Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBT

Arif Gunawan & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 16:01
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBT
Foto: Dok. ESDM
Sistem tarif EBT baru yang berbasis BPP Pembangkitan masih kompetitif dengan margin cukup besar.

"Saya tidak yakin target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada 2020 akan tercapai, jika kendala-kendala yang ada tidak diselesaikan," tutur seorang manajer sebuah perusahaan pengembang EBT, dalam sebuah perbincangan dengan CNBC Indonesia.

Perusahaan asal Eropa tersebut mengeluhkan berbagai kendala di seputar pengembangan EBT di Indonesia, salah satunya mengenai tarif EBT, sebuah kendala yang tengah diselesaikan oleh pemerintah lewat peraturan terbaru mengenai penetapan harga pembelian listrik berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan.

"BPP itu dipukul rata dengan pembangkit listrik bahan bakar fosil. Padahal, [teknologi] bahan bakar fosil sudah lebih mudah diimplementasikan. Sementara itu, antara sumber EBT saja berbeda-beda harganya, tergantung dengan fluktuasi listrik yang dihasilkan," ujarnya.

Dalam artikel ini, CNBC Indonesia berupaya menganalisis apakah BPP pembangkitan tersebut sesuai dengan yang dikeluhkan pelau pasar tersebut, ataukah justru sebaliknya: menjadi jalan tengah untuk menjembatani visi energi murah untuk rakyat dan bisnis berkelanjutan bagi pengembang EBT swasta.

Sebagai catatan, kerangka harga pembelian itu diatur pada Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang mengganti Permen ESDM No. 12/2017.

BPP pembangkitan sendiri ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1772/2018 tentang Besaran BPP Pembangkitan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2017. Regulasi itu mengatur besaran BPP Pembangkitan per wilayah/distribusi/sistem/sub-sistem sebagai acuan pembelian tenaga listrik oleh PLN.

Berdasarkan Kepmen ESDM No. 1772/2018, BPP Pembangkitan terendah berada di level US$6,81 sen/kWh atau Rp 911/kWh (di Jawa dan Bali, kecuali beberapa sub-sistem seperti Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Bawean, Gili Ketapang, dan Tiga Nusa). Sementara itu, yang tertinggi ada di US$20 sen/kWh atau Rp 2.677/kWh (Indonesia Timur dan area-area terpencil).

Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Kementerian ESDM

Secara nasional, BPP pembangkitan berada di level US$7,66 sen/kWh atau Rp1.025/kWh. Apabila menggunakan patokan Kepmen tersebut, tim riset CNBC Indonesia menemukan bahwa harga pembelian listrik untuk pembangkit EBT saat ini lebih rendah dari sistem feed in tariff (FIT) yang diterapkan Kementerian ESDM di era Menteri Sudirman Said.

Dalam masa kepemimpinannya, Sudirman menelurkan Permen ESDM Nomor 19/2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Solar PV oleh PLN. Mengambil contoh kasus di Sumatera Utara, misalnya, Permen ESDM 19/2016 menetapkan harga pembelian listrik dari panel surya sebesar US$16 sen/kWh, dengan kuota kapasitas 25 MW.

Jika dibandingkan dengan regulasi saat ini, harga pembelian listrik dari sumber solar PV di wilayah Sumatera Utara maksimum hanya sebesar US$8,3 sen/kWh, atau 85% dari US$9,77 sen/kWh. Penurunannya hampir dua kali lipat dari era Sudirman Said.

Hanya saja, kebijakan yang menguntungkan bagi pengembang EBT swasta-karena memberikan mereka margin keuntungan yang sangat besar-ini secara bersamaan merugikan pemerintah dan PLN selaku pihak pembeli listrik.

Tingginya harga beli tersebut membuat alokasi pembelian listrik oleh PLN menjadi mahal, yang otomatis berujung pada kebutuhan untuk membebankan listrik mahal tersebut kepada konsumen. Atau, pilihan lain, membebankannya kepada negara yang memberikan subsidi listrik ke PLN.

Alokasi subsidi yang semestinya bisa digunakan untuk membiayai program lain yang memberikan manfaat langsung bagi rakyat mau tidak mau bakal tersedot untuk listrik jika PLN dihadapkan pada harga beli mahal berbasis FIT tersebut. Terlebih, subsidi tersebut dinikmati oleh perusahaan-perusahaan swasta dan bukan untuk menyasar pengguna tingkat akhir (rakyat).

Singkat kata, kebijakan FIT yang lama tersebut memang menguntungkan bagi swasta, tapi tidak bagi negara dan rakyat.
Lantas, bagaimana jika dikomparasikan dengan struktur biaya global? Tim riset CNBC Indonesia melakukan perbandingan dengan mengacu pada analisis Levelized Cost of Electricity (LCOE), yang dirilis oleh Irena untuk tahun 2016.

Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Apabila menggunakan metode analisis komparatif dengan metode LCOE untuk rata-rata global, terlihat bahwa biaya pembangkitan listrik sumber EBT di Indonesia masih cukup kompetitif dengan margin yang cukup besar bagi investor, khususnya bagi jenis pembangkit listrik tenaga bayu, hidro, dan panas bumi.

Bahkan, margin tersebut bisa lebih tinggi dibandingkan dengan rerata global untuk pembangkit-pembangkit listrik di beberapa daerah.
Namun, ceritanya berbeda jika meninjau pembangkit listrik surya. Sebagai catatan, analisis LCOE di atas belum memasukkan komponen baterai untuk menyimpan listrik, yang berarti biaya produksi untuk sumber EBT di atas bisa lebih tinggi.

Pembangkit listrik bersumber panel surya terlihat paling kurang menarik secara komersil di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata global. Misalnya, biaya pembangkitan listrik rata-rata dari sumber solar PV secara global berada di kisaran US$13,1 sen/kWh, sementara di Indonesia hanya mematok BPP nasional sebesar US$7,66 sen/kWh.

Untuk mendapatkan margin yang lebihi besar, bisa saja investor mengerjakan proyek di area-area terpencil (dengan BPP mencapai US$20 sen/kWh), tetapi Kementerian ESDM sendiri telah menggarisbawahi bahwa keterbatasan infrastruktur pendukung di area terpencil menjadi tantangan tersendiri bagi investor.

Berikut ini rinciannya, mengacu pada BPP Pembangkitan per daerah milik PLN yang menawarkan BPP sebesar 20 sen dolar AS per kWh. Mengacu pada ketentuan bahwa BPP pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 85% dari BPP wilayah, maka harga beli listrik EBT di daerah-daerah tersebut berada di level 17 sen dolar AS per kWh.
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Kementerian ESDM

Untuk mempertajam analisis, tim riset CNBC Indonesia juga mengambil contoh BPP di salah satu negara di Asia, yang kira-kira struktur ekonomi dan demografinya sama dengan Indonesia, yakni India. Negeri Bollywood ini juga memiliki target ambisius untuk pengembangan EBT-nya, di mana menargetkan penggunaaan EBT hingga 175 GW pada 2022.


Tidak hanya itu, berdasarkan National Electricity Plan ke-3 (NEP3) 2016, India juga membidik bauran EBT (termasuk nuklir) mencapai 56,5% pada 2027. Yang menarik, India sedang berada dalam jalur yang benar untuk mencapai target tersebut. Per 2017, India di posisi lima dunia sebagai negara dengan kapasitas EBT terpasang (di luar hidro) terbesar, pada 46 GW.

Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Renewable Global Status Report

Apabila ditelusuri, BPP di India (dengan menggunakan metode LCOE) relatif setara dengan BPP rata-rata global, termasuk di sumber panel surya dan panas matahari. Hal ini menjadi pemicu utama mengapa pembangkit listrik panel surya (beserta sumber tenaga angin) di India menjadi primadona sektor EBT.


Berdasarkan data Irena, kapasitas PLTS terpasang di India pada tahun 2017 mencapai 19,27 GW, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya sebesar 0,09 GW. Lalu bagaimana dengan Uni Emirat Arab (UEA), yang sempat menggegerkan dunia karena meneken PLTS dengan harga pembelian termurah yakni 2,4 sen US$ per kWh? Perlu dicatat, negara tersebut tidak menyediakan subsidi untuk pengembangan PLTS.

Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, rahasia kesuksesan UEA tersebut terletak pada faktor ketersediaan lahan yang melimpah. Sebagai negara yang terletak di jazirah Arab nan bergurun-gurun, pemerintah hanya perlu menge-plot sekian persen dari ribuan hektare gurun di negaranya tanpa biaya pembebasan lahan.


Jangan lupakan juga faktor tingkat intensitas cahaya matahari. Menurut data Solargis, rerata solar irradiance (besarnya radiasi matahari di suatu wilayah) di kawasan jazirah Arab sangatlah tinggi, yakni di kisaran 2.000 in kWh per meter persegi (kWh/m2). Angka itu tercatat dua kali lebih besar dari radiasi matahari di negara lain seperti misalnya Jerman, yang saat ini menjadi negara dengan penggunaan energi matahari terbesar di Eropa.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah model tender yang diberlakukannya. Alih-alih menetapkan tarif dan mengundang peserta lelang, otoritas Abu Dhabi menetapkan kapasitas proyek terlebih dahulu, baru kemudian meminta peserta lelang mengajukan harga pembelian listriknya.

Faktor skala juga menjadi penentu. Proyek tersebut dilelang dengan kontrak berskala besar. Sebagaimana diketahui, semakin besar skala proyek PLTS, makin efisien pula ongkosnya. Proyek tersebut menggunakan skema BOO.

Selain itu, negara tersebut memberikan pembebasan pajak untuk proyek tersebut, termasuk juga menyediakan pendanaan berbunga murah di kisaran 4% per tahun, dan menerapkan teknologi yang efisien untuk pembangkitan listrik dalam jangka panjang produk China, yang dipasok oleh JinkoSolar selaku pemenang lelang. Di negara-negara yang menganut paham kapitalisme liberal seperti AS, Jerman, dan Belanda, industri pengembangan EBT mendapat tempat karena swasta bisa menjual langsung produk listrik EBT ke masyarakat sekitar. Solusi ini jelas tidak bisa diterapkan di Indonesia yang menerapkan monopsoni listrik.

Di dunia internasional, ada 3 skema pengadaan proyek (procurement) EBT yang paling jamak dipakai, yakni BOOT (build, own, operate, transfer/ pembangunan, pemilikan, pengoperasian, dan pengalihan), BOT (build, operate, transfer/ pembangunan, pengoperasian, dan pengalihan), dan BOO (build, own, operate/ pembangunan, pemilikan, dan pengoperasian).

BOOT adalah bentuk konsesi tertua, dimulai di era 1800-an untuk proyek rel kereta. Skema ini juga banyak dipakai di perusahaan pengembang atau operator EBT karena mereka tidak harus membayar biaya tahunan ke pemerintah selaku pemilik akhir, serta adanya mitigasi risiko karena melibatkan beberapa pihak.

Selain itu, kepastian proyek juga semakin jelas melalui pelibatan operator BOOT dalam desain,
Sementara itu, skema BOT yang lahir di Turki pada (proyek pembangkit listrik nuklir) tahun 1984 memberikan keuntungan bagi pemerintah karena risiko bisnis proyek listrik tersebut sepenuhnya ditransfer ke sektor swasta.

Selain menerapkan BOT, Turki juga menerapkan BOO. Kebanyakan investor asing diarahkan memakai skema BOT dan menggarap pembangkit listrik tenaga angin, tetapi mereka umumnya lebih memilih BOO.


Menurut riset Ozdogan dan Birgonul (Universitas Salford) pada tahun 2000, tingkat realisasi BOT di Turki sangat rendah dan tidak diminati swasta. Penyebab utamanya adalah ketiadaan jaminan pemerintah atas risiko proyek itu. Selain itu, tingkat birokrasi yang berbelit—mirip dengan di Indonesia—menjadi halangan utama pengembangan proyek ini.

Skema ketiga adalah BOO yang dikenal paling pro pada investor, karena proyek listrik tersebut bisa dimiliki pemodal tanpa batasan waktu selama pemerintah masih memerlukan pasokan listrik dari pembangkit tersebut. Di skema BOO, tender mengikuti prosedur yang dipraktikkan di industri pembangkitan listrik konvensional yakni dengan tahapan pra-kualifikasi.

Skema BOO ini diterapkan Mesir sejak 2015 untuk 3 proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan 1 pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dengan kapasitas total 520 MW.  Masa kontraknya berkisar 20-25 tahun.

Bagi Indonesia, opsi BOO ini cenderung kurang populer karena memberikan hak kepemilikan yang luas atas aset-aset kelistrikan kepada pihak swasta. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan bahwa penguasaan listrik harus jatuh kepada negara, bukan swasta.

Keputusan tersebut keluar pada akhir 2016, di mana MK telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang (UU) No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Salah satunya adalah mengenai keterlibatan swasta dalam proses pembangunan infrastruktur pembangkit listrik.

Menindaklanjuti putusan itu, pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 50/2017 yang mengharuskan semua proyek listrik EBT digarap dengan skema BOOT (kecuali untuk proyek pembangkit listrik sampah).

Hanya saja, skema BOO masih dipakai di proyek listrik lama karena keputusan MK tidak berlaku surut. Salah satunya adalah PLTB Sidrap yang merupakan terbesar di Asia Tenggara dan menggunakan skema BOO. Karena tidak ada ketentuan untuk mentransfer kepemilikan setelah masa konsesi usai 30 tahun ke depan, pemerintah ngotot menetapkan tarif lebih rendah untuk PLTB Sidrap tahap selanjutnya.

Namun, proyek-proyek lainnya harus dijalankan dengan skema BOOT sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No.50 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.10 Tahun 2017. Pertimbangan yang mendasari keputusan itu ada empat: keseteraan risiko jual beli listrik antara PLN dan pihak pengembang (independent power producer/ IPP), jaminan kehandalan pasokan listrik, jaminan penyediaan listrik dikuasai negara, dan pemenuhan standar Perjanjian Jual Beli (PJB) listrik.

Apakah langkah pemerintah membatasi BOOT adalah keputusan terbaik dibandingkan dengan opsi lainnya? Sejauh ini, menurut penelusuran tim riset CNBC Indonesia, tidak ada ukuran yang pasti mengenai skema konsesi mana yang paling ideal dalam mendorong pengembangan EBT, di antara BOO, BOT, BOOT, dan DBFO (design, build, finance, operate).
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Analytical Comparison Between BOT, BOOT, and PPP Project Delivery System
Penelitian lain dari Universitas Salford menunjukkan bahwa skema BOOT merupakan skema pertengahan dari sisi pertanggung-jawaban kelangsungan proyek.

Laporan penelitian berjudul “A Comparison of PFI, BOT, BOO, and BOOT Procurement Routes for Infrastructure Construction Projects” ini menyebutkan bahwa kebanyakan pelibatan swasta dalam proyek publik jatuh pada skema BOT dan BOOT memiliki tingkat spektrum risiko dan pertanggung-jawaban yang imbang, terbagi antara pihak pemerintah dan swasta sesuai dengan kapasitas dan kekuatannya.

Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Komisi Eropa
Sementara itu, penelitian Birla Institute of Technology and Science di India (satu-satunya negara di Asia yang memiliki Kementerian Energi Terbarukan), menyebutkan secara prinsip tidak ada perbedaan dalam pemakaian skema BOOT, BOT, atau BOO dalam menarik pihak swasta di proyek EBT.

Namun, penelitian tersebut menyebutkan kelemahan skema BOOT dibandingkan dengan yang lain, yakni tingginya biaya di tingkat pengguna akhir, serta pengelolaan dan pengawasan yang memakan waktu dan biaya. Bagi pemerintah Indonesia, risiko biaya tinggi ini terlihat sudah diantisipasi dengan penerapan BPP per wilayah.

Melihat kombinasi dua skema tersebut, yakni BOOT dari sisi skema konsesi proyek dan BPP dari sisi mekanisme penetuan harga (pricing), bisa disimpulkan bahwa pemerintah memilih mengambil jalan tengah antara mendorong pengembangan EBT yang murah dan menciptakan iklim bisnis EBT yang kompetitif. Pilihan ini tentu tidak ideal. Namun, mengacu pada beberapa penelitian di atas, BOOT bisa dibilang sebagai jalan tengah.

Di tengah kondisi demikian, pemerintah harus menggarisbawahi pentingnya aspek perizinan yang efisien, agar tidak menciptakan kendala tambahan yang menghadang investasi swasta di EBT. Hal ini krusial jika tidak ingin berujung pada turunnya persepsi kemudahan berusaha di sektor EBT di Indonesia. Apalagi, perizinan panjang yang berbelit masih menjadi catatan tersendiri, terutama di level pemerintah daerah.

Menurut catatan CNBC Indonesia, proses perizinan bisa berbeda-beda tergantung dari wilayah proyek. Secara umum, untuk mengegolkan proyek pembangkit listrik di Indonesia investor perlu bertandang ke 10 Kementerian/Lembaga/Badan.
Selain perlu menyertakan rencana proyek ke dalam RUPTL serta mengikuti lelang PLN, mereka juga harus menyambangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) untuk mengurus dokumen Pertimbangan Teknis, lalu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perihal Amdal, bahkan hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk Izin Bendungan (khusus tenaga air atau mikrohidro).
Menimbang Aturan Baru Terkait Skema Harga Listrik EBTSumber: Poso Energy
Hitungan di atas belum termasuk perizinan ke Pemerintah Daerah (Pemda), terkait surat dukungan, izin pembebasan lahan, dan lain-lain. Sistem perizinan digital semestinya mulai dikembangkan untuk mengintegrasikan perizinan.

“Alangkah baiknya jika nanti sistem perizinan dapat terintegrasi semuanya secara step-by-step dalam satu sistem online,” tutur sumber CNBC Indonesia di lapangan.***
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular