proyek ini.
Skema ketiga adalah BOO yang dikenal paling pro pada investor, karena proyek listrik tersebut bisa dimiliki pemodal tanpa batasan waktu selama pemerintah masih memerlukan pasokan listrik dari pembangkit tersebut. Di skema BOO, tender mengikuti prosedur yang dipraktikkan di industri pembangkitan listrik konvensional yakni dengan tahapan pra-kualifikasi.
Skema BOO ini diterapkan Mesir sejak 2015 untuk 3 proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan 1 pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dengan kapasitas total 520 MW. Masa kontraknya berkisar 20-25 tahun.
Bagi Indonesia, opsi BOO ini cenderung kurang populer karena memberikan hak kepemilikan yang luas atas aset-aset kelistrikan kepada pihak swasta. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan bahwa penguasaan listrik harus jatuh kepada negara, bukan swasta.
Keputusan tersebut keluar pada akhir 2016, di mana MK telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang (UU) No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Salah satunya adalah mengenai keterlibatan swasta dalam proses pembangunan infrastruktur pembangkit listrik.
Menindaklanjuti putusan itu, pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 50/2017 yang mengharuskan semua proyek listrik EBT digarap dengan skema BOOT (kecuali untuk proyek pembangkit listrik sampah).
Hanya saja, skema BOO masih dipakai di proyek listrik lama karena keputusan MK tidak berlaku surut. Salah satunya adalah PLTB Sidrap yang merupakan terbesar di Asia Tenggara dan menggunakan skema BOO. Karena tidak ada ketentuan untuk mentransfer kepemilikan setelah masa konsesi usai 30 tahun ke depan, pemerintah ngotot menetapkan tarif lebih rendah untuk PLTB Sidrap tahap selanjutnya.
Namun, proyek-proyek lainnya harus dijalankan dengan skema BOOT sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No.50 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.10 Tahun 2017. Pertimbangan yang mendasari keputusan itu ada empat: keseteraan risiko jual beli listrik antara PLN dan pihak pengembang (independent power producer/ IPP), jaminan kehandalan pasokan listrik, jaminan penyediaan listrik dikuasai negara, dan pemenuhan standar Perjanjian Jual Beli (PJB) listrik.
Apakah langkah pemerintah membatasi BOOT adalah keputusan terbaik dibandingkan dengan opsi lainnya? Sejauh ini, menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, tidak ada ukuran yang pasti mengenai skema konsesi mana yang paling ideal dalam mendorong pengembangan EBT, di antara BOO, BOT, BOOT, dan DBFO (design, build, finance, operate).
Penelitian lain dari Universitas Salford menunjukkan bahwa skema BOOT merupakan skema pertengahan dari sisi pertanggung-jawaban kelangsungan proyek.
Laporan penelitian berjudul “A Comparison of PFI, BOT, BOO, and BOOT Procurement Routes for Infrastructure Construction Projects” ini menyebutkan bahwa kebanyakan pelibatan swasta dalam proyek publik jatuh pada skema BOT dan BOOT memiliki tingkat spektrum risiko dan pertanggung-jawaban yang imbang, terbagi antara pihak pemerintah dan swasta sesuai dengan kapasitas dan kekuatannya.
Sementara itu, penelitian Birla Institute of Technology and Science di India (satu-satunya negara di Asia yang memiliki Kementerian Energi Terbarukan), menyebutkan secara prinsip tidak ada perbedaan dalam pemakaian skema BOOT, BOT, atau BOO dalam menarik pihak swasta di proyek EBT.
Namun, penelitian tersebut menyebutkan kelemahan skema BOOT dibandingkan dengan yang lain, yakni tingginya biaya di tingkat pengguna akhir, serta pengelolaan dan pengawasan yang memakan waktu dan biaya. Bagi pemerintah Indonesia, risiko biaya tinggi ini terlihat sudah diantisipasi dengan penerapan BPP per wilayah.
Melihat kombinasi dua skema tersebut, yakni BOOT dari sisi skema konsesi proyek dan BPP dari sisi mekanisme penetuan harga (pricing), bisa disimpulkan bahwa pemerintah memilih mengambil jalan tengah antara mendorong pengembangan EBT yang murah dan menciptakan iklim bisnis EBT yang kompetitif. Pilihan ini tentu tidak ideal. Namun, mengacu pada beberapa penelitian di atas, BOOT bisa dibilang sebagai jalan tengah.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah harus menggarisbawahi pentingnya aspek perizinan yang efisien, agar tidak menciptakan kendala tambahan yang menghadang investasi swasta di EBT. Hal ini krusial jika tidak ingin berujung pada turunnya persepsi kemudahan berusaha di sektor EBT di Indonesia. Apalagi, perizinan panjang yang berbelit masih menjadi catatan tersendiri, terutama di level pemerintah daerah.
Menurut catatan CNBC Indonesia, proses perizinan bisa berbeda-beda tergantung dari wilayah proyek. Secara umum, untuk mengegolkan proyek pembangkit listrik di Indonesia investor perlu bertandang ke 10 Kementerian/Lembaga/Badan. Selain perlu menyertakan rencana proyek ke dalam RUPTL serta mengikuti lelang PLN, mereka juga harus menyambangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) untuk mengurus dokumen Pertimbangan Teknis, lalu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perihal Amdal, bahkan hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk Izin Bendungan (khusus tenaga air atau mikrohidro).
Hitungan di atas belum termasuk perizinan ke Pemerintah Daerah (Pemda), terkait surat dukungan, izin pembebasan lahan, dan lain-lain. Sistem perizinan digital semestinya mulai dikembangkan untuk mengintegrasikan perizinan.
“Alangkah baiknya jika nanti sistem perizinan dapat terintegrasi semuanya secara step-by-step dalam satu sistem online,” tutur sumber CNBC Indonesia di lapangan.***
(ags/ags)
Di dunia internasional, ada 3 skema pengadaan proyek (procurement) EBT yang paling jamak dipakai, yakni BOOT (build, own, operate, transfer/ pembangunan, pemilikan, pengoperasian, dan pengalihan), BOT (build, operate, transfer/ pembangunan, pengoperasian, dan pengalihan), dan BOO (build, own, operate/ pembangunan, pemilikan, dan pengoperasian).
BOOT adalah bentuk konsesi tertua, dimulai di era 1800-an untuk proyek rel kereta. Skema ini juga banyak dipakai di perusahaan pengembang atau operator EBT karena mereka tidak harus membayar biaya tahunan ke pemerintah selaku pemilik akhir, serta adanya mitigasi risiko karena melibatkan beberapa pihak.
Selain menerapkan BOT, Turki juga menerapkan BOO. Kebanyakan investor asing diarahkan memakai skema BOT dan menggarap pembangkit listrik tenaga angin, tetapi mereka umumnya lebih memilih BOO.
Menurut riset Ozdogan dan Birgonul (Universitas Salford) pada tahun 2000, tingkat realisasi BOT di Turki sangat rendah dan tidak diminati swasta. Penyebab utamanya adalah ketiadaan jaminan pemerintah atas risiko proyek itu. Selain itu, tingkat birokrasi yang berbelit—mirip dengan di Indonesia—menjadi halangan utama pengembangan proyek ini.
Skema ketiga adalah BOO yang dikenal paling pro pada investor, karena proyek listrik tersebut bisa dimiliki pemodal tanpa batasan waktu selama pemerintah masih memerlukan pasokan listrik dari pembangkit tersebut. Di skema BOO, tender mengikuti prosedur yang dipraktikkan di industri pembangkitan listrik konvensional yakni dengan tahapan pra-kualifikasi.
Skema BOO ini diterapkan Mesir sejak 2015 untuk 3 proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan 1 pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dengan kapasitas total 520 MW. Masa kontraknya berkisar 20-25 tahun.
Bagi Indonesia, opsi BOO ini cenderung kurang populer karena memberikan hak kepemilikan yang luas atas aset-aset kelistrikan kepada pihak swasta. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan bahwa penguasaan listrik harus jatuh kepada negara, bukan swasta.
Keputusan tersebut keluar pada akhir 2016, di mana MK telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang (UU) No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Salah satunya adalah mengenai keterlibatan swasta dalam proses pembangunan infrastruktur pembangkit listrik.
Menindaklanjuti putusan itu, pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 50/2017 yang mengharuskan semua proyek listrik EBT digarap dengan skema BOOT (kecuali untuk proyek pembangkit listrik sampah).
Hanya saja, skema BOO masih dipakai di proyek listrik lama karena keputusan MK tidak berlaku surut. Salah satunya adalah PLTB Sidrap yang merupakan terbesar di Asia Tenggara dan menggunakan skema BOO. Karena tidak ada ketentuan untuk mentransfer kepemilikan setelah masa konsesi usai 30 tahun ke depan, pemerintah ngotot menetapkan tarif lebih rendah untuk PLTB Sidrap tahap selanjutnya.
Namun, proyek-proyek lainnya harus dijalankan dengan skema BOOT sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No.50 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.10 Tahun 2017. Pertimbangan yang mendasari keputusan itu ada empat: keseteraan risiko jual beli listrik antara PLN dan pihak pengembang (independent power producer/ IPP), jaminan kehandalan pasokan listrik, jaminan penyediaan listrik dikuasai negara, dan pemenuhan standar Perjanjian Jual Beli (PJB) listrik.
Apakah langkah pemerintah membatasi BOOT adalah keputusan terbaik dibandingkan dengan opsi lainnya? Sejauh ini, menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, tidak ada ukuran yang pasti mengenai skema konsesi mana yang paling ideal dalam mendorong pengembangan EBT, di antara BOO, BOT, BOOT, dan DBFO (design, build, finance, operate).
![]() |
Laporan penelitian berjudul “A Comparison of PFI, BOT, BOO, and BOOT Procurement Routes for Infrastructure Construction Projects” ini menyebutkan bahwa kebanyakan pelibatan swasta dalam proyek publik jatuh pada skema BOT dan BOOT memiliki tingkat spektrum risiko dan pertanggung-jawaban yang imbang, terbagi antara pihak pemerintah dan swasta sesuai dengan kapasitas dan kekuatannya.
![]() |
Namun, penelitian tersebut menyebutkan kelemahan skema BOOT dibandingkan dengan yang lain, yakni tingginya biaya di tingkat pengguna akhir, serta pengelolaan dan pengawasan yang memakan waktu dan biaya. Bagi pemerintah Indonesia, risiko biaya tinggi ini terlihat sudah diantisipasi dengan penerapan BPP per wilayah.
Melihat kombinasi dua skema tersebut, yakni BOOT dari sisi skema konsesi proyek dan BPP dari sisi mekanisme penetuan harga (pricing), bisa disimpulkan bahwa pemerintah memilih mengambil jalan tengah antara mendorong pengembangan EBT yang murah dan menciptakan iklim bisnis EBT yang kompetitif. Pilihan ini tentu tidak ideal. Namun, mengacu pada beberapa penelitian di atas, BOOT bisa dibilang sebagai jalan tengah.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah harus menggarisbawahi pentingnya aspek perizinan yang efisien, agar tidak menciptakan kendala tambahan yang menghadang investasi swasta di EBT. Hal ini krusial jika tidak ingin berujung pada turunnya persepsi kemudahan berusaha di sektor EBT di Indonesia. Apalagi, perizinan panjang yang berbelit masih menjadi catatan tersendiri, terutama di level pemerintah daerah.
Menurut catatan CNBC Indonesia, proses perizinan bisa berbeda-beda tergantung dari wilayah proyek. Secara umum, untuk mengegolkan proyek pembangkit listrik di Indonesia investor perlu bertandang ke 10 Kementerian/Lembaga/Badan. Selain perlu menyertakan rencana proyek ke dalam RUPTL serta mengikuti lelang PLN, mereka juga harus menyambangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) untuk mengurus dokumen Pertimbangan Teknis, lalu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perihal Amdal, bahkan hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk Izin Bendungan (khusus tenaga air atau mikrohidro).
![]() |
“Alangkah baiknya jika nanti sistem perizinan dapat terintegrasi semuanya secara step-by-step dalam satu sistem online,” tutur sumber CNBC Indonesia di lapangan.***
(ags/ags)
Pages
Most Popular